Ada lelucon yang nge-hype, namun penulis anggap memang demikian seru,
‘‘Cuma di Indonesia aja yang setiap ada pemilu (yang konon dilakukan secara demokratis), itu sebelum suara dihitung yang berwenang aja udah pasti ketahuan siapa yang menang.“
Ya namanya saja lelucon, jelas sangat lucu. Tapi memang benar lelucon ini. Pada hakikatnya, pemenangnya adalah orang yang dinyatakan menang oleh survei-survei yang berseliweran di negeri kita ini.
Misalnya, pada saat Pilpres. Di hari Pilpres, bahkan baru menjelang siang hari, di setiap saluran televisi sudah terpampang persentase kemenangan para calon yang beda-beda. Di channel A, pemenangnya Baim Wong sedangkan di channel B, pemenangnya Jefri Nichol. Ya tentu saja semua bergantung keberpihakan dan kiblat politik empunya channel.
Ini gambaran singkat demokrasi kita di era digital. Di mana dominasi survei-survei sangat luar biasa memuncak. Seakan, tanpa survei para kontestan pemilu tak dapat bersaing dengan baik. Dan dengan survei, apalagi suaranya terus ada di level tertinggi, ia telah memenangkan pemilihan sebenarnya, walaupun pemilihannya masih jauh-jauh hari. Survei di dunia digital adalah nyawa bagi kehidupan calon pemimpin kita. Maka, karena demikian saktinya survei, para kontestan pemilu dengan senang hati membeli hasil-hasilnya agar bagaimana dirinya mendapat hasil survei teratas.
Bagi masyarakat awam, hasil survei merupakan kebenaran mutlak. Masyarakat akar rumput ini, yang baru saja melek teknologi digital, mengalami kejutan teknologi yang demikian dahsyat, sehingga rentan diserang dan menyerang tanpa proses pemilahan informasi yang dibawa dunia digital.
Masyarakat akar rumput inilah yang mempunyai kecenderungan terdepan membela calon-calonnya tanpa pamrih dan mati-matian. Mereka cenderung menjadi korban pembohongan dunia digital. Wajar, karena tingkat pendidikan mereka memang tak memungkinkan menjadi selektif terhadap segala konten dunia maya.
Survei-survei itu seakan dengan sengaja ditujukan ke tengah-tengah masyarakat kalangan awam, sebab pemilik survei sangat paham cara mengkomunikasikan hasil surveinya agar cepat diterima. Dengan menyerbu pengguna dunia digital kalangan terbawah, pemenangan-pemenangan yang sudah tersetting tersebut akan diterima sebagai kebenaran nyata. Permainan-permainan survei seperti ini, tak akan diketahui oleh kalangan bawah. Mereka hanya yakin, bahwa calon-calon yang mereka usung telah mendapat hasil survei terbaik, maka pemenangnya menurut persepsi rakyat bawah, jelas sudah ketahuan.
Sayangnya, masyarakat akar rumput atau masyarakat kalangan bawah menjadi penghuni terbesar bangsa ini. Dengan hasil pemaparan survei demikian, menambah yakin bahwa pemenangnya pasti demikian juga. Sebuah anggapan yang perlu penulis luruskan agar kita tak terjebak kepada pembenaran-pembenaran dari hasil survei-survei tersebut. Apalagi, secara nyata survei-survei tersebut merupakan pesanan kontestan pemilu dengan tujuan meracuni alam bawah sadar masyarakat kalangan bawah.
Kita lihat sekarang. Bagaimana survei-survei itu berjalan di tengah perseteruan politik para calon pemimpin?
Kita ambil contoh begini; si Ahmad hendak mencalonkan diri menjadi presiden dari partai A. Kemudian si Junaidi dicalonkan dari partai B. Kita ketahui bahwa sebaran suara partai A ternyata dominan di provinsi C, D, atau E. Sedangkan suara partai yang mengusung si Junaidi sangat dominan di provinsi F, G, atau H. Agar calon partai A selalu unggul dalam hasil survei, maka lembaga-lembaga survei yang telah dibeli itu hanya menyasar provinsi-provinsi C, D, atau E. Adapun suara dari provinsi-provinsi F, G, atau H disaring sedemikian rupa agar suara yang datang untuk si Junaidi tetap rendah. Terus demikian jejak pendapat berpola di era digital ini.
Betapa berbahayanya praktik culas per-survei-an di negeri kita ini. Apalagi, sebagaimana penulis gambarkan di awal tulisan, sasarannya masyarakat awam yang dengan mudah dikebiri. Bagi lembaga survei yang merasa dirinya besar, apa yang penulis singgung ini tak akan mereka terima. Bahkan mungkin dianggap hoaks atau mengada-ada. Namun penulis merujuk kepada pernyataan Pak Mahfud MD pada waktu acara Gala Dinner Keluarga Besar KAHMI di Palu, 24/11/’22. Beliau berkata, “Sekarang sudah terbuka di tempat kita. Kita bisa memilih, bisa mengajukan calon, bisa mencalonkan diri, bisa juga. Bisa membeli lembaga survei, bisa, bisa.” Demikian penulis kutip dari Kanal YouTube Munas KAHMI.
Dari pernyataan beliau, dapat kita garisbawahi bahwa tak mudah hidup di dunia yang serba digital, serba maya, serba media sosial, seperti sekarang ini, karena perolehan survei pun sudah bisa kita beli. Tentu saja, yang dapat membeli adalah mereka yang sudah berkantong tebal. Bagi calon atau kontestan pemilu yang berkantong tipis, tentu sabar sajalah, sebab suara perolehan surveinya hanya itu-itu saja.