ArtikelSerupa

Teras rumah Nyai Suntirah tiba-tiba diselimuti keheningan yang aneh. Barang-barang yang semula sudah siap diangkut ke atas mobil bak terbuka berserakan begitu saja, ditinggal oleh orang-orang kampung yang beberapa menit sebelumnya berdesakan berebut jatah  es teh yang dibagikan Mak Ipeh. Mereka yang baru selesai membantu merapihkan barang-barang milik keluarga Sang Nyai langsung berhamburan ke dalam rumah wanita paruh baya itu.

Sardono hanya bisa terdiam di ruang tamu kakak perempuannya itu. Dalam dadanya terus berkecamuk berbagai perasaan tak karuan, terlebih selepas mendengar jerit Nyai Suntirah yang begitu menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Meskipun jerit itu sudah reda karena sang empunya telah tak sadarkan diri dan terkulai tak berdaya, keriuhan yang menyelimuti perasaan Sardono tak kunjung mereda.

Tak lama berselang, suara Kayim[1] Aripin yang khas saat mengucap salam mulai mengalun dari pengeras suara yang terpasang di mushola. Kayim yang rambutnya telah memutih seluruhnya itu lekas menjalankan tugasnya untuk menyiarkan kabar kematian.

 Tak bisa disangkal, perasaan Sardono tentu saja semakin tak karuan selepas mendengar pengumuman dari Kayim sepuh itu. Sardono juga tak bisa melarang ingatannya untuk memutar kembali kejadian beberapa jam yang lalu.

Pagi tadi, selepas Kayim Aripin melantunkan adzan pertama di mushola, Sardono telah bersiap di halaman rumah Nyai Suntirah. Ditemani mobil bak terbuka yang telah disulap sedemikian rupa dengan beratap terpal dan beralas klasa[2], Sardono menunggu kakak perempuannya yang tengah bersiap bersama Darsiti, putri semata wayangnya.

“No, Darsiti sudah siap. Bisa bantu aku mengangkatnya?” Suara serak Nyai Suntirah mengagetkan adiknya yang tengah menghisap rokok kretek yang tinggal tersisa setengahnya.

“Baik, Yu. Yu Tirah langsung duduk saja. Biar kuangkat Darsiti sendiri saja.”

Sardono segera membuang rokok kreteknya yang tinggal setengah itu ke tanah. Tanpa menunggu jawaban dari kakaknya, ia segera masuk ke kamar keponakannya yang sudah menunggu.

“Mama kemana, Mang?”tanya Darsiti dengan nafas tersengal-sengal saat melihat Sardono memasuki kamarnya seorang diri. Selang oksigen yang terpasang hampir setiap saat rupanya masih belum cukup mampu membantu gadis itu bernafas dengan baik.

“Mamamu menunggu di mobil, Dar. Kau kuat kan kalau selang oksigen itu dilepas sebentar?”

Gadis dengan tubuh kurus kering itu hanya mengangguk lemah. Dengan cekatan, Sardono segera melepas selang oksigen dari hidung keponakannya. Selepas menggendong Darsiti ke mobil, ia pun kembali ke kamar keponakannya itu untuk mengambil beberapa bantal, selimut, dan tabung oksigen.

“Ma, aku pasti akan sembuh, kan?” Pertanyaan yang keluar dari mulut keponakannya itu sempat membuat Sardono menghentikan langkahnya sejenak. Tapi kemudian ia sadar harus buru-buru memasang kembali selang oksigen ke hidung keponakannya.

“Kau pasti sembuh, Dar. Dokter Ginanjar ini salah satu dokter spesialis paru terbaik di kota. Mamang[3] yakin dia pasti bisa membantu kau sembuh. Kau harus semangat ya!” Sardono berusaha memberi semangat untuk keponakannya.

“Mamangmu benar, Dar. Kau pasti akan sembuh,” kata Nyai Suntirah menimpali.

Kakak beradik itu lantas saling membantu menyusun bantal agar bisa menjadi tempat tidur yang nyaman bagi Darsiti. Tak lupa, ia juga memasang kembali selang oksigen yang menjadi salah satu tumpuan hidup keponakannya itu.

 Setelah semuanya siap, Sardono bergegas turun dari bak mobil. Tadinya ia ingin kembali menyalakan sebatang rokok untuk menghalau dingin pagi yang masih menetap meskipun semburat mentari mulai menghiasi langit di ufuk timur. Tapi niat itu diurungkannya saat melihat Kang Rosidin berjalan tergesa ke arahnya. Sardono langsung membuka pintu mobil dan bersiap menyalakan mesin, tapi tiba-tiba Kang Rosidin melarangnya.

“Jangan dinyalakan dulu, No,” cegah Kang Rosidin.

“Kenapa, Kang? Kita harus bergegas berangkat sekarang agar tidak terlalu lama mengantri nanti. Kakang tak perlu berganti pakaian.”

“Kita tak jadi berangkat.”

Jawaban Kang Rosidin membuat Sardono keheranan. Nyai Suntirah yang juga mendengar perkataan suaminya itu bergegas turun dari bak mobil.

“Kenapa, Kang? Kalau ini karena urusan biaya, Kakang tak perlu khawatir. Yang terpenting sekarang anak kita harus segera sembuh,” kata Nyai Suntirah.

“Akan kujelaskan, tapi tidak disini.” Kang Rosidin segera menarik lengan Nyai Suntirah dan Sardono untuk menjauh dari mobil. Sesampainya di teras rumah, Kang Rosidin mulai menjelaskan alasan pembatalannya.

“Aku bertemu Mang Pandi di mushola tadi.”

“Lantas apa urusannya, Kang?”

“Kau harus dengarkan aku dulu, Tirah. Mang Pandi menemuiku di mushola. Dia mengatakan habis bermimpi bertemu dengan Eyang Kakung[4] semalam. Dalam mimpi itu, Eyang Kakung mengisyaratkan agar keturunannya yang sedang sakit segera di bawa ke rumah peninggalannya. Kita tak perlu membawa Darsiti ke dokter. Kita hanya perlu melakukan Titirah[5].”

Mendengar penjelasan itu, Nyai Suntirah dan Sardono langsung saling pandang. Mereka berdua tak percaya ayah Darsiti itu melarang putrinya dibawa berobat hanya karena sebuah mimpi.

“Kang, ini tak masuk akal. Kita harus tetap ikhtiyar membawa Darsiti berobat ke dokter,” kata Sardono berusaha meyakinkan kakak iparnya itu.

“Ini juga bagian dari ikhtiyar, No. Darsiti itu anakku, aku yang lebih tahu apa yang terbaik untuk dia.”

“Sudah. Sudah. Jangan berbicara terlalu keras! Nanti Darsiti dengar. Begini, Kang. Aku tahu maksud Kang Idin itu baik. Maksud Sardono juga baik. Bagaimana kalau sekarang kita tetap bawa Darsiti berobat ke Dokter Ginanjar? Nanti pulang dari sana kita langsung bersiap pindah ke rumah Eyang Kakung.” Nyai Suntirah berusaha mencari jalan tengah agar suami dan adiknya tak perlu melanjutkan perdebatan.

“Aku setuju dengan usulan Yayu[6] Tirah,” timpal Sardono.

“Kenapa tidak kita tukar saja? Kita coba saja dulu melakukan Titirah yang tak memerlukan biaya besar. Jika memang tidak ada perubahan, baru kita bawa Darsiti ke dokter itu.” Kang Rosidin masih tetap teguh pada pendiriannya.

Detik itu, jika saja tidak melihat wajah pasrah Nyai Suntirah, Sardono sudah pasti akan menghadiahi wajah Kang Rosidin dengan bogem mentah. Tapi tentu saja niat itu diurungkannya, terlebih selepas dia melihat kakak perempuannya itu bersiap bicara.

“Kang, tanpa mengurangi rasa hormatku kepadamu selaku suamiku, aku tahu kau pasti menginginkan yang terbaik untuk anak kita. Tapi untuk urusan Titirah ini, apakah sudah benar-benar kau pikirkan dengan matang?”

“Tentu saja sudah. Lagi pula, Mang Pandi itu satu-satunya anak Eyang Kakung yang masih tersisa. Niatnya memberitahu kita pasti baik. Dia hanya ingin saudaranya mendapatkan yang terbaik. Sudahlah, Tirah. Kalau memang kau masih menghormati aku sebagai suamimu, tolong percaya padaku kali ini saja.”

“Tapi, Kang…” Sardono masih tidak percaya dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut Kang Rosidin. Wajahnya semakin memerah pertanda siap meletupkan seluruh kejengkelan. Tapi lagi-lagi Nyai Suntirah mencegahnya.

“Sudah, No. Aku juga percaya niatmu pasti baik ingin membawa Darsiti berobat ke Dokter Ginanjar. Tapi untuk kali ini, biarkan kami mencoba opsi ini dulu, ya.” Suara Nyai Suntirah yang semakin serak berusaha menenangkan adiknya.

“Tapi, Yu…” Sardono tak melanjutkan perlawanannya. Isyarat jari telunjuk yang diletakkan di depan bibir kakak perempuannya sembari menggeleng lemah itu berhasil membungkamnya.

Melihat Sardono yang terdiam, Kang Rosidin segera naik ke bak mobil. Tak lama kemudian, dia kembali turun dengan membawa Darsiti dalam gendongannya, masuk kembali ke rumah mereka. Tanpa menunggu perintah, Nyai Suntirah juga mengikuti langkah suaminya sembari membawa tabung oksigen. Sebelum memasuki pintu, Nyai Suntirah kembali meminta pertolongan dari adik lelakinya itu.

“No, kalau kau tak keberatan, bisa bantu aku sekali lagi?”

“Tentu saja, Yu. Apa yang bisa kubantu?”

“Saat hari sudah terang nanti, bisa kau bantu aku untuk mengundang warga kampung datang kemari? Beri tahu mereka kalau aku membutuhkan bantuan mereka untuk mengemas barang-barang. Aku akan mulai Titirah siang ini juga.”

“Baik, Yu.”

Maka pagi itu, saat matahari mulai naik ke cakrawala, warga kampung mulai berdatangan ke rumah Nyai Suntirah. Pria-wanita, tua-muda, semuanya berbondong-bondong datang untuk membantu mengemas barang-barang yang akan ikut dipindahkan ke rumah Eyang Kakung yang berada di pinggiran desa.

Sardono yang semula sempat menentang usulan kakak iparnya itu pun pada akhirnya tak punya pilihan lain selain ikut membantu. Mobil bak terbuka yang semula sudah dipasang atap terpal dan alas klasa kembali dirombak sebagai mobil pengangkut. Proses pengemasan barang pun berlangsung singkat karena semua orang yang datang saling membantu dengan riang gembira. Sesekali, beberapa warga kampung yang datang juga melempar seloroh jenaka yang disahuti oleh gelak tawa dari yang lainnya.

Sayangnya, suasana hangat khas perkampungan itu tak berlangsung lama. Beberapa saat setelah seorang warga bernama Mak Ipeh membagikan jatah es teh, jerit Nyai Suntirah terdengar dari dalam rumah. Hampir semua warga termasuk Sardono bergegas masuk ke dalam rumah Sang Nyai, meninggalkan barang-barang yang semula sudah siap diangkut ke atas mobil bak terbuka.

“Kenapa kau melakukan ini, Neng?” jerit Nyai Suntirah seraya bersimpuh di hadapan jenazah Darsiti yang tergeletak di pojok kamar. Rupanya gadis bertubuh kurus kering itu sengaja melepas selang oksigen yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya saat semua orang sibuk mengurus persiapan Titirahnya. Gadis itu membiarkan dirinya sendiri meregang nyawa di pojokan kamar di samping jendela.

Sardono yang melihat hal itu langsung beringsut menjauhi kamar keponakannya. Sendi-sendi di kakinya entah kenapa tiba-tiba menjadi lemah seiring jerit kakak perempuannya yang semakin terdengar menyayat hati. Dadanya riuh oleh berbagai perasaan yang tak bisa dijelaskan. Marah, kasihan, sedih, kecewa dan berbagai perasaan acak lainnya bermunculan di dalam dada lelaki itu.

Ketika jerit Nyai Suntirah mereda karena perempuan itu telah tak sadarkan diri dan terkulai tak berdaya, Sardono hanya bisa terdiam di ruang tamu. Bahkan ketika istrinya mendekat dan berbisik lembut di telinga pria itu kalau semua itu bukanlah kesalahannya, keriuhan yang menyelimuti perasaan Sardono tak kunjung mereda dan mungkin tak akan pernah bisa reda selamanya.

 

*Glosarium

[1] Tokoh agama yang bertugas mengurus berbagai prosesi saat terjadi kematian

[2] Tikar anyaman daun pandan

[3] Paman

[4] Kakek

[5] Pergi ke tempat lain (pindah tempat tinggal) untuk memulihkan kesehatan

[6] Sebutan untuk kakak perempuan