Kalau gak bisa membuat polisi-polisi beranjak dari kursi untuk patroli, ya aktifkan saja jam malamnya. Gitu aja kok repot.
DM dan Jam Malam: Gak Boleh Nongkrong dan Konvoi Lagi Berarti, Pak?

Dedi Mulyadi tampaknya gak pernah absen dari wacana yang terkesan (atau memang iya) absurd—membuat mata kita melotot sekaligus geleng-geleng. Beberapa hari yang lalu, ia mengumumkan wacana kebijakan jam malam bagi seluruh pelajar di Provinsi Jawa Barat, yang dimulai di atas jam 20:00 malam, pada hari belajar (bukan hari libur) untuk tidak nongkrong di luar rumah.
Tujuannya sederhana: menekan kenakalan remaja. Dedi takut ada anak-anak yang nekat tawuran dini hari, mabuk-mabukan (karena kena ghosting pacar, misalnya), atau menyalahgunakan obat-obatan terlarang—padahal, di kabupaten yang dia pimpin juga banyak anak-anak yang pakai narkoba siang-siang.
Output yang diharapkan dari kebijakan jam malam tersebut adalah terbentuknya manusia yang bermanfaat. Para pelajar Jabar dibentuk agar punya wawasan, kemampuan, kedisplinan, dan keterampilan mumpuni yang sesuai dengan permintaan pasar kerja. Ameh nu gawe di dieu teh ulah pendatang hungkul, tapi serapan lokal leuwih loba. Begitulah kira-kira gagasannya.
Namun, wacana ini tidak datang tanpa risiko, terutama di sektor ekonomi. Kali ini, Minpang akan membedah bahaya yang mengintai di balik rencana kebijakan jam malam ala Dedi Mulyadi.
Membatasi Mobilitas, Membatasi Perputaran Uang
Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations menegaskan bahwa tujuan utama produksi ekonomi adalah konsumsi. Artinya, ketika konsumen membeli produk atau jasa, sektor produksi meraup laba, kebutuhan pelanggan terpenuhi, dan aktivitas pasar terus berputar untuk menciptakan produk kompetitif yang menghasilkan keuntungan berkelanjutan.
Dengan jam malam, konsumsi utamanya pada pelaku UMKM Jabar, yang jumlahnya mencapai 7.055.660 menurut Open Data Jabar pada tahun 2023, jadi terhambat. Kebayang dong jutaan UMKM bakal terdampak seperti warung tenda di pinggir jalan yang biasanya ramai saat remang-remang petang harus tutup lebih awal. Pelajar yang ingin beli makan malam atau sekadar nongkrong sambil mengerjakan tugas sekolah jadi kehilangan akses. Pelaku Usaha, Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pun terpaksa menutup gerai sebelum jam malam berlaku.
Padahal, banyak UMKM di Jawa Barat bergantung pada konsumen lokal yang datang selepas jam sekolah atau pulang kerja. Kedai kopi, warung lesehan, hingga lapak pedagang kaki lima—semuanya ikut meramaikan jam operasional malam.
Kebijakan jam malam akan memaksa mereka memotong waktu buka, menurunkan pendapatan harian, dan menyusutkan daya beli. Lama-kelamaan, bukan tidak mungkin banyak usaha itu terpaksa gulung tikar. Arus uang di masyarakat pun bisa terhenti, dan laju ekonomi lokal mandek.
Akibatnya? Pengangguran bisa naik, kemiskinan bertambah.
Wisata Malam dan Ekonomi Kreatif Terpukul
Jawa Barat punya banyak destinasi wisata malam: alun-alun, mal yang berisi berbagai stand makanan, dan kafe. Kebijakan jam malam, meskipun ditujukan bagi pelajar saja, menciptakan stigma negatif: apakah pengunjung umum pun akan dibatasi? Akibatnya, wisatawan bisa jadi enggan mampir. Pelaku ekonomi kreatif—seperti band indie yang pentas di kafe malam—kehilangan aksesnya. Pekerja pariwisata malam seperti pemandu, sopir, hingga fotografer, bisa kehilangan pekerjaannya.
Artinya, jam malam tak cuma menertibkan remaja, tapi juga menyengsarakan banyak orang dewasa yang menggantungkan hidup dari aktivitas malam.
Biaya Sosial dan Psikologis
Menutup ruang gerak remaja bukan cuma soal fisik, tapi juga mental. Jam malam bisa membuat mereka merasa terkekang. Tanpa alternatif aktivitas positif yang memadai—seperti klub seni, olahraga, atau komunitas literasi—remaja bisa kian frustrasi. Frustrasi ini, bila tidak diatasi, bisa berubah jadi perilaku negatif baru yang merugikan secara ekonomi: merusak fasilitas umum, memicu biaya perbaikan, hingga memerlukan pembiayaan program rehabilitasi. Alih-alih menurunkan atau menghilangkan kenakalan, kebijakan ini justru bisa menciptakan kenakalan baru.
Bahan Renungan Bersama
Sampai saat ini, wacana jam malam Dedi Mulyadi belum disertai studi dampak positif jam malam yang rinci. Belum ada data resmi tentang berapa persen remaja yang terbantu dari adanya jam malam ini dari data berbagai negara lainnya yang menerapkannya (kalau memang ada). Tanpa data yang akurat, kebijakan semacam ini bisa jadi sekadar reaksi emosional—mengabaikan analisis untung rugi, dan good governance yang semestinya jadi dasar kebijakan publik.
Untungnya mungkin di malam hari gak bakal ada tawuran, tawuran change shift ke siang-siang seperti di Cikampek. Orang-bisa tenang menjalani aktivitas tanpa takut kebacok saat sedang menikmati langit malam karena anak-anaknya sudah dibatasi jamnya.
Lho?!
Iya, dong. Kalau gak bisa membuat polisi-polisi buncit angkat pantat dari kursi untuk patroli dan menjaga keamanan masyarakat malam hari, ya aktifkan saja jam malamnya. Gitu aja kok repot. Keamanan kan takdir masing-masing, gak usah diusahakan pemerintah dan Paladusing.
Leave a Comment