Hujan di Akhir Juni
Di akhir Juni, saat hujan menjadi selimut bumi,
langit meneteskan cerita yang tak pernah terucap.
Pada sudut kecil tempat makan itu,
kita bertemu—bukan sebagai kebetulan,
tapi sebagai takdir yang datang malu-malu.
Kutemukan dirimu di sana,
dalam tatapan yang menyembunyikan badai,
mata yang tak perlu berkata,
tapi mampu mengisahkan seluruh dunia.
Ada luka yang kau sembunyikan rapi,
dan aku tak berani menyentuhnya.
Aku mendengarmu,
bukan dengan telinga, tapi dengan hati.
Kisahmu mengalir seperti hujan di luar sana,
menabrak kaca, meneteskan pedih.
Diam-diam aku merasakan sakitmu,
seolah aku memungut pecahan dari cermin yang sama.
Waktu terasa enggan mengalir,
seolah ia tahu bahwa kita membutuhkan jeda.
Tak ada tawa, tak ada janji,
hanya dua jiwa yang saling memahami,
tanpa perlu berkata lebih banyak.
Hujan menjadi saksi bisu,
bagaimana keheningan bisa lebih berisik dari suara,
bagaimana dua hati yang retak,
bisa saling mengisi meski tanpa menyentuh.
Pertemuan ini bukanlah awal yang sempurna,
tapi ia mengajarkanku sesuatu,
bahwa luka tak perlu selalu sembuh,
ia hanya perlu diterima,
seperti hujan yang jatuh tanpa alasan,
tapi selalu membawa harapan.
Pilihan yang Tak Sejalan
Kadang aku bertanya pada hati,
mengapa langkah kita tak seirama,
padahal rasa ini tumbuh dalam tanah yang sama,
namun akar-akar harapan kita menjulur ke arah berbeda.
Kau memilih menjauh,
dengan alasan yang tak pernah kumengerti,
sedangkan aku tetap di sini,
berharap jalan kita akan bersinggungan lagi.
Aku tak menyalahkan langkahmu,
karena setiap insan punya hak,
untuk menentukan jalannya sendiri,
meski jalur itu mengiris hati yang mencintaimu dalam diam.
Mungkin inilah takdir yang harus kulewati,
sebuah jalan yang penuh persimpangan,
di mana aku belajar untuk menerima,
bahwa yang terbaik tak selalu sejalan dengan keinginanku.
Aku memilih untuk tetap di sini,
bukan untuk mengejar,
tapi untuk menghormati rasa,
yang meski tertatih, tetap ingin memperjuangkanmu.
Tuhan tahu hati ini berjuang,
bukan hanya melawan jarak,
tapi juga melawan ketidakpastian,
yang menjelma bayangan di setiap langkahku.
Aku hanya ingin kau tahu,
bahwa meskipun kita tak sejalan,
aku tetap mendoakan kebahagiaanmu,
sekalipun aku bukan alasan di balik senyummu.
Tuhan yang Maha Mendengar
Dalam sunyi yang panjang,
dalam kelam yang tanpa bintang,
kutatap langit dengan mata basah,
dan kutundukkan kepala dengan hati yang pasrah.
Tuhan, aku datang dengan segala resah,
dengan beban yang tak mampu kularung ke mana pun.
Kuucapkan kata-kata yang mungkin terlalu biasa,
tapi Kau tahu, betapa dalam luka ini menggema.
Aku bicara pada-Mu, Tuhanku,
dengan suara yang mungkin terdengar patah-patah,
dengan jiwa yang mungkin mulai lelah,
tapi aku tahu, Kau selalu mendengar.
Tak ada pintu yang tertutup bagi-Mu,
tak ada ruang yang sunyi dari pengawasan-Mu.
Dan aku percaya, meski kadang aku meragu,
Kau tak pernah meninggalkan aku.
Ada doa yang kutanam di sela-sela malam,
ada harapan yang kuselipkan di setiap sujudku,
dan Kau yang Maha Mendengar,
pasti tahu seberapa dalam harapanku tertuju.
Tuhan, jika rasa ini bukan untukku,
jangan biarkan ia tumbuh menjadi duri di hatiku.
Tapi jika memang dia bagian dari takdir yang Kau tulis,
maka dekatkan hatinya padaku dengan cara yang manis.
Aku tak ingin memaksa takdir,
tapi aku ingin memahami isyarat-Mu.
Aku tahu Kau Maha Mendengar,
maka aku tak akan berhenti mengetuk pintu langit-Mu.
Di bawah langit yang luas ini,
dengan hati yang terbungkus ragu,
kutahu Kau mendengar,
meski ucapanku tertelan tangis yang sendu.
Maka Tuhanku, genggamlah hatiku yang rapuh,
berikan aku kekuatan untuk terus bersujud,
dan jika memang dia adalah jawabannya,
biarkan kami berjalan bersama dalam rida-Mu.