Ketika Kiai Haji Agus Salim menemui adiknya yang baru masuk Katolik, Abdoel Chalid Salim di Belanda, ia mengucap rasa syukur atas iman baru sang adik tersebut. Seorang Kiai yang tak begitu terusik melihat adiknya berganti agama, membuat saya merasa agak ganjil, karena itu bukanlah pemandangan dan kisah yang bisa kita temukan setiap hari. Sikap yang ditunjukkan Kiai Haji Agus Salim itu, dalam buku Membumikan Islam yang ditulis oleh Buya Syafii Maarif (beliau layak mendapat tempat terbaik di surga), disebut sebagai sikap yang merepresensikan Al-Qur’an. Tak ada satu pun ajaran dalam Al-Qur’an yang membolehkan kita menghakimi keyakinan orang lain.
Berangkat dari cerita kerendahan hati dan kesalehan Kiai Haji Agus Salim saya mendapati pelajaran baru. Tapi pelajaran baru seperti itu jelas berbeda jika dibandingkan pengalaman baru. Seseorang bijak bestari bilang, kau tak akan tahu rasa asin garam, sampai kau sungguh-sungguh mencicipnya dengan lidahmu.
Seminggu yang lalu, Jumat 20 Mei 2022, dengan mengendarai sepeda motor dan perjuangan melawan perasaan malas menghirup udara pagi, saya menemui dua kawan saya di Purwakarta untuk hadir dalam agenda Jambore Keberagaman – Camping Halaman (Hangat Lintas Iman). Agenda itu diselenggarakan oleh Pastoral Keuskupan Bandung di Bumi Perkemahan Kiarapayung, Jatinangor, Sumedang selama tiga hari dua malam. Bersama dua kawan saya dari Purwakarta, kami hadir untuk mewakili Gusdurian Purwakarta.
Dari Purwakarta, kami naik travel untuk berkumpul di Pusat Pastoral Keuskupan Bandung (Bumi Silih Asih) di Jalan Moch. Ramdan, Kota Bandung, dan menunggu teman-teman yang lain dari berbagai kota di Jawa Barat yang juga akan turut hadir. Kurang lebih pukul tiga sore, bersama seluruh peserta yang ada saat itu, kami menumpang bus rombongan untuk ke lokasi perkemahan.
Begitu tiba di bumi perkemahan, udara yang dingin dan lokasi yang sepi dari bising deru kendaraan berhasil meniup tengkuk dan leher kami. Tetapi tak lama setelah itu kehangatan kami rasakan saat acara pertama dimulai dengan perkenalan lewat permainan yang lucu dan seru. Permainan yang membuat kami duduk melingkar dan berpegangan tangan dengan sembarang orang. Permainan kancil-rumah-banjir itu seakan-akan mengingatkan pentingnya membuka diri kami masing-masing agar bersedia menerima segala yang hadir di hadapan kami saat itu.
Lalu saat matahari tenggelam, kami berkumpul di aula, menerima kehadiran pastor, para romo, dan kiai untuk duduk di tengah-tengah kami, menyambut dan membuka acara yang diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, lagu kebangsaan yang ditulis oleh W.R. Supratman dan mengakhirnya dengan doa yang dipimpin oleh seorang kiai.
Bagaimanapun keragaman itu hadir sejak awal dan kami menerimanya begitu saja; tak merasa paling heroik dan inklusif, biasa, seolah itu memang bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan, dan bukan sesuatu yang istimewa. Karena keragaman yang seperti itu, seperti yang sama-sama kita tahu, telah lahir dan hadir di tengah-tengah kita sejak bangsa ini berdiri dan berdaulat.
Bagaimanapun kemerdekaan Indonesia adalah wujud nyata kerjasama yang tak pandang suku, ras, agama, dan antar golongan. Membuat bangsa ini, seperti tema yang diangkat dalam agenda Camping Halaman, “Keberagaman adalah Kekuatan Bangsa”, betul-betul memiliki kekuatan untuk berdiri tegak di atas kakinya sendiri dan menjadi bangsa yang merdeka.
Hari kedua, cuaca tetap dingin dan orang-orang yang terus saling menghangatkan, kembali berkumpul untuk mendengarkan Kang Wawan, seorang penggagas Jakatarub (Jaringan Antar Umat Beragama), terkait pemaparannya tentang Hak Asasi Manusia.
Kang Wawan menyampaikan bahwa setiap orang punya perlindungan undang-undang dalam menentukan pilihannya, dalam segala urusan, termasuk dalam memilih agamanya. Sehingga perlindungan dari undang-undang yang ada, seharusnya, setiap agama berhak untuk melakukan kegiatan peribadatan secara bebas, dan tanpa diskriminasi.
Mengingat hal itu, saya merasa sungkan ketika pertama kali bertemu Gilang, seorang Ahmadiyah yang saya temui di perkemahan saat itu. Saya masih ingat dan menyimpan peristiwa yang terjadi di Bekasi 2013 silam, ketika masjid Al-Misbah milik umat Ahmadiyah yang berdiri sejak tahun 1993, disegel atas prasangka kejam dari sebagian umat islam.
Prasangka kejam atas keyakinan berbeda yang dimiliki orang lain, saya percaya, lahir atas ketidaktahuan kita pada banyaknya versi-versi kebenaran. Kebenaran yang kita pegang erat itu, mengutip apa yang disampaikan oleh Muhidin M Dahlan, kerap membuat kita menolak sesuatu tanpa proses mempelajarinya dengan tekun.
Jujur saja, ketika Gilang menjabat tangan saya dan memperkenalkan namanya, yang saya terima adalah senyum yang mengembang, wajah yang bersinar, dan bukan api yang membara. Jika prasangka yang sebagian umat islam berikan kepada keyakinan Gilang itu benar, apakah prasangka itu justru membuat orang-orang berlaku baik dan tak pandang bulu? Lalu apakah hal-hal yang kita percaya dan kita anggap sebagai satu-satunya kebenaran membuat kita berlaku naif pada orang-orang yang berbeda?
Tak hanya Gilang, saya juga mendapat banyak kebaikan dari banyak orang. Mulai dari seorang murtadin yang merasa dirinya terancam karena satu tafsir hadits yang menghalalkan darahnya, para penganut kristen, katolik, protestan, hindu, buddha, hingga penghayat kepercayaan. Mereka tak mengendurkan niat baik mereka hanya karena mereka tahu bahwa saya adalah seorang yang menganut kepercayaan yang kerap kali menyulitkan mereka dari banyak aspek.
Di tengah kemarau kesadaran masyarakat terhadap kemajemukan beragama dan berbangsa itu, saya telah melalui tiga hari untuk mencicipi keberagaman sebagai rahmat Tuhan. Sebab kebaikan yang mengalir deras tanpa menimbang suku, ras, dan agama, adalah rahmatan lil’alamin yang telah sama-sama kita lewatkan kehadirannya. Dari pengalaman itu seketika saya mengerti kenapa reaksi Kiai Haji Agus Salim memberi selamat alih-alih mengecam sang adik yang baru masuk Katolik itu. Hal ini agaknya selaras dengan yang Almarhum Gusdur bilang: “Semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin tinggi toleransinya.”