Gara-gara Sebul.id bikin tulisan berjudul “Babak Baru: Sastra Purwakarta bla bla bla“, saya jadi bikin tulisan juga dengan judul “Gara-gara Sebul”.
Hmmm
Ya gitu sih, tulisannya sensasional. Menyinggung soal pegiat literasi di Purwakarta, dan lumayan membuat geger dunia literasi Purwakarta! Uwh.
Gara-gara itu saya jadi bertanya-tanya: Apa, sih, pegiat literasi téh? Jadi seperti yang diformulasikan Sebul.id bahwa kalau ada apa-apa téh kudu giat searching ke Gugel, ya gas lah saya melakukan itu.
Ceuk Gugel, pegiat literasi adalah individu atau kelompok yang secara sukarela mengelola gerakan literasi di keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. Setelah itu, saya kok, jadi bertanya lagi:
Apa maksudnya itu gerakan literasi?
Hadeuh… katanya sih, aktivitas untuk membudayakan gemar membaca dan menulis. Dari sana lah, saya langsung menyoroti 14 nama komunitas literasi di Purwakarta yang di-list oleh Sebul.id pada tulisannya.
Apa benar mereka téh melakukan gerakan literasinya secara sukarela? Atau sebenarnya mereka mempunyai pamrih; ingin ini, ingin itu?
Ya, semisal kepengen punya label-diri aja karena udah bosen lama-lama hidup tapi dirinya tak kunjung berlabel juga, atau; ternyata disetir oleh partai politik karena ingin dikasih jabatan di negara ini. Kalau engga, ya minimal karena ingin dapat suatu projek gitu lah nantinya atau; ingin cuan karena melihat potensi bisnis di sektor ini, atau; ingin mempunyai basis massa untuk urgensi revolusi/makar, atau; hanya karena ingin bisa deketin si doi.
Lagian, ngapain sih mereka téh masih muda malah memilih untuk sibuk melakukan gerakan-gerakan literasi. Ngajakin orang-orang untuk gemar membaca dan menulis?
Terus memangnya mereka sendiri udah ahli dalam perkara gemar baca-tulis sehingga mereka berasa punya nilai plus untuk kemudian bisa mengingatkan hal tersebut ke orang lain (dalam artian orang-orang yang gak gemar baca tulis téh malang nasibnya). Atau justru mereka hanya sedang mengingatkan diri mereka sendiri dan mengajak orang lain mah supaya mereka punya teman baru aja, gitu?
Dipikir-pikir, bagi saya mereka semua itu naif. Soalnya ceuk guru saya, Prof. Hasan Al-Amin, ya belajar itu harus sampai pinter dan bisa menggunakan yang telah dipelajarinya. Dalam kata lain, membaca itu harus sampai memahami, sampai mampu menjadikan bacaannya bermanfaat, bukan cuman buat gemar doang!
Sederhananya, pada perkara kamu gemar membaca buku resep-resep masakan, misalnya. Ya terus kamu sampai mengetahui setiap bahan-bahan yang tertera di sana, gak? Kamu sampai dapat menyiapkan bahan-bahannya itu, lalu sampai dapat mengeksekusinya, sampai ke titik masakan itu matang dan bermanfaat, gak?
Nah, mereka itu, adalah orang-orang yang udah seperti itu belum pada setiap apa yang dibacanya? Atau cuman sekadar gemar doang, selesai! Geus weh.
Sebab kalau soal pembacaan-nya aja belum lengkap, maka output pada kepenulisannya pun bakalan kek gitu. Kek, tulisannya Sebul.id bahwa soal gerakan literasi (pemuda) di Purwakarta téh katanya cuman dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Farid dan Hadi.
Padahal Purwakarta ini gak sekitar Munjul-Kebon Kolot doang, Brader!
Purwakarta lebih luas daripada itu. Coba baca-bacalah lagi di bagian lainnya, ada madzhab Indra Nugraha, Fikri MI di Harokah Brother Muslim, Kang Mulyana di kawasan Darangdan-Bojong sana.
Sebab mereka juga punya aliran yang deras dan tak kalah dari Farid-Hadi di Purwakarta ini. Jadi, perkara dominasi Farid dan Hadi mah mungkin bukan kaliber se-Purwakarta-eun, tapi cuman sesirkel literasi-literasi club kamu doang.
Terus, gara-gara Sebul.id belum lengkap membaca lagi, dia menuliskan bahwa
“Mereka (KOPEL) tidak memiliki aktivitas pena (sebagaimana namanya Komunitas Pena dan Lensa.)“
Sampai berani sesumbar: “Mana? Saya ingin baca karya mereka.”
Ya, ampun, padahal di miladnya yang pertama, tahun 2018, KOPEL launching karya tulisnya yang bertajuk: Cita-cita Puisi, yang itu pun diterbitkan oleh Pustakaki Press-nya Farid.
Dan sampai sekarang, kawan-kawan KOPEL menuangkan tulisannya di daridesa.com, salah satu media yang mereka punya.
Gara-gara Sebul.id, saya jadi semakin bertanya-tanya tentang keberadaan (label) Pegiat literasi téh? Apakah layak mereka itu disebut Pegiat literasi? Sedangkan mereka masih aja mendukung Pemilu-voting itu untuk diselenggarakan di negaranya. Sekaligus percaya bahwa Pemilu-voting adalah formula yang jitu dan satu-satunya yang bisa dilakukan untuk transisi suatu kepemimpinan.
Coba, apa gera yang selama ini mereka baca sampai-sampai bisa seperti itu: mengharapkan bangsanya berintegritas, mengidam-idamkan persatuan di negaranya, kesejahteraan, keadilan, tapi masih percaya Pemilu-voting dengan segala intriknya yang sudah teramat sangat luar biasa.
Hufttt