Menjelang pergantian kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang hanya menyisakan kurang lebih satu bulan saja, rasa-rasanya bagi saya masih seolah akan ada matahari kembar yang akan bersinar nantinya. Melihat berbagai manuver yang dilakukan oleh Presiden Jokowi yang berupaya meninggalkan pengaruhnya melalui beberapa partai dan jabatan-jabatan strategis lainnya, tak terkecuali Gibran sebagai sang anak yang kelak akan dilantik menjadi wakil presiden.
Entah apa gerangan yang terjadi, angin politik sedang berhembus kencang menerjang sang anak, karena akhir-akhir ini jagat politik dipusatkan perhatiannya pada akun Kaskus bernama Fufufafa yang disinyalir akun alter ego-nya Gibran.
Setelah netizen berhasil menemukan komentar-komentar akun tersebut yang bernada kritis dan tajam sekaligus kontroversi terhadap politikus beberapa tahun silam. Sampai saat ini ada beberapa pihak yang mengklaim akun tersebut memang milik Gibran, seperti Roy Suryo yang sangat yakin betul. Tetapi ada juga pihak yang membantah seperti Menteri Komunikasi dan Informatika, termasuk Gibran sendiri yang menyuruh wartawan untuk bertanya kepada pemilik akun Kaskus tersebut.
Tapi kalau dipikir-pikir, daripada meributkan benar atau salah kalau akun Fufufafa itu adalah Gibran. Mari kita coba bayangkan — yang juga sebagai netizen, lalu kemudian kita pikirkan sebagai manusia dan warga negara apabila Fufufafa benar adalah Gibran.
Kita sering mendengar adagium vox populi vox dei saat ada aksi massa yang protes menentang kebijakan rezim yang otoriter, saat ketidakadilan terpampang nyata, saat hak-hak rakyat dikangkangi penguasa. Begitu sakralnya suara rakyat sampai disandingkan dengan suara Tuhan.
Masih hangat di ingatan kita, aksi massa bulan Agustus lalu yang mengawal putusan Mahkamah Konstitusi dan menolak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi undang-undang pilkada. Kita masih ingat, gaungnya bermula dari poster peringatan darurat bergambar burung garuda dengan latar berwarna biru di jagat maya. Efeknya mampu menghasilkan aksi massa serentak di berbagai kota di Indonesia dan berujung batalnya rapat paripurna.
Saya membayangkan, jika benar Fufufafa itu adalah Gibran, begitu amat beruntung kita kelak akan punya wapres dari kalangan netizen. Mengapa saya katakan demikian, bayangkan saja, adagium vox populi vox dei akan mampu bertransformasi ke yang lebih digital dengan lebih massif, sebut saja misal menjadi vox netizens vox dei, suara netizen adalah suara Tuhan. Bayangkan betapa menyenangkan kalau yang maya itu kelak akan sepenuhnya jadi kehidupan nyata.
Berkat kritik-kritik Fufufafa di platform Kaskus yang keras dan tajam terhadap pejabat atau politisi kawakan, hal ini kelak akan menjadi role model penting yang mempengaruhi akar rumput warga di dunia nyata: bahwa untuk menjadi seorang wapres atau pejabat penting gak perlu pahit-pahitan meniti karir di partai politik. Cukup jadi netizen yang sok sok-an kritis, tajam, jago edit video, serta pintar bermain zig-zag seperti kuda yang bergerak di papan catur.
Dalam kepiawaiannya bermain sosial media, program-program digital patut kita nantikan gebrakannya. Saya membayangkan lagi, stabilitas nasional (baca: di jagat maya) akan terkendali dengan baik dalam rangka optimalisasi ekonomi digital seperti yang ia sebut sebagai hilirisasi digital saat debat cawapres beberapa bulan yang lalu. Semua yang berpotensi cuan alias menguntungkan, akan diakomodir kepentingannya.
Gaya komunikasi publik pemerintah selama ini yang resmi dan cenderung kaku agaknya kelak berubah menjadi lebih asyik, santuy dan lebih ekspresif seperti sedang berbalas-balasan di kolom komentar sosial media. Bayangkan, se-asyik itu, se-santuy itu.
Sungguh sebuah kebanggaan apabila tweet kita langsung di-mention oleh seorang wakil presiden. Rasanya seperti di-mention pemain sepakbola favorit atau idol-idol korea itu. Gak perlu capek-capek turun ke jalan ketika ada isu, sebab suara dan kedaulatan rakyat akan berganti medium di jagat maya dan barang tentu pemerintahannya pun akan lebih peduli. Mengingat ia sendiri berangkat dari seorang netizen, tentu akan lebih paham sinyal-sinyal jika rakyat marah.
Indeks demokrasi akan terbantu naik lagi, sebab gak ada lagi sekat antara pemerintah dan rakyat yang bersuara, perbedaan pendapat rakyat dapat disikapi dengan santuy oleh pemerintahannya.
Tetapi, eh, sebentar-sebentar, dari tadi saya sedang membayangkan melulu dan belum sempat berpikir. Setelah saya berpikir, masa iya menyelenggarakan organisasi sebesar negara mau dilakukan dengan cara seperti itu? Lah yang bener aja?
Saya coba pikirin lagi, kok gak ada beruntung-beruntungnya, agaknya yang lebih pas, kita semua ini sedang ditimpa kesialan saja. Yha!