Melihat Perkembangan Remaja Menuju Generasi (C)emas lewat Serial Adolescence

Maskulinitas rapuh remaja dibedah lewat serial Adolescence.

Beberapa bulan ke belakang menyesakkan sekali rasanya. Mendapati diri bangun tidur selalu bersimbah berita buruk. Saya salut sama Fredel yang energinya gak habis-habis buat misuhin kebijakan pemerintah di sosmed. Setelah setiap hari rasanya kaya ditonjok bertubi-tubi tepat di ulu hati sama pemerintah.

Tapi di tengah hiruk-pikuk tersebut, ada satu berita yang mencuri perhatian saya. Mengenai pemerintah Inggris yang terdorong mengevaluasi kurikulum pendidikannya untuk mencegah toxic masculinity dan misogini pada remaja berdasarkan pada serial TV besutan Netflix, yaitu Adolescence.

Dikutip dari Daily Mail, menurut Perdana Menteri Keir Starmer, evaluasi kurikulum pendidikan yang dimaksud berada pada ruang lingkup kebijakan Relationship, Healthy, & Sex Education (RHSE). Harapannya agar dapat membantu remaja mengembangkan empati, rasa hormat, dan literasi emosional.

Saya cukup tertegun. Pasalnya, saya tinggal di negara dengan pemerintah yang statement publiknya kebanyakan menyalahkan masyarakat, alih-alih mencoba merefleksikan gejolak yang muncul. Contoh kecilnya, ketika menyeruak tren #KaburAjaDulu, malah bilang masyarakatnya tidak nasionalis. Kemudian ketika #IndonesiaGelap menggema, malah ditanggapi dengan,

“Kau yang gelap, bukan Indonesia.”

Saya terbiasa dengan pola pemerintah yang congkak dan kerap memunculkan bahasa kekerasan. Jadi, cukup terkejut ketika ada pemerintah yang mau belajar dari karya komersil.

Adolescence sendiri bercerita tentang Jamie (Owen Cooper), anak berusia 13 tahun yang tiba-tiba digrebek oleh polisi di kediamannya. Usut punya usut, Jamie diduga melakukan pembunuhan terhadap teman perempuannya setelah terpapar konten misoginis di internet dan menjadi korban cyber-bullying.

Wajar saja serial ini dapat menjadi wake-up call untuk pemerintah Inggris sana. Di samping memukau penonton melalui konsep one-take di tiap episodenya, Adolescence juga berisi cukup banyak isu mendesak untuk diperbincangkan. Setidaknya, bagi saya ada 3 pertanyaan besar yang menghantui, setelah menonton serial ini.

Kamar Anak adalah Tempat Bising

Bagaimana bisa anak yang dianggap baik dan lebih sering berdiam di kamarnya dapat melakukan pembunuhan?

Hal yang luput kita sadari, dalam ketenangan kamarnya, bisa jadi kamar anak merupakan tempat paling bising. Terutama bagi Gen Alpha yang memang dari awal tumbuh bersama gawai, sehingga sering kali anak dibiarkan sendirian menyusuri belantara internet. Tempat distribusi informasi, tempat influencer lebih diamini pendapatnya ketimbang para ahli. Perlahan dunianya dibentuk oleh algoritma. Sementara, para remaja belum benar-benar siap untuk memproses semua informasi tersebut.

Pada Adolescence, digambarkan bahwa Jamie terpapar gagasan incel (involuntary celibates). Sependek pemahaman saya, incel merupakan istilah untuk laki-laki heteroseksual yang menyalahkan perempuan atas kegagalannya menemukan pasangan. Karena merasa perempuan terlalu menetapkan standar tinggi terhadap laki-laki. Hal ini berdasar pada pemikiran 80/20, dimana 80% perempuan hanya tertarik pada 20% laki-laki yang dianggap memenuhi kriteria maskulinitas tradisional. Seperti ganteng, populer, dan jago olahraga.

Sedangkan Jamie mengutarakan ke psikiaternya, bahwa ia merasa tidak memenuhi semua standar tersebut. Jamie tergabung dengan anak-anak yang dianggap losers di sekolah, dan ia merasa tidak termasuk laki-laki yang ganteng di antara teman-temannya, terlebih ia juga tidak suka pelajaran olahraga.

Belum lagi, Jamie mengalami perundungan di sosial media oleh perempuan yang menolak berhubungan romantis dengannya. Hal ini menempatkannya di posisi yang rentan.

Sebagai seorang laki-laki yang tumbuh di lingkungan yang masih meyakini konsep maskulinitas tradisional. Ketika ajakan kencan Jamie ditolak oleh perempuan dan malah mendapatkan perundungan, ada ego laki-lakinya yang terluka. Maskulinitas yang rapuh membuat Jamie merasa terancam oleh perempuan yang memegang kendali. Masalahnya, ia tidak mendapatkan bantuan pemahaman atau navigasi dari lingkungan sekitarnya.

Padahal, seperti remaja berusia 13 tahun pada umumnya yang berada pada periode usia kritis, dan tengah membentuk konsep diri. Pertanyaan semacam:

“Aku siapa?”

“Apa yang terjadi pada diriku?”

“Apakah orang lain mengalami hal yang sama denganku?”

Seliweran muncul di benak remaja seumurannya (walau kadang mereka belum mampu untuk mengidentifikasi perasaan tersebut).

Alhasil, mudah bagi Jamie untuk mendapat validasi di internet akan perasaannya. Algoritma memanfaatkan kerentanannya guna membiarkan Jamie menemukan lebih banyak lagi laki-laki yang dalam kondisi rapuh, supaya serta-merta membuatnya berujar, “Ini aku banget” (Pada serialnya turut disinggung pengaruh Andrew Tate terhadap paham incel). Lalu pada akhirnya meyakini bahwa perempuan adalah musuh, pria harus mendominasi dan kekerasan terhadap perempuan dapat dibenarkan.

Paham radikalnya mungkin tidak tumbuh dalam tempo yang cepat, namun terpupuk dalam jangka waktu yang berkelanjutan.

Misal dengan mendengar streamer favoritnya melontarkan sexist joke. Membaca kolom komentar di video artis yang membandingkan perempuan independen dengan laki-laki belum mapan. Atau menonton podcast yang host-nya secara serampangan bertanya ke bintang tamu perempuan, “Kamu masih perawan atau enggak?”

Doktrin internet berpengaruh begitu besar bagi perkembangan psikologis Jamie. Lihat saja di episode 3 yang fenomenal itu, bagaimana Jamie merasa punya kontrol dengan berani mengintimidasi dan membentak psikiaternya berulang kali, hanya karena psikiaternya perempuan. Sedangkan ia kicep seketika, saat polisi laki-laki menegurnya.

Ketegangan gender yang terjadi di sosial media tidak dapat dibendung. Di sisi lain, algoritma memilih Jamie untuk mengkonsumsi konten-konten tersebut, sebelum ia siap memprosesnya.

Dan, semuanya terjadi hanya di kamarnya yang kita anggap sunyi.

Pria Tidak Bercerita, tapi Menebar Luka

Bagaimana anak yang tumbuh dari keluarga yang tenang dapat melakukan pembunuhan?

Keluarga Jamie memang terlihat tenang. Hubungan antara ayah dan ibunya baik, tidak banyak keributan. Keduanya juga hadir dalam pengasuhan Jamie. Di satu dialog, Ayah Jamie berkata bahwa saat membuat kesalahan, ia sering dicambuk menggunakan gesper ketika kecil dulu oleh orang tuanya. Namun, ia tidak akan sampai hati memperlakukan anaknya seperti demikian. Ini menunjukkan bahwa Jamie tidak mendapat kekerasan fisik dari orang tuanya.

Sepintas, memang tidak ada yang aneh dari keluarga Jamie. Tapi, ada satu hal yang mungkin terlewat. Mengenai orang tuanya yang terasa tidak hadir secara emosi. Keduanya sering kali denial terhadap perasaan yang muncul.

Ayahnya selalu enggan membahas suatu masalah, sedangkan ibunya acapkali mengganti topik untuk menutupi perasaannya. Keduanya selalu bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Padahal, banyak perasaan yang terabaikan. Yang dapat menjadi bom waktu, dan siap meledak kapan saja. Atau membeku menjadi rasa sepi berkepanjangan.

Sebenarnya, terasa familiar. Saya punya orang tua yang baik. Dari luar mereka tampak tenang, namun terkadang terlalu dingin dan berjarak. Saya tumbuh bersama mereka yang kurang komunikatif.

Sehingga canggung rasanya untuk mengungkapkan perasaan dan berbicara dari hati-ke-hati. Terutama dengan ayah, yang bahkan terasa sulit untuk sekadar bersenda gurau. Tidak banyak ruang untuk bilang: saya tidak nyaman melakukanya, saya sedih/marah akan hal ini, saya senang menghabiskan waktu bersama.

Mau tak mau, hal ini berdampak pada ketidakmampuan saya dalam mengenali dan mengekspresikan perasaan saya. Namun, saya tidak mencoba menyalahkan orang tua saya. Dengan keterbatasan informasi yang orang tua saya dapat dahulu, pasti sulit bagi mereka, dan saya meyakini mereka telah melakukan yang terbaik.

Beruntungnya Fredel, ia adalah orang yang cakap berkomunikasi dan penuh empati. Bikin saya paham, bahwa rasa aman bukan hanya berasal jika semuanya seolah tampak baik-baik saja. Tapi ketika kita dapat mengenali, menerima, memproses serta mengekspresikan semua perasaan dengan baik.

Dalam kaitannya dengan kondisi keluarga Jamie, Fredel sempat menyinggung tren #PriaTidakBercerita yang menurutnya konyol. Sebagian mungkin menganggapnya hanya lelucon, tapi yang lainnya justru mengglorifikasi hal tersebut. Memuakkan rasanya, merasa bangga dengan “tidak bercerita” namun menyalahkan perempuan atas dampak dari keputusan “tidak bercerita” tersebut.

Banyak anak yang tidak pernah meninggikan nada bicaranya, terlihat iya-iya saja dan jarang berbuat kenakalan. Tapi ternyata banyak emosi yang dipendam. Emosi yang gak keluar, tapi tetap tumbuh di dalam, sehingga pada akhirnya membludak.

Mungkin, Jamie mengalami hal ini. Meninjau dari amarahnya yang tidak stabil serta mempunyai dorongan melakukan tindakan impulsif yang merugikan. Sering kali karena banyak emosi yang menumpuk dan kebingungan cara meregulasinya.

Percakapan antara Jamie dan psikiaternya menegaskan hal ini. Jamie bilang bahwa Ayahnya sering kali mengabaikannya jika Jamie tampil buruk di pertandingan sepak bola. Namun, keduanya tidak punya ruang untuk mengungkapkan satu sama lain. Ayahnya tidak pernah mengungkapkan rasa kecewanya. Sedangkan, Jamie tidak pernah mengungkapkan rasa sedihnya ketika diperlakukan demikian.

Orang tua Jamie mungkin mencoba memutus luka antar-generasi dengan tidak melakukan kekerasan fisik. Tapi, memberikan luka baru yang tidak terlihat. Dan luka yang tidak terlihat, seringnya lebih lama untuk sembuh.

Faktor maskulinitas tradisional yang menganggap laki-laki harus selalu superior dan tangguh juga andil melanggengkan pola asuh seperti ini. Ayah Jamie merasa Jamie perlu melakukan hal-hal yang dianggap maskulin, seperti bermain sepak bola–yang mana sebenarnya Jamie tidak suka.

Sedangkan, sensitivitas dan ekspresi perasaan dianggap sebagai sesuatu yang lemah. Padahal, memiliki empati dan melakukan hal-hal yang menurut stereotip sosial dianggap feminim, justru lebih sehat.

Berkaca pada pola asuh orang tua saya dan dampaknya dengan relasi romantis saya, kesulitan saya dalam mengenali perasaan, kadang membuat saya kelimpungan untuk hadir mengakomodir perasaannya Fredel.

Dan, sama seperti Jamie, orang tua yang tidak nyaman akan perasaannya, pasti sulit hadir untuk perasaan anaknya.

Kriminalitas Remaja dan Kualitas Pendidikan

Bagaimana peran pendidikan di sekolah sampai muridnya dapat melakukan pembunuhan?

Episode 2 memperlihatkan kondisi sekolah Jamie, lalu kita akan mendapati anak-anak berteriak dan saling mengumpat, melakukan kekerasan, bahkan mereka berani melakukannya ke gurunya sendiri.

Saya berpikir jika yang digambarkan di sekolah Jamie terlalu berlebihan. Tapi jika diingat lagi, budaya kekerasan pada remaja sudah mengakar bahkan ketika saya masih SMP. Tawuran, perundungan, perkelahian, hingga menantang guru yang dianggap powerless sudah lazim terjadi.

Kalau kata Joko Anwar dalam wawancaranya dengan Tempo terkait film Pengepungan di Bukit Duri, sih

“Kriminalitas remaja selaras dengan minimnya apresiasi terhadap profesi guru. Sehingga, para guru tidak bisa bertugas dengan maksimal. Guru yang punya potensi menjadi guru yang baik pun, enggan untuk masuk, karena tahu kalau mereka tidak diapresiasi dengan baik.”

Alhasil, orang yang sebenarnya tidak capable seperti saya dapat ambil peran sebagai guru.

Saya pernah berkelakar kepada kawan saya bahwa saya merasa kompeten ketika menjadi pengajar. Karena merasa keilmuan saya cukup baik untuk mengajar murid-murid saya. Namun, saya merasa tidak pantas disebut pendidik, karena saya tidak pernah mencoba mendidik murid saya (dalam hal disiplin, moral, emosional, dll) di jam pelajaran saya.

Sebenarnya, saya bukan secara sengaja tidak menghadirkan pendidikan ke murid saya. Tapi di alam bawah sadar mungkin ada yang membuat saya menahan diri untuk memaksimalkan peran saya sebagai guru. Terutama upah yang menurut saya jauh dari kata layak.

Sebelum saya memutuskan berhenti bekerja sebagai guru. Saya selalu bilang ke Fredel kalau saya suka mengajar dan rela gak dibayar, asalkan kami sudah berada di puncak Segitiga Maslow. Karena jujur, sulit sekali menjadikan guru sebagai profesi, ketika masih berada di dasar hierarki Segitiga Maslow.

Kesejahteraan guru berpengaruh cukup besar terhadap kualitas pendidikan. Sayang sekali di kabinet sekarang, anggaran pendidikan justru dipangkas.

Padahal untuk menyongsong bonus demografi, selain dipersiapkan bekal fisiknya (yang mana diakomodir oleh Makan Bergizi Gratis), generasi selanjutnya juga perlu diberi bekal akademik dan juga kecerdasan emosional. Mereka perlu tumbuh sehat bukan hanya raganya, tapi juga jiwa dan pikirannya.

Toh, di sekolah Jamie pun para muridnya mendapat makan gratis kok, tapi tidak menghindarkan mereka melakukan kriminalitas. Makanya, jika pendidikan masih disepelekan. Hati-hati dengan yang katanya Indonesia memasuki generasi emas di tahun 2045. Sebab yang kuning belum tentu emas.

Maka, pada kasus Jamie, ketika keluarga dan sekolah tidak dapat hadir. Jangan heran ketika algoritma mengambil alih pengasuhan tersebut.

Sekarang, jika diuraikan satu-persatu. Kombinasi dari pengabaian emosional, tekanan toxic masculinity, lingkungan yang tidak memberikan rasa aman, serta paparan informasi yang keliru dari internet, sudah lebih dari cukup untuk membuat Jamie melakukan hal yang tidak semestinya.

Anak yang seharian di kamar, belum tentu terhindar dari hal negatif.

Keluarga yang terlihat tenang, bukan berarti menyediakan ruang aman.

Sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar, bisa menjadi medan perang.

Adolescence menyentil semua aspek yang salah dari modern society. Menelanjangi satu persatu sisi gelapnya. Seraya menimbulkan kecemasan, khususnya kepada para orang tua. Terutama di zaman serba digital di mana ada gap komunikasi yang cukup kentara antar-generasi.

Kehadiran Adolescence tak hanya sekedar peringatan, tapi juga sekaligus bentuk perhitungan kepada setiap orang dewasa. Maka, sudah sepatutnya jadi tanggung jawab bersama untuk mencegah adanya Jamie-Jamie lain di dunia nyata.

Kebetulan memang, pemerintah Indonesia juga sebenarnya baru saja menerbitkan PP yang mengontrol ruang gerak anak di ranah sosial media.

Tapi di sisi lain…

Memperluas ruang gerak militer di ranah sipil. Hehe.

Merayakan film, mengolok Liverpool. Pengagum permanen FredelidaGM.

Related Post

No comments

Leave a Comment