Belakangan rasanya kampus saya kian mirip dengan penjara sungguhan. berpakaian dan berpenampilan diatur sedemikian rupa, ruang diskusi semakin sempit. Di koridor, ruang kelas, bahkan perpustakaan yang semestinya menjadi tolok ukur di mana kegiatan mendiskusikan sesuatu yang aman dan nyaman dilakukan malah semakin sepi dan nyaris tak terdengar apapun.
Ini hanya segelintir dari persoalan yang ada. Dilema yang lainnya adalah kampus tidak pernah memberikan pemahaman bagaimana pentingnya menjaga kekayaan intelektual. Di sini sering kali kampus tidak pernah berhasil dalam mencegah buku-buku bajakan yang digunakan di kalangan mahasiswa. Bahkan buku-buku bajakan mendominasi buku wajib dan buku referensi yang digunakan setiap pembelajaran.
Respon baik terhadap keresahaan ini seharusnya diinisiasi oleh ormawa dan internal kampus. Karena mereka lebih memahami persoalan bagaimana perguruan tinggi hanya mencetak manusia-manusia yang patuh terhadap doktrin kepatuhan semata. Bukankah semestinya mahasiswa ditempa untuk bernalar kritis, bukan hanya setia pada nilai akademis.
Begitupun dalam berorganisasi dan pengabdian di lingkungan masyarakat dalam membaca tanda dan fenomena. Pasalnya, mahasiswa yang mengkritisi kebijakan-kebijakan dosen atau peraturan kampus, nilai akademisinya menjadi sorotan utama.
Di era revolusi industri 4.0 ini kepatuhan terhadap peraturan menjadi sangat mutlak. Bingkai pendidikan dengan jargon revolusi industri 4.0 yang digaungkan dari tahun ke tahun setiap penerimaan mahasiswa baru nampaknya hanya pepesan kosong. Lulus sarjana langsung dapat kerja. Tanpa refleksi dan pikiran kritis, apa definisi revolusi industri 4.0, siapakah yang diuntungkan, apakah perusahaan atau malah kita sebagai lulusan sarjana yang nantinya seorang pekerja yang akan dikerdilkan maknanya.
Katanya, pada era revolusi industri 4.0 mahasiswa dituntut tidak hanya memahami literasi lama seperti membaca dan menulis, tetapi juga wajib menguasai tiga literasi baru yakni, literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia. Era revolusi industri 4.0 memang tidak bisa dihindari. Sayangnya kemajuan teknologi yang ada tidak selalu dibarengi dengan mekanisme uji kompetensi yang memadai. Kampus yang “katanya” membuat sumber daya manusia lebih unggul (adaptif dan inovatif) tetapi mencetak manusia seadanya.
Bicara tentang literasi tentunya bukan hanya sebatas baca, tulis dan hitung (calistung) namun harus didasari dengan kompetensi mengelola, menganalisa, mengemas kembali, dan membagikan informasi. Dengan kata lain segala sesuatu yang mencangkup semua aspek dan aktifitas kehidupan individu. Menurut UNESCO, literasi adalah proses pembelajaran seumur hidup. Literasi lebih dari sekedar membaca dan menulis. Ia juga mencangkup bagaimana seseorang berkomunikasi di dalam masyarakat.
Pemahaman generasi hari ini tentang literasi media juga sangat penting. Bagi generasi Z (1995-2010) dan Alpha (2010~) melek media adalah senjata utama. Akses informasi yang tidak terbatas dari platform yang disediakan oleh internet yang mana kebenaran bukan lagi parameter utamanya. Di sinilah peran kampus yang seharusnya membebaskan bukan membatasi. Caranya ya dengan memberikan ruang diskusi untuk mendalami terus-menerus diskursus ini.
Kampus memang berbeda dengan SD, SMP, SMA di mana peserta didik bisa mendapatkan pengalaman berharga yang tidak di dapatkan di OSIS. Tidak percaya, cobalah mendaftar organisasi mahasiswa. Disanalah tempat yang tepat untuk mengenal relasi yang lebih luas, dilatih untuk memimpin, dan lebih peduli melihat sekitar. Respect terhadap mereka yang berani menceburkan diri ke dalam organisasi. Membuat progam kerja, membuat ruang diskusi, peduli terhadap current issue di masyarakat, berani menentang kebijakan, dan menjadi wadah aspirasi mahasiswa.
Jika ruang kelas membuat arena kompetisi dengan nilai IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) maka organisasi mengharuskan berkolaborasi untuk lebih melihat nilai-nilai kemanusiaan. Jangan percaya jika ada dosen yang bilang demonstrasi dan aksi turun ke jalan tak ada gunanya. Bahwa dasar hidup itu adalah solidaritas dan kepedulian untuk tetap melawan ketidakadilan dan penindasan.
Begitu juga kampus yang notabene sebagai ruang publik apakah sudah memberikan ruang aman untuk perempuan?. Melirik laporan kolaborasi #NamaBaikKampus yang dilakukan oleh Tirto, Vice, dan Jakarta Post yang menghitung jumlah kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus secara lengkap, berhasil menghimpun 174 kasus di 79 kampus dan 29 kota dari testimoni para korban.
Meskipun catatan tahunan komnas perempuan tahun 2020 belum di rilis, pada catahu 2019 kekerasan terhadap perempuan yang di laporkan mengalami peningkatan yaitu sebesar 406.178 kasus naik sekitar 14% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Catahu 2018) yaitu sebesar 348.446.
Masih ingat kasus Agni di UGM, UIN SGD Bandung, Universitas Telkom, dan lain-lain. Kita semua melihat kekhawatiran di sini. Maka perlunya membuat support system untuk memutus rantai kekerasan seksual. Kampus perlu mengedukasi diri dan memberikan informasi pelecehan seksual, perspektif gender, dan serius dalam menjamin keamanan civitas akademika.
Saya sepakat dengan Eko Prasetyo yang bilang: kuliah bukan seperti tamasya. Datang, bayar, dan nikmati pelajaran. Kuliah adalah mereguk pengalaman berharga untuk bertarung merebut hal yang terhormat dan mulia.
Sehingga kesadaran kritis selalu menjadi napas baru dalam pendidikan menyadarkan kita untuk melawan “banking education”, pendidikan yang hanya meminta kita untuk menyimpan pengetahuan bagaikan tabungan bank tanpa sungguh-sungguh memahami pengetahuan tersebut. Dalam istilah Paulo Freire disebut “kesadaran pasif”.
Untuk itulah, semestinya kampus tidak hanya menekankan pada pengetahuannya saja, tetapi juga pola pikirnya. Sebab pada akhirnya basic kesadaran kritis dalam pendidikan bukan saja pencapaian individual tetapi pencapaian kolektif.