Teror pada Media Tempo adalah Horor Sadis Pembungkaman

Minpang

Teror terhadap media Tempo bukan sekadar ancaman, tapi upaya brutal membungkam suara kritis di ruang publik.

Aroma bangkai busuk belum lama ini menjilati kantor media Tempo dengan ganas. Kepala babi tanpa telinga menjadi “sajian” pertama yang diulurkan peneror pada 19 Maret 2025—disusul tiga hari kemudian dengan enam bangkai tikus tanpa kepala yang dibungkus cantik memakai kertas kado bermotif mawar merah.

Kita kemudian berkesimpulan bahwa ini adalah contoh nyata pembungkaman. Tentu saja, ini bukan hadiah dari secret admirer yang memakai akun alter.

Saat kita menyimak kejadian ini—dari layar ponsel setelah asyik scroll-scroll—kita tentu nyengir kecut sendiri. Kita menyadari bahwa hal seperti ini bukan terjadi sekali dua kali, tetapi sudah berkali-kali. Gerakan masyarakat sipil sering kali mendapatkan teror dalam bentuk pesan anonim, perusakan barang, atau kiriman “hadiah kejutan” seperti yang dialami Tempo barusan.

Upaya pembungkaman semakin menjadi-jadi, apalagi setelah Tempo bersikap kritis terhadap kebijakan negara yang bikin dahi mengernyit tajam. Banyak topik sangar yang dijadikan produk jurnalistik, mulai dari pemangkasan anggaran berkedok efisiensi, implementasi MBG yang amburadul, pembatasan distribusi gas LPG yang bikin dongkol, hingga puncaknya, pengesahan RUU TNI—tanpa partisipasi rakyat.

Padahal, yang namanya partisipasi rakyat—apalagi dalam hal penentuan kebijakan—sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Ketika ada keputusan penting yang tidak melibatkan rakyat, maka yang terjadi adalah isi keputusan tersebut bukan cuma tidak sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat, tetapi juga berpotensi membahayakan kita.

Yang tidak kalah memprihatinkan, Kepala Kantor Kepresidenan merespons kasus teror kepala babi ini dengan berkata, “Udah dimasak aja.” Pernyataan itu bukan hanya bodoh, tetapi juga menunjukkan ketidakempatiannya terhadap insan jurnalis dan masyarakat sipil yang telah atau sedang mengalami teror karena memperjuangkan hak-haknya.

Ada yang lebih buruk lagi. Orang kemudian bisa berpikir: bisa jadi apa yang Kepala Kantor Kepresidenan itu katakan adalah representasi pikiran presiden. Ini yang berbahaya karena bisa makin merusak kepercayaan publik—yang sebelumnya memang sudah hancur lebur.

Pembungkaman dan Upaya Kontrol Narasi

“Penindasan adalah guru paling jujur
bagi yang mengalami.”
— Wiji Thukul, Pepatah Buron.

Fragmen puisi tersebut berasal dari Wiji Thukul, penyair yang diduga kuat dihilangkan secara paksa oleh pasukan Tim Mawar saat gejolak gerakan reformasi di Indonesia dulu. Puisi ini menggambarkan bahwa penindasan—termasuk represi dan pembungkaman—mengajarkan kita satu hal: kontrol narasi.

Kontrol, pada dasarnya, adalah upaya mengendalikan sesuatu agar sesuai dengan kehendak pihak tertentu, sementara narasi adalah gagasan plus kesan yang hendak dibangun. Dengan demikian, pembungkaman adalah cara memastikan bahwa hanya persepsi tertentu yang boleh berpijak di ruang publik dan di dalam kepala kita.


“Makan bergizi gratis = bagus.
Revisi UU TNI = bagus.
Pemangkasan anggaran = bagus.”

Ketika cuma gagasan-gagasan ini yang boleh bercokol, maka para pembesar lebih leluasa menindas dan mengeksploitasi kita. Patut diduga mereka bisa menggarong pajak, waktu, dan tenaga kita demi mengenyangkan perut mereka, perut kerabat mereka, dan membangun proyek-proyek besar tak bermakna sebagai bentuk heroisme konyol.

Media adalah Kita

Di sini, kita perlu memahami bahwa Tempo adalah media.

Marshal McLuhan, dalam Understanding Media: The Extensions of Man, menyatakan bahwa media adalah perpanjangan-perpanjangan manusia.

Karena manusia memiliki perkembangan intelektual yang pesat dibandingkan makhluk hidup lainnya, manusia membutuhkan berbagai alat untuk membangun dan mempertahankan peradaban. Dalam hal ini, Tempo adalah perpanjangan otak (pikiran) dan mulut rakyat. Apa yang rakyat persepsikan dan ingin rakyat katakan terwakili oleh Tempo.

Pihak tertentu takut jika gagasan dan aspirasi yang digaungkan Tempo semakin lama semakin mempengaruhi kesadaran banyak orang. Sebab, tindakan dipengaruhi oleh kesadaran.

Jika rakyat banyak sudah terbebas dari belenggu kesadaran palsu, maka hal berikutnya yang akan mereka lakukan adalah mengguncang dominasi kekuasaan yang menindas—yang berarti menghancurkan kepentingan yang selama ini telah menciptakan ketimpangan seabrek-abrek.

Tujuan teror terhadap Tempo adalah pembungkaman massal untuk menciptakan kepatuhan massal.

Cara melawannya? Dengan tidak bungkam.

Minpang di sini~

Related Post

No comments

Leave a Comment