Ada faktor-faktor tertentu dibalik kurang seramnya Qodrat 2.
Qodrat 2: Seram, Sih, tapi Setannya Kayak Lagi Cuti

Saya menonton film Qodrat pertama melalui Netflix dan memilihnya tanpa banyak pertimbangan. Trailer, sutradara, maupun rumah produksi film tersebut belum saya ketahui. Daya tarik utama saat itu adalah kehadiran Vino G. Bastian dalam poster film.
Aaaah, Vino! Tentu saja saya menyukai Vino. Vino G. Bastian menemani banyak masa remaja saya melalui film-film memorable seperti Catatan Akhir Sekolah, Punk In Love, Radit & Jani, Realita Cinta Rock and Roll, dan banyak film lainnya. Bahkan, saya sering menonton sampai habis FTV yang dibintanginya.
Mengerikannya Film Qodrat Pertama
Ternyata, pilihan asal-asalan ini sama sekali tidak mengecewakan. Qodrat benar-benar menakjubkan, mengerikan, menegangkan, dan seru untuk ditonton.
Adegan pembukanya saja menampilkan Ustaz Qodrat yang sedang meruqyah anaknya. Proses ruqyah itu begitu intens dan memunculkan horor atmosferik melalui suara iblis yang berat, urat-urat merah dan hitam yang muncul di wajah sang anak, dan ketika tubuh anak itu melayang di udara, penonton dapat langsung menyadari bahwa sosok yang merasukinya bukanlah sosok biasa.
Ia adalah Assuala, iblis keturunan langsung dari iblis utama. Assuala memiliki kemampuan khusus sebagai ahli sihir. Kesaktiannya tentu saja tidak bisa dianggap remeh. Saya sempat merasa lega ketika anak Ustaz Qodrat sadar dan terlepas dari pengaruh Assuala. Wajahnya cerah kembali dan memanggil ayahnya beberapa kali. Akan tetapi, tak lama kemudian, kepala si anak yang bernama Alif itu berputar 180 derajat dengan cepat. Alif pun meninggal tepat di hadapan ayahnya, Ustaz Qodrat.
Sosok Ustaz Qodrat di sini jangan dibayangkan seperti ustaz-ustaz yang muncul di akhir film Suzzana, yang berpeci hitam, berbaju koko putih, bersorban merah putih kotak-kotak di pundaknya, dan bersarung atlas berwarna cerah, yang cukup dengan membaca Ayat Kursi sudah bisa mengalahkan villain utama.
Tidak, sama sekali tidak. Justru, penampilan Ustaz Qodrat lebih dekat kepada vokalis band rock: berambut panjang, berjaket kulit, berkacamata hitam, dan menunggangi moge dengan gagahnya.
Treatment horornya pun bisa dibilang sangat segar dibandingkan dengan film horor sebelum-sebelumnya. Set lokasi dipenuhi pasir dan warna kuning, adegan horornya benar-benar mengerikan, ditambah adegan aksi melalui kemampuan berkelahi Ustaz Qodrat yang ciamik. Apalagi proses ruqyah yang dilakukan Ustaz Qodrat, beuuuuh, mantap banget dah!
Yang paling saya sukai dari Qodrat pertama adalah porsi ketegangan yang disuguhkan oleh Charles Ghozali benar-benar rapat sepanjang film, baik itu tegang oleh horor iblis maupun aksi berantemnya Ustaz Qodrat. Berbekal perasaan puas terhadap film pertamanya inilah, saya tak ragu untuk menonton sekuelnya: Qodrat 2.
Catatan Kritis untuk Qodrat 2
Saya pun tak ragu untuk menonton Qodrat 2 langsung di bioskop. Selain sebagai bentuk dukungan terhadap film bagus, saya juga ingin merasakan experience yang berbeda dengan menonton langsung lewat layar segede gaban, audio yang menggelegar, dan suasana bioskop yang khas. Bioskop yang saya pilih adalah CGV di Cikampek Mall.
Saya berangkat ke sana dari Purwasari setelah melaksanakan salat magrib dan ternyata itu terlalu awal untuk menunggu filmnya diputar di auditorium pukul 20.25. Alhasil, saya mesti menunggu satu jam lebih. Waktu menunggu saya isi dengan berjalan-jalan di sekitar lantai 3, mengintip orang-orang yang berkaraoke, atau melihat anak-anak kecil bermain di wahana permainan. Kalau saya tidak salah hitung, seluas lantai tiga hanya diisi oleh tiga tempat tersebut: bioskop, tempat karaoke, dan tempat bermain. Sisanya hanyalah toko-toko yang tutup. Sungguh sepi dan menciptakan aura mistis.
Akhirnya, waktu menonton pun tiba. Saya masuk sambil membawa sekantung popcorn dan es lemon tea agar sensasi menontonnya lebih bioskopable gitu. Dari semua bangku yang tersedia, yang terisi ternyata hanya 3 baris saja, yaitu baris C, D, dan E. Sungguh disayangkan, film bagus seperti ini malah sepi.rYah, walaupun saya pernah lihat sih postingan di akun Instagramnya Vino kalau film ini sudah tembus 1 juta penonton selama satu minggu penayangannya. Not bad lah.
Akan tetapi, ketika saya menonton, ternyata saya agak kecewa dengan filmnya. Bukan karena jelek. Bukan. Ceritanya masih bagus, horornya juga masih mencekam seperti film pertamanya. Akting Vino G. Bastian tetap solid, akting Acha Septriasa apalagi, akting para pemain pendukungnya macam Della Dartyan, Donny Alamsyah, ataupun Septian Dwi Cahyo pun oke banget. Saya agak tidak menyangka saja kalau unsur romancenya dan aksi komedinya sangat-sangat menguras porsi horornya. Padahal, yang membuat saya terpesona sama film pertamanya ya horornya itu.
Kalau dibilang romancenya jelek, tidak juga. Koreografi berantemnya juga oke banget. Di sela-sela berantem ada komedinya, padahal di film pertamanya adegan berantemnya sangat serius dan badass, lah di film kedua jadi malah mirip sama Jackie Chan gitu.
Itu bukan sesuatu yang saya harapkan sama sekali dari film ini. Saya hanya ingin horor, ketegangan, perasaan mencekam, dan perasaan ketakutan seperti film pertamanya. Tak perlu ada romance, tak perlu ada komedi.
Kalau di film pertama iblis yang muncul adalah Assuala yang ahli sihir itu, di film kedua iblis yang menjadi musuh Ustaz Qodrat adalah Zhaduq, iblis yang tujuan utamanya adalah untuk membuat manusia musyrik. Zhaduq ini bertujuan menyesatkan manusia agar menyembahnya.
Tapi, adegan terbaik terakhir adalah dari Assuala yang menimbulkan satu korban: istri Ustaz Qodrat, Azizah. Adegan terakhir saat Azizah mendirikan salat taubat adalah bagian terbaiknya. Dengan disirami cahaya dari damar, Azizah melaksanakan salat taubatnya, memasukkan niat salat taubat dengan sedikit tersendat. Dan ketika membaca doa iftitah, tepat pada lafaz Inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati..., Azizah selalu gagal melanjutkannya.
Ia berusaha melanjutkan kalimat itu, tetapi raut mukanya malah berubah menjadi tersenyum, tertawa, cengar-cengir tidak jelas, hingga akhirnya Azizah tersungkur menangisi kemusyrikannya. Lalu muncullah Assuala. Iblis itu telah mengklaim Azizah sebagai budaknya dan tidak ingin melepaskan Azizah.
Pertarungan antara Assuala dan Ustaz Qodrat pun tak terelakkan. Pada saat inilah atmosfer horor yang saya inginkan muncul dan saya sangat suka dengan segala ketegangan yang tercipta. Meskipun tidak semenegangkan film pertamanya, tetapi Qodrat 2 tidak bisa disebut sebagai film jelek, dan nama sutradara Charles Ghozali telah saya tandai sebagai jaminan mutu film bagus, sebagaimana saya menandai sutradara bagus lainnya macam Mira Lesmana, Riri Riza, Joko Anwar, Kimo and Timo, Makbul Mubarak, dan Gina S. Noer.
Leave a Comment