Menulis adalah pekerjaan sunyi. Tidak ada tepuk tangan meriah saat seseorang menyelesaikan satu paragraf yang brilian. Tidak ada sorak-sorai penonton yang menyaksikan seorang penulis bertarung dengan kata-kata di layar kosong atau lembar kertas yang menantang.
Yang ada hanya suara jemari di atas keyboard atau gesekan pena di atas kertas—dan mungkin, sesekali, desahan napas berat saat satu kalimat terasa begitu sulit dirangkai.
Bagi sebagian orang, menulis adalah bentuk eksistensi. Ia adalah cara untuk tetap ada, bahkan ketika tubuh telah rapuh oleh waktu. Sebuah kalimat yang ditulis hari ini bisa menjadi saksi bagi generasi yang belum lahir.
Kata-kata memiliki kekuatan untuk melampaui keterbatasan fisik, menembus ruang dan waktu, meninggalkan jejak yang tak mudah dihapus. Dalam pengertian ini, menulis bukan sekadar aktivitas, melainkan upaya menuju keabadian.
Tapi, jalan menuju keabadian itu bukan jalur yang ramai. Menulis sering kali berarti terisolasi, terjebak dalam dunia yang hanya dihuni oleh si penulis dan kata-kata yang ia susun. Ada kenikmatan dalam kesendirian itu, tapi juga ada beban yang harus ditanggung.
Sebab menulis bukan hanya soal merangkai kata-kata indah, tetapi juga menghadapi diri sendiri—bertarung dengan ketakutan, kegelisahan, dan pertanyaan-pertanyaan yang tak selalu punya jawaban.
Menulis: Sebuah Dialog dengan Diri Sendiri
Menulis adalah bentuk percakapan paling jujur dengan diri sendiri. Tidak ada sensor, tidak ada penghakiman dari orang lain—hanya ada kejujuran yang mengalir di antara baris-baris tulisan. Saat menulis, seseorang bisa menggali kenangan yang telah lama terkubur, menelanjangi perasaan yang bahkan tak berani diucapkan, atau membangun dunia yang selama ini hanya ada di dalam kepala.
Tapi, kesunyian dalam menulis bukan berarti kesepian. Justru dalam kesunyian itulah seorang penulis menemukan suara dirinya yang paling otentik. Penulis yang baik bukan hanya mereka yang pandai merangkai kata-kata, tetapi juga mereka yang berani mendengarkan suaranya sendiri dan menuangkannya tanpa takut dihakimi.
Namun, di balik keheningan itu, ada dilema. Saat seseorang menulis untuk dirinya sendiri, ia merasa bebas. Tapi ketika tulisan itu harus dibagikan ke dunia, muncul ketakutan—apakah orang akan mengerti? Apakah mereka akan tersentuh? Atau justru tulisan itu akan berlalu begitu saja, tenggelam dalam kebisingan dunia yang semakin sibuk?
Menulis untuk Siapa?
Ini adalah pertanyaan yang sering menghantui para penulis. Apakah kita menulis untuk diri sendiri atau untuk orang lain? Seorang penulis mungkin berkata bahwa ia menulis hanya untuk dirinya sendiri, tapi kenyataannya, setiap tulisan selalu mencari pembaca. Bahkan dalam kesunyian, ada harapan bahwa kata-kata yang dirangkai akan menemukan rumahnya di hati seseorang di luar sana.
Tapi, menulis untuk orang lain berarti siap untuk diterima atau ditolak. Di dunia yang penuh ekspektasi ini, tidak semua tulisan mendapat tempat. Ada yang dipuji, ada yang dicaci, ada yang sekadar diabaikan. Inilah risiko menulis—dan inilah yang membuatnya begitu berharga.
Seorang penulis sejati tidak menulis demi pengakuan, melainkan karena ia tidak bisa tidak menulis. Kata-kata adalah bagian dari hidupnya, dan satu-satunya cara memahami dunia adalah dengan menuangkannya ke dalam tulisan. Keabadian yang ia cari bukan dalam bentuk penghargaan atau popularitas, melainkan dalam jejak yang ia tinggalkan di benak mereka yang membaca karyanya.
Menulis sebagai Perlawanan terhadap Lupa
Kita hidup di era di mana segala sesuatu berlalu dengan cepat. Apa yang viral hari ini, esok sudah tergantikan oleh hal lain. Di tengah derasnya arus informasi, menulis adalah bentuk perlawanan terhadap lupa. Ia adalah upaya untuk merekam, menyimpan, dan mengabadikan sesuatu yang berharga—sekecil apa pun itu.
Setiap orang punya cerita. Setiap pengalaman, pemikiran, atau perasaan yang pernah dirasakan adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Dengan menulis, kita memberi makna pada hal-hal yang mungkin tampak sepele. Kita mengabadikan momen-momen yang bisa saja lenyap tanpa jejak jika tidak pernah dituliskan.
Menulis adalah cara untuk berkata kepada dunia, “Aku pernah ada. Aku pernah berpikir. Aku pernah merasa.” Dalam sunyi, seorang penulis berbicara kepada masa depan—kepada orang-orang yang mungkin belum pernah ia temui, tetapi akan menemukan dirinya dalam kata-kata yang ia tinggalkan.
Keabadian dalam Kesendirian
Menulis bukanlah jalan yang mudah. Ia penuh keraguan, kesunyian, dan sering kali kesepian. Tapi bagi mereka yang menjalaninya dengan sepenuh hati, menulis adalah panggilan. Bukan sekadar untuk mengisi halaman kosong, tetapi untuk menemukan makna, menyampaikan gagasan, dan meninggalkan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Keabadian sejati tidak selalu tentang dikenang banyak orang. Kadang, cukup jika ada satu hati yang tersentuh, satu pikiran yang terbuka, atau satu kehidupan yang berubah karena tulisan kita. Dan untuk itu, kesunyian dalam menulis bukanlah sebuah beban—melainkan sebuah anugerah.