Kalau bisa nyalahin HP, kenapa harus nyalahin sistem pendidikannya?
Garang Gusuh Pemkab Purwakarta Melarang Siswa Pakai HP

Biasanya, para siswa SMP di Purwakarta berenang di lautan informasi dari genggaman ponsel sejak pagi-pagi sekali. Sebelum matahari menggigit dan Energen merayu-rayu dengan aromanya yang khas untuk diseruput, mereka sudah menjajal lini masa.
Mulai dari menyimak berita dari belahan dunia, melihat kabar terbaru di sekitarnya lewat unggahan media sosial, sampai menyimak obrolan abang-abangan podcast yang membahas isu terkini dari perspektif tongkrongan.
Informasi gak berhenti di layar ponsel. Di kantin penuh sesak saat istirahat, atau sesaat setelah bel pulang sekolah berbunyi, kabar-kabar itu hidup lagi dalam percakapan,
“Eh, maneh nyaho teu sih Dedi Mulyadi keur ngajieun program barak militer?”
Obrolan pun mengalir. Teman bisa mengkritik kebijakan itu sebagai usaha putus asa KDM cari exposure, atau justru mendukungnya sebagai solusi menangani siswa nakal. Yang lain menyumbang pendapat sesuai sudut pandang masing-masing.
Anak-anak dilatih tanpa sadar—untuk menyampaikan, menyimak, dan merespons gagasan. Ini yang membentuk karakter terdidik: bukan yang pasrah menerima titah, melainkan yang aktif bergulat dengan gagasan.
Setelah pulang sekolah pun, ponsel tetap berguna. Selain bisa menjadi alat untuk menenangkan diri dari rutinitas dengan musik, drama korea, atau film di Netflix, handphone si anak didik bisa dipergunakan sebagai alat buat belajar.
Mulai dari menonton konten YouTube yang relevan dengan mata pelajarannya, membaca artikel, sampai belajar matematika di kursus online. Teknologi seperti HP akhirnya bukan hanya menjadi perpanjangan bagian diri manusia seperti mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar, sebagaimana menurut Marshal McLuhan, tapi juga menjadi faktor pengembangan diri manusia menjadi lebih terdidik.
Tapi toh, dengan berbagai manfaat yang dibawa teknologi seperti HP, Pemkab Purwakarta tetap kukuh melarang siswa sekolah untuk mempergunakannya. Supaya terasa adil, sebelum mengkritik kebijakannya, maka Minpang bakal memperlihatkan dulu alasan Pemkab Purwakarta mengeluarkan kebijakan ini.
Menyelami Alasan Pemkab Purwakarta
Sejak 2 Mei 2025, Pemkab Purwakarta resmi memberlakukan Peraturan Bupati Nomor 32 Tahun 2025 yang melarang penggunaan ponsel bagi seluruh siswa PAUD, SD, dan SMP, entah di sekolah, rumah, maupun lingkungan masyarakat lainnya.
Betul. Di rumah pun gak boleh. Dilarang. Bahkan jika hanya untuk menonton film komedi atau melihat memenya Jokowi.
Alasannya? Karena menurut banyak laporan guru dan orang tua, siswa jadi lebih fokus ke gadget daripada pelajaran. Pemkab juga mengklaim ingin meminimalisir dampak negatif yang dibawa internet.
Mereka membayangkan anak-anak akan jadi lebih disiplin, akrab dengan teman sebaya di kantin, menyerap semua ajaran guru di kelas. Di rumah, orang tua menjadi polisi keluarga yang mengawasi si anak agar gak menyentuh benda pembawa sial bernama ponsel itu.
Sekarang, dengan semua alasan Pemkab Purwakarta itu, mari kita jawab bersama secara kritis.
Menjawab Cara Pikir Pemkab Purwakarta yang Ngawur
Minpang ingin membongkar cara pikir ngawur dari Pemkab Purwakarta ini. Harapannya hal ini bisa membuka perspektif pembaca pada dampak buruk dari kebijakan pelarangan ponsel ini.
Adanya Pergeseran Beban Kesalahan dan False Association
Pertama, menyalahkan ponsel sebagai penyebab utama siswa malas belajar adalah bentuk shifting the blame (menggeser kesalahan atau tanggung jawab pada yang gak bersalah). Masalah sebenarnya bukan pada alat, tapi sistem pendidikan yang gagal membuat kegiatan belajar menjadi menyenangkan. Daripada sibuk menyalahkan teknologi, kenapa gak mengintegrasikan teknologi dalam proses belajar aja?
Ciptakan pembelajaran berbasis digital yang menyenangkan. Integrasikan tren teknologi terkini dalam pelajaran TIK. Ajari siswa keterampilan digital dan literasi informasi sejak dini—bukan justru menculik mereka dari ruang digital.
Kedua, frasa “meminimalisir efek negatif dari alat komunikasi dan sejenisnya,” yang disampaikan Om Zein dalam pidatonya untuk melaksanakan kebijakan ini begitu samar. Kalau pun itu merujuk pada berbagai hal negatif seperti hoaks, pornografi, dan judi online, bukan berarti kita harus melarang teknologi ponsel secara keseluruhan pada siswa.
Sebelum adanya kepopuleran smartphone atau ponsel seperti sekarang, ketiga hal itu juga sudah populer lewat komputer, berarti masalahnya bukan handphone atau smartphone.
Pada dasarnya, cara berpikir Pemkab Purwakarta yang menjadikan handphone sebagai sumber masalah adalah bentuk false association. Mereka seolah-olah mengaitkan hal yang relevan, padahal mah gak juga.
Mereka menempatkan alat sebagai sesuatu yang salah daripada manusia dengan beragam kompleksitasnya. Sama seperti pisau: orang bisa memakainya buat memasak, bisa juga buat melukai. Yang perlu ditata adalah penggunanya, bukan alatnya yang dihilangkan.
Selain itu, ada hal lain yang Minpang khawatirkan: kebijakan ini membuka celah pada horor otoritarianisme ala karya fiksinya Orwell: 1984.
Larangan Penggunaan HP dan 1984 di Purwakarta
Berbicara tentang ponsel, ada survei menarik tentang hal ini. BPS pada tahun 2023 menyatakan bahwa orang yang berada pada rentang usia 15–24 tahun itu 92,14% punya ponsel. Itu data dua tahun yang lalu. Kenyataannya sekarang bisa lebih banyak lagi. Dari sini, kita bisa cukup pede kalau ponsel itu saluran utama anak muda, apalagi Gen-Z buat menerima dan mengirimkan informasi.
Nah, terus di tahun 2025 ini, Om Zein sebagai Bupati Purwakarta yang terbaru mengeluarkan kebijakan larangan penggunaan ponsel buat siswa sekolah, termasuk siswa SMP. Kebayang dong, akses utama mereka sebagai Gen-Z ke informasi ini di-stop.
Pada gilirannya mereka bisa aja jadi gak tahu masalah apa yang sehari-hari mengganggu isi kepala orang tua dan masyarakatnya: harga pangan naik, pemangkasan anggaran berbagai lini, krisis lingkungan karena pembangunan, dan wapres yang doyan bikin blunder di YouTube.
Seorang anak yang tadinya melihat bagaimana kabar dunia hari ini, sekarang seolah kepalanya ditutup menggunakan karung goni, dan disisakan satu lubang kecil, untuk melihat meja belajar saja. Pemerintah, entah sengaja atau gak, sudah membentuknya menjadi subjek yang pasif.
Masalah gak berhenti pada akses untuk menerima informasi aja, tapi juga akses untuk mengirim atau menyebarkan informasi. Ketika ada sesuatu yang ganjil, seperti kekerasan, suap, atau apalah yang jelek-jelek, siswa gak berdaya untuk mengabadikan dan menyuarakannya. Ponselnya sudah anteng bobo di tangan orang tuanya, yang sedihnya menjadi perpanjangan pemerintah.
Situasi seperti inilah yang oleh George Orwell gambarkan dalam novelnya, yakni 1984 sebagai bentuk horor otoritarianisme: ketika pemerintah gak cuma mengontrol tindakan, tapi juga alur informasi warganya.
Dalam novel itu, Winston Smith (protagonis) menyaksikan sendiri pemerintah mengontrol ketat arus informasi dan menutup arus informasi alternatif yang di luar narasi pemerintah. Bahkan yang relatable: anggota keluarga jadi perpanjangan tangan pemerintah sebagai polisi di dalam rumah.
Saat Pemkab Purwakarta melarang anak-anak mengakses ponsel—bahkan di dalam rumah—maka alarm bahaya itu berbunyi. Kita sedang diseret menuju model kontrol informasi yang serupa.
Yang lebih gawat, kebijakan ini berpotensi melanggar hak hukum warga negara atas informasi. Pasal 4 ayat (2) huruf a dan d UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengatur hak setiap orang untuk menerima informasi publik, dan menyebarluaskan informasi publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Melarang anak SMP menggunakan ponsel di rumah secara menyeluruh berarti melanggar hak mereka atas akses informasi, hak atas komunikasi, dan hak untuk berkembang. Pemerintah gak bisa sekadar beralasan kalau mereka masih anak-anak. Justru karena mereka dalam masa tumbuh kembang, akses terhadap informasi yang sehat dan inklusif penting banget. Anak bisa berkembang jadi lebih baik lewat akses internet yang luas.
Minpang rasa gak ada salahnya menggunakan bukti anekdotal buat menggambarkan hal ini. Salah satu sepupu Minpang, yang gak mau disebutkan namanya, itu doyan banget ilmu statistik. Alasannya hal itu bisa menaikkan jenjang kariernya di bidang finance kelak ketika dia sudah bekerja kantoran. Persoalannya satu: dia itu jauh dari kata jago soal statistik.
Problemnya lagi, ketika dia sekolah, apa yang diajarkan gurunya belum cukup. Ia masih geleng-geleng kepala ketika guru matematikanya menjelaskan materi statistik. Namun toh, dia gak kehabisan akal. Dia gunakan akses internet di ponselnya itu untuk membaca artikel statistik, memahami konsep dasar seperti mean, median, modus, distribusi data, outlier, dll, lewat buku yang dia download di aplikasi iPusnas.
Singkat kata singkat cerita: akhirnya dia bisa juga menguasai ilmu itu dan kepake ilmunya, sampai sekarang. Ini salah satu contoh penggunaan ponsel yang positif.
Jangan Menutup Pintu Informasi
Minpang khawatir, larangan penggunaan ponsel ini adalah langkah awal menuju model kontrol informasi yang lebih dalam: menutup pintu bagi ide-ide baru dan menyisakan satu narasi tunggal yang bisa dikendalikan penguasa. Ini bukan sekadar kebijakan pendidikan—ini berpotensi menjadi alat dominasi dan menutup ruang dialog untuk kalangan anak muda yang terdidik dan kritis.
Padahal, pasal 4 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 2008 dengan tegas menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi, mendapatkan informasi, dan menyampaikan informasi dengan beragam medium. Perbup Nomor 32 Tahun 2025 yang membatasi akses siswa terhadap ponsel, baik di sekolah maupun di rumah, secara nyata menyalahi prinsip dasar keterbukaan informasi tersebut.
Nah, makanya itu, kebijakan publik di daerah gak boleh melanggar norma hukum yang lebih tinggi, dalam konteks ini adalah undang-undang.
Jangan biarkan Pemkab Purwakarta menjadi Big Brother dalam versi lokal—yang melarang kita berpikir, berdialog, dan berkembang, persis seperti mimpi buruk distopia yang digambarkan George Orwell dalam novel 1984.
Leave a Comment