Hari ini aku bisa kembali hidup normal. Aku bisa berjalan, bisa makan enak, tidur nyenyak, sampai bisa pulang-pergi lagi untuk bekerja di kawasan industri Bukit Indah Cekali (BIC). Meski kata Buya Hamka: jika hidup hanya seperti itu saja, hewan-hewan di hutan juga bisa.
Sebagai orang desa, aku punya kendala tersendiri dari pada rekan kerja yang lain. Jarak dari rumahku ke tempat kerja adalah yang paling jauh, yaitu satu jam perjalanan. Rekan-rekan kerjaku banyak yang menyarankanku indekos. Tapi perjalanan jauh itu tidak menjadi masalah berarti bagiku, yang penting aku dapat selalu dekat dengan Mama dan tinggal serumah bersamanya.
Lalu ada juga pandangan lain yang menarik, yaitu rekan-rekan kerjaku menganggap aku ini nyantri gara-gara aku tinggal di desa. Memang, di pedesaanku banyak berdiri pesantren-pesantren. Tapi aku sendiri sebenernya tidak pernah mesantren. Meski begitu, semoga saja bukan berarti aku tak berhak menjadi orang yang saleh. Jadi aku amini saja anggapan rekan-rekanku. Sebab aku percaya bahwa apa-apa yang terucap itu akan tercipta, dan menuntut untuk diwujudkan. Semogalah aku dapat berwujud menjadi orang saleh dan cendekia selayaknya seorang santri.
***
Tiba di hari Senin. Kata temanku, Kita harus menyambut hari dengan se-mangat me-nin-gkat. Ya, Aku setuju. Semangatku sangat ditingkatkan hari ini. Sarapan juga sampai habis dua piring.
“Man! Ayo berangkat kerja! Ini udah siang.” seru Mamaku.
“Iya Ma, siap!” sahutku.
Lalu aku berargumentasi dengan lirih, sambil bergegas meninggalkan meja makan. “Utamakan dulu sarapan, Ma, kita ini bangsa merdeka.”
Aku tergelak dalam hati.
Kita harus tahu bahwa di pabrik-pabrik sering ada karyawan yang untuk sarapan saja mereka harus sampai ngumpet di sela-sela area produksi dan curi-curi waktu. Kadang banyak pula di antara mereka yang enggak sempat sarapan sama sekali karena terlalu fokus kejar-kejaran dengan jam masuk kerja. Ya, kalau Mama ku, sih, sudah tahu realita itu.
Di tempat kerja. Aku punya sahabat bernama Teguh. Kita bersahabat sebab kita mempunyai satu visi yang sama. Dan sekarang, sebelum masuk kerja, aku sedang ngopi bareng Teguh. Gak cuma Teguh, sih. Jan dan Kabil juga. Mereka adalah rekan kerjaku. Tapi kalau mereka berdua itu hanya rekan kerja, ya, bukan sahabat.
Bagi kami, ngopi itu bukan sekadar minum kopi. Lebih dari itu, ngopi adalah momen bagiku untuk bisa “ngobrol pintar” di sana. Pagi ini, Jan yang merasa punya cerita pintar, lantas membuka obrolan kami di Kantin Liberal ini. Hush! Jangan “anu” dulu. Liberal itu memang nama kantin di tempat kerjaku. Bukan maksud apa-apa.
“Aduuuh, Tiga hari kemarin benar-benar gila! Malam kerja lembur di pabrik, siangnya kerja lagi di rumah.” ungkap Jan.
“Wah, panen, panen?!” sahutku, sebab aku tahu kalau orangtuanya Jan adalah Pak Tani yang sawahnya luas sekali.
“Iya, Man. Maklumlah keluarga petani. Untung Saya punya doping!” kata Jan.
“Apa tuh?” Habil bertanya.
Jan mengendap, dia membisik dengan mimik yang dibuat-buat, untuk memberikan kesan menegangkan. “Sabu-sabu, Man!”
Kami terperangah mendengar jawabannya itu. Ternyata yang disampaikannya memang membuat kami jadi tegang.
“Santai, Bro! Saya udah biasa. Saya udah punya takaran dosisnya. Dan saya cuman pakai di momen-momen gila aja, kok, kayak kemarin. Kalau tanpa doping, ya capek lah! Badan pasti nge-drop ya kan,”
Jelas kami semua kaget dan bertanya-tanya.
Tapi kepintaran Jan seolah memberikan pengertian yang rasional. Bahkan jadi terkesan begitu bijak. Katanya, mengonsumsi narkotika itu tak jadi masalah selama mempunyai takaran dosisnya. Jan pun mengaku efeknya gak bikin kecanduan. Dia menganggap benda terlarang itu seperti benda penambah stamina pada umumnya saja. Kami semua hanya bisa mengangguk-angguk, menyeruput kopi kembali, santai, dan liberal.
Selepas itu Habil tergelak, dia pun berseloroh. “Kalau saya, sih, suka seks supaya bisa fresh terus mah.”
“Memangnya kamu punya istri?” Teguh spontan bertanya.
“Ya, di Cikelalawar juga banyak, kan, tempat pijat tambah-tambah mah.” jawab Habil.
“Pijat plus-plus.”
“Nah, itu tahu?!” seloroh Habil kala Teguh tadi menimpali.
“Cuman 300 ribu, raga ini diolah sampai fresh lagi, Bro!”
Wiuuuw wiuuuw wiuuuw
Bel masuk kerja yang bak sirene telah berbunyi. Memungkas cerita Habil yang begitu menegangkan juga. Pembahasan yang berbahaya memang menarik untuk diobrolkan, tapi tarikan bel masuk kerja itu lebih kuat untuk menggiringkan kami. Sebab bisa bahaya, sih, jika kami sampai mengabaikannya.
Bergegas meninggalkan Kantin Liberal, kopi yang masih hangat itu pun seakan-akan berkelakar, mengiringi langkah-langkah kaki kami yang hendak memasuki gedung yang kaku itu. “Katanya merdeka? Tapi untuk sekadar ngobrol aja masih terbentur oleh waktu. Tak bebas, malah cenderung tertindas.”
Kerja hari ini tak ada lemburan. Order mulai sepi, tapi lelah masih terasa singgah. Karena aku baru masuk kerja lagi setelah lebih dari sebulan cuti untuk recovery setelah mengalami kecelakaan. Bayangkan saja, kondisi belum sembuh total, tapi aku dituntut untuk bekerja seperti orang yang kesehatannya normal. Aku sampai berpikiran bahwa mereka itu tidak punya rasa kemanusiaan.
Hidup di dalam ideologi pancasila, kok, enggak berprikemanusiaan. Eh, tapi memang, sih, empunya pabrik ini kan asing. Maka wajar kalau tidak Pancasilais, dan hidup mereka hanya demi memenuhi hajat kapitalnya. Eh, tapi, kan pemegang kebijakan manajemen perusahaannya, juga partner kerjanya sebangsa kita sendiri. Masa tidak pancasilais juga?! Apakah penanaman nilai-nilai pancasila belum benar-benar membumi secara menyeluruh?!
Ah, lelah! Sudahlah, yang aku butuhkan sekarang adalah penambahan stamina, juga penyegaran diri. Tak ada lemburan, artinya bisa pulang lebih awal dari biasanya.
Menjelang waktu istirahat, ada masa rehat kurang lebih 5 menit. Aku menghampiri Habil yang sedang duduk berdua dengan Jan di kursi dekat tempat penyimpanan tas. Aku bertanya.
“Bil, Cikelalawar itu di mana? Saya butuh refreshing, nih.”
Mereka berdua tergelak, aku pun spontan demikian.
“Hahah … mau apa, Man?”
“Yeh … kan kata kamu tadi pagi, sih, mengolah raga, kan, supaya bisa refresh,” kataku santai.
Mereka berdua semakin terbahak-bahak.
Mungkin kalau ada Teguh, bisa jadi dia pun akan menertawaiku. Atau bisa jadi menamparku. Untung dia sedang ke toilet.
“Man, janganlah, kamu jangan sampai main ke Cikelalawar, atau ke tempat kayak begituan. Saya paham maksud kamu. Tapi janganlah, kamu jangan sampai gitu!” bijaknya Habil.
Aku melongo. Aku justru jadi merasa tidak paham. Aku merasa kurang puas.
“Ya sudah, Jan, Aku minta sabu-sabu aja, deh. Lelah nih, butuh doping!” sambungku.
Jan pun langsung menjawab. “Aduuuh, jangan-jangan-jangan! Kamu gak boleh lah coba-coba pakai itu,”
Aku jadi semakin bingung, mereka berdua kembali tergelak. Sambil tertawa-tawa, mereka berdua meninggalkanku untuk keluar gedung, untuk makan siang, untuk beristirahat.
Teguh menegurku dari belakang. Lalu aku berjalan dengannya. Keluar gedung, untuk makan siang, untuk beristirahat. Tapi sambil memikirkan sebuah pertanyaan.
“Mengapa Jan melarangku mengkonsumsi narkotika? Mengapa Habil melarangku menjumpai seks bebas? Mengapa, mengapa Jan dan Habil melakukan hal yang sebenarnya dilarang oleh diri mereka sendiri?”
**
Sebulan kemudian
“Bu, Mimin kemana Bu? Gak kelihatan,” tegur sapa Teguh dengan Ibu angkatnya. Ya, Beliau adalah penjaga Kantin Liberal, kantin di tempat kerjaku itu.
Si Ibu biasanya ditemani oleh anak semata wayangnya, yaitu Mimin. Teguh sudah sangat akrab dengan mereka. Dia seringkali jajan kopi, sampai menyeduhnya sendiri, sesekali juga suka ikutan melayani pembeli. Bahkan Teguh suka berkunjung ke rumah Si Ibu. Tak pelak aku menyebut beliau sebagai ibu angkat Teguh. Boleh jadi, ngopi memang salah satu media untuk memanjangkan tali silaturahmi.
“Mimin enggak ikut ke kantin. Katanya mau main keluar kota. Maklumlah, sekarang Mimin udah punya pacar.” jelas Si Ibu.
Teguh menanggapi dengan sopan. Mengiyakan, mengangguk-angguk sambil mengocek kopi yang telah dilaruti air panas. Masih dengan kesopanannya, Teguh menyunggingkan senyum terhadap Si Ibu, seolah-olah dia tidak masalah dengan realita bahwa beliau tampak membolehkan Mimin main pacar-pacaran. Teguh lantas menghampiri aku yang tengah menanti suguhan kopi pagi.
Pagi ini aku hanya berduaan dengan Teguh. Kali ini kami ngopi lebih awal daripada biasanya. Dengan alasan agar kopinya dapat kita minum sampai habis, supaya dia tak sampai berkelakar lagi manakala bunyi bel masuk kerja menarik paksa kami untuk lekas beranjak dari kantin.
Pagi ini Habil ikut tak masuk kerja. Setelah sudah beberapa hari kebelakang Jan yang tidak masuk kerja. Kali ini sosok mereka berdua hanya hadir sebagai bahan obrolan kami di Kantin Liberal, diantara dua cangkir kopi.
Jan. Aku mendengar kabar bahwa hari ini Jan resmi keluar dari pekerjaannya di sini. Dia tertangkap pihak keamanan atas kasus penyalah gunaan narkotika. Teguh tahu itu, dia mengonfirmasi. Lantas dia menyeruput kopi hangat digengamannya untuk segera menyadari bahwa pahit-manis perjalanan hidup memanglah keniscayaan dari apa yang telah kita perbuat sendiri.
Kabar itu benar-benar menjadi pukulan telak bagi kami. Tapi menurutku, memang, hidup bertentangan dengan konstitusi adalah sebuah kekeliruan yang besar.
Belum habis soal Jan, Teguh menyuguhkan pula berita soal Habil, yang lagi-lagi itu membuatku menderita. Habil tak masuk kerja hari ini sebab dia terjerat skandal seks. Ternyata, selain kerap bermain ke Cikelalawar atau ke tempat prostitusi lainnya, Habil pun suka melampiaskan nafsu birahinya kepada pacarnya. Sampai akhirnya, sekarang wanitanya itu hamil di luar nikah. Konsekuensinya Habil akan diasingkan ke luar kota, atau entah jauh ke luar pulau. Jadi sudah tentu dia takkan bisa tetap bekerja di sini bersama kami.
“Aku heran Man, aku kira teman-teman kita tak separah itu. Tapi kebetulan aku ada komunikasi sama Jan dan Habil semalam. Dan, ya, mereka menyesali. Sebab sebenarnya mereka mengakui bahwa hal yang mereka lakukan itu adalah sebuah kesalahan.” ungkap Teguh.
Aku termenung. Sedikitnya, aku pun tahu sisi lain dari Jan dan Habil. Bahwa sejujurnya mereka mengetahui bahwa perbuatan yang disenanginya itu adalah yang terlarang. Tapi mengapa?! Mengapa penyesalan itu harus datang? Mengapa baru hendak bertekad untuk berhenti mengonsumsi narkotika setelah tertangkap oleh pihak berwajib? Mengapa baru menyadari seks bebas itu adalah sebuah kesalahan setelah ada kejadian hamil duluan?
***
Seminggu berselang, Mimin tak jua dapat kupandang. Kemana dia? Tapi Teguh melarangku untuk menanyakan itu kepada Si Ibu.
Tapi aku pikir, mengapa aku harus nurut sama Teguh, sedang dia tak bisa memberi aku jawaban.
“Bu, Mimin kemana, Bu? Gak kelihatan,” tanyaku.
Si Ibu menangis seketika mendengar pertanyaanku. Beliau berdiam, Teguh segera mendekapnya. Suasana menjadi senyap. Tapi tampaknya terjadi kegaduhan di dalam hati si Ibu yang teramat kacau di sana.
Aku kaget kebingungan. Dan kali ini, aku menuruti omongan Teguh yang melarangku untuk mendekati Si Ibu.
Aku duduk kembali, si Ibu akhirnya kembali tenang.
Teguh segera mengajakku pergi meninggalkan kantin dengan harapan supaya si Ibu tetap baik-baik saja.
Pas berduaan denganku, Teguh menjelaskan sesuatu bahwa Mimin mengalami trauma. Dia ditinggalkan pacarnya setelah lelaki itu menggaulinya. Tak pelak, itu menjadi pukulan telak bagi si Ibu. Mimin dikurung di rumah untuk sementara waktu. Si Ibu tak rela jika anak semata wayangnya yang telah beliau didik, yang telah dibinanya, malah dibinatangkan oleh orang lain.
Aku tak habis pikir, tapi aku kehabisan kata-kata untuk menanggapinya. Aku hanya dapat berdiam dan merana. Kagetnya bukan main.
Lantas aku mengendapkan pertanyaan: mengapa aku tidak dilarang untuk berpacaran? Apakah karena aku bukan wanita?
Ah, hidupku kerap dengan sebuah pertanyaan-pertanyaan. Tidak bisa seperti hewan-hewan di hutan.