Saya berhenti di lampu merah Sadang, Purwakarta. Mobil-mobil besar dari arah tol melenggang di seberang, patung-patung gentong hitam disepuh bias lampu jalan yang temaram, dan STS di sisi jalan penuh plang-plang yang menyala, tempat mantan pacar saya dulu minta dijemput saat Terawan bilang Covid-19 tak lebih parah dari flu biasa dan meminta kita semua tenang saja.
Semua berada di sana persis seperti lima bulan lalu saat saya berniat ingin tinggal di Karawang. Hanya saja kali ini semua terasa seperti bibit mangga hasil cangkokan yang salah tanam. Terasa layu dan murung saja.
Hanya perasaan saya sajakah, atau saya baru saja sadar betapa saya dan kota ini sedang saling pandang: saya di seberang A, kota ini di seberang B. Sama-sama menguarkan aroma kalah yang kental.
Kalau saya kalah oleh pertaruhan sehari-hari, tapi Purwakarta kalah oleh apa?
—
Syamsul bilang di status whatsapp-nya kalau dia selalu bergaul dengan orang-orang yang berantakan hidupnya. Dan salah satu kawan yang dia sebut adalah saya.
Mungkin sekali ini ada hubungannya ketika kami terakhir bertemu dua Minggu lalu, saat dia tanya dengan nada meledek: geus beunghar can? Sudah kaya belum? Saya yakin dia merujuk pada keputusan saya meninggalkan pekerjaan mengajar di sekolah demi bikin kedai kopi yang akhirnya merugi. Dilihat dari manapun itu benar-benar keputusan yang bodoh.
Syamsul betul. Seumur hidup, rasanya belum pernah saya mencapai sesuatu yang penting. Di sekolah, kuliah, mesantren, dan bekerja rasanya saya terbiasa dengan nilai dan pencapaian yang standar saja. Apalagi jika menghitung karir wirausaha saya yang bubuk melulu.
Tempo waktu saya bikin konter pulsa, kemudian bubuk karena terlalu banyak melibatkan orang dan buruknya pengelolaan keuangan. Kali lain bikin percetakan dan berkali-kali gagal produksi karena kurang pengalaman, sehingga klien komplain dan saya tekor. Pernah juga kehilangan uang belanja, kecurian uang, belanja sesuatu yang tidak terlalu penting sampai lupa bayar sewa. Pernah juga karena menggaji karyawan terlalu besar.
Kemudian bikin media online yang jelas cuma bakar uang. Bikin penerbitan, tapi melulu produknya sulit laku. Dan terakhir bikin kedai kopi dan musti tutup karena pandemi. Ini yang paling buruk, sebab melibatkan bank.
Saya curiga, apakah ini sebab kesalahan saya sendiri karena tidak disiplin, sehingga melahirkan sebab lain seperti karakter saya yang tidak kompetitif. Atau karena ada hal lain, misalkan kutukan atau apalah. Karena rasanya ya tidak ada yang mencolok dalam diri saya, sementara daya tahan melakukan hal-hal tak berguna, seperti membuat media online atau menulis di blog itu bukanlah sesuatu yang saya raih dengan kerja keras atau semangat berkompetisi.
Ia lebih pas dibilang, usaha seadanya untuk tidak tidur sepanjang 20 jam dalam sehari saja. Beberapa yang pernah memuji saya untuk itu, sebaiknya tahu betul fakta ini.
Mungkin karena kesia-siaan itulah saya mengkonversinya dengan meledek orang, memprotes negara, mengolok tokoh tertentu, dan lainnya. Semacam mekanisme pertahan diri. Dengan mengoreksi pikiran dan kerjaan orang dan seterusnya. Karena jangan-jangan begitulah aslinya saya. Bukankah yang kerdil jiwanya, suka besar bicara?
Umur saya terus bertambah, tapi saya tak pernah tumbuh dewasa. Tidak hati-hati dan karenanya selalu mengambil keputusan-keputusan yang ceroboh. Seperti memilih bisnis padahal kemampuan manajerial saya payah dan konsistensi saya mudah goyah. Itu minta ampun buruknya.
Saya jadi tidak bisa menata karir, tidak bisa memilah antara kerja yang memenuhi hajat hidup dan cuma kasih makan passion. Sampai pada titik tertentu kesalahan itu berakumulasi pada entah apa, saya harap bukan putus asa.
Saya takjub dengan orang yang kompetitif dan sedikit iri juga. Agaknya mereka lebih terlihat punya daya hidup dan rasa-rasanya tak perlu khawatir ketika hantaman keras terjadi di hidupnya. Orang seperti itu pastilah akan langsung beradaptasi, berhadap-hadap langsung melawannya. Bukan habisin berhari-hari nonton serial Netflix dan matiin hape demi menghindari telepon bank dan klien yang kecewa.
Orang-orang seperti Steve Jobs, Jack Ma, Bezos, Zuckerberg, dan Elon Musk kayaknya adalah orang seperti itu. Disiplin dan kompetitif. Saya ingin setidaknya punya beberapa persen saja dari jiwa-jiwa seperti itu.
Namun dalam kegagalan-kegagalan itu, nyatanya saya masih melakukan hal-hal seperti yang bisa orang lihat: Nyimpang tetap ada, Pustakaki Press masih bekerja. Dan saya masih bisa tertawa melihat Debt Collector menyerbu handphone saya 20 kali dalam sehari.
Apakah tetap bertahan berkarya di tengah kemelut seperti saat ini termasuk sebagai sekian persen dari jiwa disiplin dan kompetitif? Saya tidak tahu, yang jelas saya sudah berhenti berguling-guling di lantai berminggu-minggu sambil mengasihi diri sendiri.
Kini saya mencicil kerja-kerja yang diperlukan untuk terus bersabung. Mulai bekerja pada orang yang tampaknya tidak suka dengan keberadaan saya, kemudian menghidupkan Nyimpang bersama teman-teman, bikin podcast, menyutradarai pementasan, tetap menulis, dan selalu menutup malam dengan mata sedikit sembap dan tertidur setelah mengucap kata “anjing” yang ke 260.
Kita cuma bisa menunda kekalahan. Sekali lagi, sekali lagi, sekali lagi. Setiap hari. Setiap hari. Setiap hari. Sangat sisyphean–mengerjakan sesuatu yang tak ada habisnya. Emang tai sih. Tapi agaknya cuma itu pilihannya.
—
Sudah lima bulan lewat sejak saya pindah ke Karawang demi menyabung nasib (sekali lagi) dan menyembuhkan diri dari dampak mental breakdown setelah bisnis saya musti berhenti beroperasi karena PSBB, putus karena entah apa. Tim bubar, uang terus menipis, dan saya seperti banyak orang takut Covid, dan dada saya sesak melulu.
Kini saya sesekali pulang Purwakarta, kalaupun ada yang musti disyukuri, setidaknya persabungan di Karawang masih berlanjut. Saya gak mau berspekulasi buruk soal pekerjaan dan daya berkarya saya saat ini, tapi juga tidak terlampau banyak berharap.
Lampu-lampu di sekitar Sadang menerangi jalan yang besar dan mulai sepi. Saya tahu, semua orang yang berhadapan dengan pandemi, kalau bukan dengan virusnya langsung, setidaknya dampak-dampak psikologis maupun ekonomisnya saat ini. New normal sudah lama bergaung, tapi sampai saat ini saya masih ingin meraung.
Entah betul atau tidak, saya kira Purwakarta sama dengan tempat lainnya, bergulat dengan pandemi dengan penanganan yang buruk, seperti saya yang selama ini berurusan dengan hidup. Selalu percaya diri di awal meski gegabah, bosan di tengah, dan merasa kalah di akhir.
Bedanya saya betulan kepayahan, mau mengaku, dan siap berbenah. Sedang kota ini sama seperti kota yang lain. Kelihatan kepayahan, tapi tak terdengar jelas pengakuannya, apa lagi niat berbenahnya. Apa boleh bikin, setiap tempat bicara lewat congor politisinya.
Pada akhirnya, seperti Chairil bilang, hidup hanya menunda kekalahan. Apapun yang saat ini membentur jidat kita, bisa jadi cuma ilusi kekalahan. Jika proses bekerja dan berkarya masih ada, dan daya hidup masih menyala, itu artinya cuma satu: kekalahan masih bisa ditunda.
Saya menarik gas, berlalu dari lampu merah Sadang setelah lampu pindah ke hijau dan meludahkan dahak dengan cuek, seperti saya membiarkan negara mengurus nasibnya sendiri.