Kemarin saya mendapatkan undangan dari Kang Farid untuk menghadiri acara kumpulan. Katanya, dia mau nge-baiat 100 Pegiat Literasi Purwakarta, gak deng mengumpulkan. Sebab dia ditegur malaikat untuk bisa membimbing orang-orang itu sehingga menjadi pegiat literasi yang sungguh-sungguh: gemar membaca dan menulis, rajin belajar dan mendokumentasikannya, juga tentu saja giat berpikir dan mengekspresikannya seperti saya.
Saya akhirnya menghadiri undangan penahbisan itu. Saat saya tiba di lokasi, acara sudah mulai dan Kang Farid sedang berbicara.
“Biaya bersih penerbitan buku 100 eksemplar itu adalah 5 juta. Jadi kalau dijual 100 ribu per buku aja, penulis bisa mengantongi uang 10 juta rupiah, dan 100 orang yang ada di sini saya wajibkan untuk membelinya!” tok!
Palu sidang diketok.
Orang-orang melongo, termasuk saya yang baru saja datang.
Tapi Kang Farid melanjutkan penjelasannya.
“Alasan saya mewajibkan kalian untuk membeli bukunya itu, karena kalian semua adalah penulisnya juga. Nih, misalkan ketika Hilmi nerbitin buku, Sidik wajib beli karena ketika Sidik nerbit, Hilmi juga akan wajib membelinya! Bayangkan, bagaimana dahsyatnya di hari pertama open PO buku terbitnya, si penulis udah auto punya list 100 pembeli dari kita-kita ini. Artinya, 10 juta udah di tangan, tinggal dikurangi biaya penerbitan 5 juta. Itu merupakan angka-angka yang prima dari pola yang sangat sederhana bukan?”
Orang-orang mengangguk. Termasuk saya.
“… dan tentu saja, pembeli itu akan bertambah dan gak cuma dari 100 orang itu saja. Sanak keluarga si penulis, karib kerabatnya, serta para penikmat buku yang lainnya pasti ada lah yang order juga. Apalagi kita menghidupkan setiap buku yang terbit. Misal, saat buku Wahyu terbit, kita buat perbincangan tentang karyanya itu. Kita beri testimoni, kita bedah, kita kritik. Di darat juga di udara. Dengan demikian, pastilah si karya buku tersebut akan menjadi hangat diperbincangkan, sampai terdengar oleh banyak orang. Otomatis jumlah calon pembeli pun akan bertambah.” pungkas Kang Farid.
“Tapi kan enggak semua dari kita ini kepengen nerbitin buku, Kang?! Bahkan saya yakin, mungkin kawan-kawan yang ada di sini enggak semuanya bisa nulis alias kepengen jadi penulis buku gitu… “
Seseorang menyanggah Kang Farid dengan PD-nya.
Kang Farid langsung memberikan respons.
“Ok! Coba siapa di sini yang gak kepengen jadi penulis, acungkan tangannya?! Alias yang enggak mau nerbitin buku, siapa?! Sok acungkan aja tangannya, biar nanti mau langsung keluar atau bagaimana setelah itu… “
Ruangan senyap. Saya celingukan.
“Kalau perkara bisa-enggak bisa, masih ada belajar. Tapi kalau udah soal enggak mau, ya sudah… ” kata Kang Farid.
“Tapi saya yakin kawan-kawan di sini pasti punya keinginan untuk menciptakan produk alias membuat suatu karya. Poinnya di situ. Kita saling support karya. Saya tahu kawan-kawan di sini passion-nya berbeda-beda. Tapi ujungnya kan yang penting produksi karya. Nah di situ kita wajibkan saling beli, saling menghidupi karya. Gitu… ” tambahnya.
“Tapi Kang, kan enggak semua orang punya uang untuk membeli, apalagi kalau harga bukunya 100 ribu,”
Seseorang yang lain menyanggah pula.
Kang Farid mulai merasa tidak nyaman.
“Hei, angka-angka yang saya sampaikan itu cuman gambaran contoh aja, bukan nominal sesungguhnya. Maksud saya biar mudah dicerna, gitu. Coba deh, penyampaian saya itu dipahami prinsipnya, yaitu supaya Kita saling support karya; saling menghidupi. Kalau tidak setuju, ya sudah: cut aja! Tapi kalau gak ngerti, yang saya undang ke sini kan pegiat literasi, masa enggak ngerti sih?!”
“Ya kalau lagi enggak ada uang mah, ya gimana, Kang… ”
“Kalau secara prinsip kamu setuju dengan program saya, teknisnya kamu tinggal jualin aja 1 buku kawan kita yang ada di sini ke orang yang menurut kamu mampu membelinya. Tapi kalau kamu enggak punya uang karena kamu pengangguran dan malas, ya udah, kamu gak pantas dianggap sebagai pegiat literasi. Jadi, mending sekarang kamu keluar aja dari sini!”
Forum menjadi tidak kondusif.
Chaos! Orang-orang saling bersorak.
Whuuuuuuuuuuuu!!!!!!
Whuuuhuuuuuuuuu!!!!!!
Saya terbangun. Saya coba atur napas untuk menurunkan rasa kaget lantaran mimpi barusan.
Mungkin karena sudah terlalu lama enggak ketemu, saya jadi mimpi Kang Farid. Atau mungkin juga ini pertanda kalau Kang Farid sedang kangen saya. Bisa saja.
Tanpa berpikir panjang, Saya langsung bergegas ke markasnya Kang Farid untuk menemui beliau.
Sesampainya di sana, saya menyapa Kang Farid yang sedang serius menghadap ke laptop. Sikapnya dingin. Setelah bersalaman, beliau hanya menyilakan saya duduk. Tidak ada sedikitpun gambaran bahwa beliau sedang kangen saya. Dugaan saya salah ternyata. Tapi kalau Kang Farid begitu sudah pasti beliau sibuk, bukan angkuh.
Dan benar, saat saya bertanya Kang Farid sedang punya kesibukan apa, beliau bilang,
“Emmh, ini Saya sedang merancang program: 100 Penulis di Purwakarta. Saya sedang mengkalkulasi, jika dalam 1 bulan bisa menerbitkan 2 buku – dari 2 penulis dengan jumlah cetakan masing-masing 100 eksemplar, kita bisa dapet bersihnya itu di angka 1 juta kali (x) 2. Jadi kalau konsisten dalam setahun, kita bisa mengantongi uang sekitar 24 jutaan. Syukur-syukur kalau perbulannya bisa terjual 200 eksemplar dari 2 penulis itu, berarti kita bisa dapet lah se-UMR mah, kan… “
Saya terkaget. Lalu spontan memberikan respons
“Memangnya bisa Kang, pas launching bukunya langsung terjual 100 eksemplar gitu?”
“Iya, makanya saya mau menjaring dahulu 100 penulis di sini, yang bener-bener nulis alias mau menerbitkan karya buku. Jadi nanti si para penulis yang udah terjaring ini, kita programkan untuk wajib membeli setiap buku yang terbit di kita. Supaya perputaran ekonomi dan peredaran bukunya juga cepat. Toh, nanti pun pas momennya launching buku dia sendiri, misalnya, udah auto kejual 100 eksemplar ya kan?! Kamu kebayang gak, konsep programnya ini?”
Saya tertegun.
“Catatannya, Saya memang harus menjaring orang-orang pegiat literasi yang sungguhan, yang mempunyai keinginan untuk menerbitkan buku. Enggak random. Supaya enggak ada yang berargumen: passion kita berbeda, atau enggak bisa nulis-enggak suka baca, enggak mau menerbitkan buku, atau alibi lain-lainnya yang bikin capek dengernya. Terus nanti saya akan kumpulkan mereka, akan saya undang satu-satu.” tukas Kang Farid.
Saya melongo. Kepikiran mimpi tadi.
“Kok mimpi orang bisa sampai begini, ya,”
Saya bergumam.