Penutupan 14 tambang ilegal di Subang membuka refleksi soal kerusakan ekologis, pemulihan lingkungan, dan pentingnya penegakan hukum yang tegas.
Tambang Hengkang dari Daerah Subang: Sebuah Refleksi

Baru saja pihak kepolisian Subang menutup 14 tambang ilegal. Lokasinya tersebar di daerah Cijambe, Tambakan, Kasomalang, Bunihayu, Kecamatan Cikaum, Patokbeusi, Kecamatan Purwadadi, dan Kecamatan Pagadean. Banyak banget iya. Niat banget ngerusak alamnya, yang pasti lebih dari effort pas first date.
Alasan utama penutupan tambang-tambang ini adalah karena kegiatan dilakukan tanpa izin atau masa izinnya sudah kedaluwarsa. Tapi, para penambang masih ngotot menjalankan aktivitas yang jelas merugikan warga sekitar. Mirip mantan toxic, nggak sih? Udah dibilangin, “Putus!” tapi masih aja nge-DM dan nge-PC kamu. Ehh.
Tambang-tambang ini diduga menambang tanah merah dan batu. Usut punya usut, ternyata menurut media detikjabar, lima wilayah dari tambang ilegal tersebut terkait dengan PSN (Program Strategis Nasional). Material yang diambil digunakan untuk menyuplai proyek pembangunan yang diarahkan dari pusat. Tanah merah dan batu ini dipakai buat produksi batu bata, genteng, pembuatan aluminium, dan pondasi bangunan.
Harapannya, semua itu dipakai untuk membangun gedung, jalan, dan rumah. Tapi entah buat siapa, karena yang tersisa buat rakyat biasanya cuma penderitaan.
Biasanya, penambangan tanah merah dan batu membawa dampak ekologis yang serius. Erosi tanah, longsor, dan degradasi tanah cuma sedikit dari masalah yang bisa terjadi. Akibatnya, bencana seperti banjir atau kesulitan petani menanam padi jadi risiko nyata.
Kita patut bersyukur atas penutupan 14 tambang ilegal ini. Setidaknya, ini tanda bahwa kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan hidup mulai tertanam di benak para pejabat. Tentu saja, ini nggak lepas dari peran aktivis lingkungan dari Walhi dan Greenpeace yang konsisten mengkampanyekan keadilan ekologis.
Tambang Ilegal dan Pemulihan Lingkungan Hidup
Tapi, ada dua hal penting yang nggak boleh kita lewatkan. Pertama, dugaan kerusakan alam yang sudah terlanjur terjadi akibat aktivitas tambang ilegal ini. Kedua, pemberian sanksi kepada para terduga pelaku tambang ilegal.
Untuk memulihkan daerah tambang agar bisa dimanfaatkan seperti semula, dibutuhkan langkah pemulihan lingkungan hidup. Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan:
“Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup.”
Lebih lanjut, ayat (2) huruf a sampai e mengatur langkah-langkah pemulihan sebagai berikut:
- Penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar.
- Remediasi.
- Rehabilitasi.
- Restorasi.
- Cara lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Contohnya, penghentian pencemaran bisa dilakukan dengan menahan limbah dari aktivitas tambang dan mengolahnya supaya aman untuk lingkungan. Tentu, diperlukan pemantauan berkala supaya langkah ini efektif. Pemerintah, terutama Pemda, wajib mengecek secara rutin keberhasilan upaya ini.
Sanksi Hukum untuk Para Penambang Ilegal
Penambang ilegal melanggar Pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun, serta denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).”
Sekilas di atas kertas, hukum ini kelihatan menjanjikan. Hukuman pidana dan denda besar diharapkan bisa bikin jera, dan uang dendanya bisa dimanfaatkan buat konservasi alam. Tapi, itu baru di atas kertas.
Di lapangan, tantangan penegakan hukum sangat banyak. Misalnya, oknum penyidik yang lambat mengumpulkan bukti awal, oknum jaksa penuntut umum yang menuntut ringan, oknum hakim yang sekadar mengikuti oknum tuntutan jaksa dan pelaku, serta remisi yang mudah diberikan karena alasan “berkelakuan baik.”
Meski begitu, pelaku tetap bisa dibuat jera kalau rakyat ikut mengawal kasus ini dari awal hingga akhir. Misalnya, kalau ada oknum polisi lambat, rakyat bisa melapor ke Propam Polri. Kalau ada oknum jaksa punya “kesepakatan aneh” dengan terdakwa, bisa diadukan ke Kejaksaan Agung. Kalau ada oknum hakim punya dugaan suap, rakyat bisa melapor ke Komisi Yudisial.
Pokoknya begini: berjuang terus!
Leave a Comment