Di era teknologi dan kapitalisme yang kian mendominasi, manusia harus menjaga akal dan imajinasinya agar tidak tumpul.
Hanya Imajinasi yang Kini Kita Punya

Manusia adalah makhluk berakal, dan inilah yang membedakannya dari hewan lain seperti unggas, mamalia, dan reptil. Sebagai homo sapiens, manusia termasuk dalam kategori kera besar yang memiliki ciri khas berupa berjalan dengan dua kaki serta kemampuan kognitif yang unggul berkat otaknya yang besar dan kompleks. Seperti yang dikatakan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah, “Manusia mampu mengatur tindakannya secara tertib berkat akalnya.”
Namun, akal bukan sekadar alat untuk bertahan hidup. Lebih dari itu, akal adalah sumber utama kreativitas, inovasi, dan peradaban. Akal memungkinkan manusia menciptakan gagasan serta ide-ide yang tajam dan bermakna. Tanpa akal, apa yang membedakan kita dari hewan lain yang hanya mengikuti naluri dan memenuhi kebutuhan biologisnya tanpa mempertimbangkan aspek intelektual?
Namun, seiring perkembangan zaman, peran akal dalam melahirkan kreativitas dan inovasi menghadapi tantangan baru. Kemajuan teknologi yang seharusnya menjadi alat untuk memperluas daya pikir manusia justru berisiko menumpulkan imajinasi ketika segala sesuatu menjadi terlalu mudah dan instan.
Kemudahan yang Menumpulkan Imajinasi
Seiring perkembangan zaman, manusia telah menciptakan teknologi yang semakin canggih. Semula, teknologi hadir sebagai alat bantu yang memudahkan pekerjaan manusia. Namun, seiring waktu, teknologi mulai mengambil alih banyak aspek kehidupan, termasuk cara kita berpikir dan berimajinasi.
Dahulu, ketika informasi sulit diakses, manusia dituntut untuk berpikir, menganalisis, dan mencari jawaban atas setiap permasalahan. Kini, dengan kemajuan teknologi dan akses informasi yang serba instan, kita tidak lagi merasa perlu berpikir secara mendalam.
Jika dulu kita mencari jawaban melalui proses berpikir kritis, kini kita hanya mengandalkan mesin pencari atau kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI) untuk memberikan solusi instan.
Padahal, imajinasi adalah ruang terindah yang kita miliki—ruang di mana kita bisa mengekspresikan segala sesuatu yang tak dapat diwujudkan di dunia nyata. Dengan imajinasi, manusia menciptakan karya seni, sastra, dan inovasi yang membawa peradaban menjadi lebih maju.
Sayangnya, di tengah arus modernisasi, imajinasi tidak lagi berkembang secara bebas. Kehidupan yang semakin pragmatis dan berorientasi pada hasil membuat kreativitas sering kali dibentuk oleh kepentingan ekonomi dan pasar. Akibatnya, imajinasi yang dulu murni sebagai ruang eksplorasi kini semakin dipengaruhi oleh sistem yang mengutamakan profit. Kini, ruang tersebut telah dikuasai oleh kapitalisme.
Misalnya, saat ini berbagai tugas mahasiswa dapat diselesaikan dengan mudah menggunakan AI tanpa memerlukan analisis mendalam. Akibatnya, kemampuan berpikir kritis yang seharusnya berkembang justru semakin tumpul. Teknologi yang seharusnya menjadi alat bantu malah berisiko mengerdilkan daya nalar dan imajinasi. Modernisasi, alih-alih mendorong pemikiran yang lebih tajam, justru melumpuhkan kemampuan intelektual jika tidak diimbangi dengan sikap kritis.
Kapitalisme dan Dominasi Teknologi
Dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh sistem kapitalisme, kreativitas manusia perlahan-lahan dikendalikan oleh mesin. Kita semakin bergantung pada teknologi yang menggantikan peran akal dan daya imajinasi kita.
Berbagai aplikasi berbasis AI kini mampu menulis, menggambar, membuat musik, hingga menciptakan ide-ide yang sebelumnya hanya bisa dilakukan oleh manusia. Lantas, apa yang tersisa bagi kita? Jika kreativitas dan daya imajinasi manusia telah tergantikan oleh mesin, apakah kita masih bisa menyebut diri kita sebagai makhluk berakal?
Lebih mengkhawatirkan lagi, kecerdasan buatan tidak hanya mengambil alih tugas-tugas kreatif, tetapi juga mengendalikan data dan informasi yang seharusnya menjadi milik manusia. Kita mengenal big data, bukan?
Ruang yang seharusnya kita isi dengan gagasan-gagasan orisinal kini telah dikuasai oleh korporasi besar. Setiap ide, pemikiran, dan kreativitas yang kita tuangkan di dunia digital menjadi bagian dari algoritma yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan kapitalisme.
Dulu, manusia berjuang melawan eksploitasi tenaga kerja oleh sistem kapitalis. Kini, eksploitasi itu bergeser ke tingkat yang lebih halus—eksploitasi terhadap kreativitas dan pikiran manusia. Kita tidak hanya menjadi pekerja dalam sistem kapitalis, tetapi juga penyedia ide-ide yang kemudian diolah kembali oleh mesin dan dijual kepada kita sebagai produk.
Manfaat atau Ancaman?
Di sisi lain, kita tak bisa memungkiri bahwa teknologi juga membawa banyak manfaat. Segala sesuatu menjadi lebih praktis dan efisien. Kita bisa membeli makanan hanya dengan mengetik di ponsel, lalu makanan itu akan diantar oleh kurir. Kita juga bisa berkomunikasi dengan orang tua, sanak saudara, dan kolega yang berada jauh dari kita cukup dengan satu panggilan telepon.
Namun, pertanyaannya, apakah kita semakin berkembang sebagai manusia atau justru semakin bergantung pada mesin? Seharusnya, kecanggihan teknologi justru mendorong manusia menjadi lebih kreatif dalam membangun imajinasi, karena kini informasi dapat diakses dengan mudah. Jika dulu kita harus mencari informasi dengan susah payah, kini informasi itu justru datang dengan sendirinya melalui perangkat yang bisa kita gunakan kapan pun.
Menjinakkan atau Dijinakkan?
Jangan biarkan imajinasi kita tumpul di bawah kendali kapitalisme dan teknologi. Tetaplah berpikir kritis dan membangun narasi bahwa manusia adalah makhluk sosial yang berakal.
Bayangkan jika sejak sekarang kita tunduk pada mesin—bukankah kelak kita akan kehilangan kemampuan berpikir dan hanya bergantung pada teknologi? Kita hanya akan menjadi manusia yang naif, tidak lagi mampu menciptakan sesuatu yang baru, hanya menjadi pengguna pasif dari inovasi yang dikendalikan oleh segelintir pihak.
Di era ini, jika kita tidak mampu menguasai AI, maka bersiaplah untuk dikuasai olehnya. Penurunan kreativitas dan rasa ingin tahu harus menjadi alarm bagi kita semua. Sebab, keterampilan berpikir kritis sangat penting bagi manusia supaya mampu menghadapi dunia yang penuh tantangan—tantangan yang akan semakin sulit jika kita tidak memiliki keterampilan yang cukup.
Alih-alih membiarkan diri kita dijinakkan oleh mesin, kita harus belajar untuk menjinakkan teknologi. Kita harus memahami bagaimana AI bekerja, bagaimana algoritma mengendalikan informasi, dan bagaimana kita bisa tetap menjadi subjek yang berpikir, bukan sekadar objek yang dikendalikan oleh sistem.
Pada akhirnya, manusia harus kembali memahami hakikatnya sebagai makhluk berakal. Teknologi seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti. Imajinasi harus tetap menjadi milik kita, bukan sekadar data yang diolah oleh mesin. Jika kita tidak mempertahankan ruang imajinasi ini, kita mungkin akan kehilangan satu-satunya hal yang benar-benar membuat kita menjadi manusia.
Leave a Comment