Jam dinding masih menunjukkan pukul 5 ketika Kang Ja, begitu ia biasa disapa, sudah terlihat rapi dan wangi. Ia duduk di serambi rumahnya menikmati sarapan ubi rebus dan secangkir kopi. Tak ketinggalan pula beberapa batang kretek yang masih utuh, menunggu untuk disulut.
Sebenarnya bangun pagi adalah hal yang lumrah baginya. Profesi sebagai petani membuatnya terbiasa berangkat ke sawah selepas subuh. Dan ia termasuk petani yang rajin dan lugu seperti namanya, Prasaja, yang bermakna apa adanya.
Yang agak lain, hari itu Kang Ja tampak mengenakan udheng dan kemeja batik terbaik miliknya. Sebuah ikat kepala bermotif Sida Asih serta kemeja bermotif Tirta Teja, yang memang hanya ia pakai di acara-acara penting.
Bagi Kang Ja, busana batik lebih dari sekedar kain penutup badan, namun juga mengandung filosofi yang mendalam. Sida Asih mengandung harapan akan terciptanya lingkungan yang selaras penuh cinta kasih, sedangkan Tirta Teja melambangkan hati yang suci sebening embun. Sesuai dengan harapan yang ia lambungkan pagi itu.
Setelah habis sebatang kretek dihisapnya, ia segera berpamitan kepada Yu Sumeleh, istrinya.
“Aku berangkat Bune, segeralah menyusul setelah selesai masak.”
“Iya Pakne, tolong daftarkan antrian untukku juga.” sahut istrinya dari dapur.
“Jangan khawatir, aku wis nitip nomer antrian menyang Cak Mat. Nanging aja lali welingku bab pilihane ya.”
Kang Ja segera berjalan menuju balai desa yang hanya berjarak beberapa ratus meter. Di sana ada hajatan besar yang sedang berlangsung hari itu. Bukan pesta sunatan ataupun pernikahan, melainkan pesta demokrasi berupa pemilihan Kepala Desa. Dan Kang Prasaja berniat menunaikan hak pilihnya untuk calon yang telah ia patri di hati.
Meski tak nampak bergegas dalam berjalan, namun benaknya serasa meluap-luap dipenuhi harapan. Asa untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Asanya menyala-nyala setelah ia mengobrol panjang lebar dengan Cak Mat semalam. Dan harapan yang ia impikan itu bukan untuk dirinya pribadi, melainkan juga untuk anggota kelompok tani yang ia pimpin.
Kang Prasaja ingat betul obrolan semalam. Ia ingat janji yang disampaikan Cak Mat bahwa biaya sekolah akan digratiskan, tata kelola gabah dan hasil pertanian akan diatur oleh Desa, dan terutama subsidi pupuk hingga separuh harga. Ia percaya semua bakal terlaksana jika Pak Sulaksana terpilih sebagai Kepala Desa yang baru.
**
Azan pertama Subuh telah berkumandang ketika Cak Mat masuk rumah. Lelah dan kantuk seperti tak tertahankan setelah semalaman penuh ia bergerilya ke rumah para tetangga untuk menggalang dukungan bagi Pak Sulaksana. Meski demikian, sorot matanya menampakkan asa yang menyala.
Sebagai salah satu anggota tim sukses, ia memang mendapat target 501 suara dari Pak Sulaksana. Tentu saja dengan iming-iming imbalan yang menggiurkan, yang ia rasa cukup untuk membeli sebuah sepeda motor sport baru. Masih ditambah konsesi pengelolaan patirtan desa sebagai wahana wisata.
Bagi Cak Mat, lima ratus satu suara dari total 1.652 pemilih terasa enteng saja. Ia yakin bisa memenuhi target tersebut melalui koneksinya dengan beberapa ketua kelompok tani di kampung. Dan Kang Prasaja adalah salah satu target termudah baginya.
Sesampai di kamar ia rebahkan tubuhnya di ranjang, hendak memejamkan mata barang satu atau dua jam. Sebab mulai jam 8 pagi nanti ia harus mengawal pemungutan suara dari orang-orang yang menjadi ‘tanggung jawabnya’ di TPS.
Baru saja akan berpindah ke alam mimpi, ada bunyi notifikasi di HPnya. Tampak sebaris notifikasi M-Banking berupa transer masuk ke rekeningnya. Cak Mat tersenyum puas. Tanpa merasa perlu melihat lebih detail.
“Dhuwit panjer tahap dua sudah masuk. Jika semua lancar, seminggu lagi kuda besi anyar sudah bisa kubeli.” batinnya, “Selanjutnya tinggal nembung Bapaknya Gendhis. Mana bisa ia menolak calon menantu yang memegang konsesi wahana wisata desa? Masa depan putrinya akan terjamin bersamaku.”
Tak berselang lama, telah terdengar dengkur halus dari mulutnya.
**
Malam hari usai penghitungan suara, rumah Pak Sulaksana tampak meriah. Semua pintu dan jendelanya terbuka, hingga siapapun bisa menyaksikan orang-orang yang berpesta di dalamnya. Mereka tampak berbincang santai sambil menikmati makanan dan minuman yang dihidangkan tuan rumah.
Sesekali terdengar tawa Pak Sulaksana, yang segera diikuti oleh tamu-tamunya.
“Kemenangan ini kita raih berkat andil para pendukung dan tim sukses, ada Cak Mat, Cak To, Lik Jan; dan terutama si Lantip, anak lanangku. Ndak rugi saya menyekolahkan dia di jurusan politik, hahaha!”
“Nggih, leres Pak. Ide Mas Lantip untuk memblow up kisah njenengan sebagai keturunan Mbah Sela Kencana sungguh brilian.” Sahut Cak Mat. “siapa sih, warga desa sini yang tidak menaruh hormat pada orang pertama yang mbedhah krawang Desa Sukanala? Dan tentu saja mereka akan ngajeni njenengan sebagai putra-wayahnya.”
“Saya kira, Pak Sulaksana perlu mulai berpikir untuk mengkader Mas Lantip. Pemuda secemerlang dia akan sangat dibutuhkan Desa ini di masa depan.” Lik Jan menimpali.
“Hahaha.. ya, ya, kalian semua benar. Akan kupikirkan mulai sekarang.” Pak Sulaksana menjawab dengan dada bergemuruh saking bombongnya.
Malam itu semua tampak gemilang bagi Pak Sulaksana. Rumahnya dipenuhi aura kemenangan dan kegembiraan. Ada sanak-saudara yang turut mengucapkan selamat. Ada rekan-rekan bisnis yang ikut merayakan. Dan yang terpenting, petinggi partai penyokongnya di tingkat Kabupaten juga turut hadir. Meskipun tak tampak wajah-wajah para pendukungnya seperti Kang Prasaja dan Yu Sumeleh, apalagi warga anggota kelompok tani biasa, itu tak mengurangi kebahagiaan Pak Sulaksana.
Kamus
- Udheng: ikat penutup kepala dari kain, umumnya bermotif batik.
- aku wis nitip nomer antrian menyang Cak Mat. Nanging aja lali welingku bab pilihane ya: saya sudah titip nomor antrian kepada Cak Mat. Tapi (kamu) jangan lupa pesanku mengenai pilihan (calon)nya ya.
- Patirtan: sumber air yang disakralkan.
- Dhuwit panjer: uang muka.
- Nembung: 1) meminta bantuan dengan sopan. 2) melamar
- Lanang: laki-laki.
- Nggih, leres: ya, benar.
- Ngajeni: menghargai, menghormati.
- Putra-wayah: anak cucu, keturunan.
- Njenengan: Anda
- Mbedhah krawang: membuka lahan permukiman untuk pertama kali.
- Bombong: bangga.