Notes of The Lost Sheep: Waktu Tulang Punggung Bersandar pada Puisi

Sebuah kumpulan puisi yang berisi curhatan tulang punggung.

Judul Buku: Notes of The Lost Sheep
Penulis: Arini
Terbit: 2024
Penerbit: Pustakakipress

Cyril Connolly (1903–1974), seorang penulis asal Inggris, pernah mengatakan, “Lebih baik menulis untuk diri sendiri dan tidak dibaca publik, daripada menulis untuk publik tapi kehilangan diri sendiri.” Kata-kata ini selalu terngiang di telingaku. Saat ini, aku sedang kehilangan diri sendiri, atau bisa dibilang mengalami krisis dalam hal tulis-menulis. Aku kehilangan kepercayaan diri, bahkan kepercayaan kepada negara.

Tiba-tiba aku tidak bisa tidur, lalu melihat sebuah buku putih dengan gambar kambing, tapi bukan sate kambing. Akhirnya, sembari menunggu sahur, aku lahap isinya hingga habis dan kutuliskan kembali beberapa puisi di dalamnya.

Puisi Terakhirku

“Sakitku begitu senyap dan semuanya menjadi lebih dingin dari kulkas baru atau ketidaktahuanku. Aku bermimpi pusarku punya tali panjang sekali, tapi tidak seperti yang pernah kupakai buat coba gantung diri di ranjang ini. Aku tak banyak menulis puisi. Kalau ini puisi terakhir, tolong isi bait-bait selanjutnya menjadi puisi yang panjang, ditulis sahabat dan orang-orang tersayang. Kalau aku mati hari ini, tolong mandikan pakai sabun Harmony, warna ungu yang paling wangi. Setelahnya, bolehlah kalian minum pakai whiskey.”

Tulang Punggung

“Ada yang membebani kepala dan tulang punggung seperti tanggung jawab, biaya kesehatan, pendidikan, listrik, dan tagihan lain yang membuat nyeri pinggul sekaligus susah tidur. Ada yang mengendap tak bisa menjelma kalimat. Aku melihat sisik ular di setiap kata; jadilah tubuhnya yang coklat, menuju hitam, dan suara gemerisik…”

Notes of The Lost Sheep

“Now she’s walking naked as her fleece stuck on a tree-trunk while she wandered. Her cold barefoot stepped on the damp twigs, shattering a piece of dry leaf. She kept struggling even when her body was freezing. The whole memory gave her no favor unless a tremendous breaking order. On the other hand, 12 moons slipped up above the fogged hill and dropped the good shepherd into the lost one, at the place she’s sleeping numb.”

Puisi-puisi seperti “Puisi Terakhirku,” “Tulang Punggung,” dan “Notes of The Lost Sheep” menggambarkan kesakitan, kesedihan yang mendalam, kelelahan terhadap hidup, penderitaan, dan kesepian. Aku sangat mengafirmasi kelelahan penulis. Seperti melihat negara, selalu muncul rasa pesimis dalam diriku.

Selanjutnya, “Kaukah Isa?” dan “Notes of The Lost Sheep” menyiratkan perjalanan batin, kehilangan, dan pencarian penebusan. Mungkin, penulis sedang melakukan pencarian makna dan identitas. Kadang, di dunia yang serba cepat dan era disrupsi ini, kita bukan kekurangan informasi, melainkan kelebihan informasi, sehingga kita muak menentukan mana yang bisa di-filter masuk ke logika atau logistik.

Puisi “Ini Hari Masih Percaya Cinta” dan “Rainy Day” berbicara tentang memori, hubungan masa lalu, dan keyakinan yang bertahan meski keadaan berubah. Iya, betul sekali. Kadang kita harus bertahan dengan kondisi di tempat kerja misalnya, mulai dari ketidaknyamanan gaji, lingkungan kerja, dan jenjang karier, tetapi kita tetap bertahan sambil berkhayal punya tabungan 1,7 triliun.

Sementara itu, puisi “Tulang Punggung” dengan jelas menggambarkan tanggung jawab dan tekanan yang harus dipikul seseorang dalam hidup. Tulang Punggung ini mengingatkanku pada nama kolektif di salah satu perguruan tinggi di Karawang, yaitu Perpustakaan Punggung. Sama-sama “punggung,” tetapi beda di awalnya—yang satu “tulang” dan yang satu lagi “perpustakaan.” Yah, begitulah kehidupan dan beban hidup. Ada kesamaannya: sama-sama membebani. Tulang membebani punggung, dan perpustakaan membebani kepala.

Unsur Puitis, Gaya Bahasa, dan Diksi

Metafora: Banyak metafora kuat seperti “mata naga sembur api daging babi taburan bakmi,” yang memberi kesan panas, marah, dan bergejolak.

Personifikasi: “Guntur bunyi sebentar bikin terkejut kebangun,” memberikan sifat manusiawi pada guntur.

Hiperbola: “Sakitku begitu senyap dan semuanya menjadi lebih dingin dari kulkas baru,” yang memperkuat kesan dingin dan kesepian.

Kombinasi kata-kata puitis dan sehari-hari membuat puisinya terasa dekat, tetapi tetap memiliki kedalaman—lebih dalam dari orang menggali sumur atau lebih jauh dari telinga penguasa dengan suara rakyatnya. Pemilihan kata berani dan tajam, seperti “aku mencium bangkai tikus yang usianya lebih lama dari hubungan kita,” memberikan dampak emosional yang kuat.

Tidak ada pola sajak baku. Puisinya mengalir bebas seperti puisi kontemporer dengan ritme emosional yang naik-turun, menciptakan suasana yang intens.

Menurutku, ada beberapa pesan dalam puisi ini. Atau, bisa jadi kalian yang belum baca langsung mendapat pesan WhatsApp dari penulisnya untuk membeli buku ini. Puisi ini mencerminkan kondisi batin seseorang yang mengalami rasa sakit, kehilangan, dan pencarian arti hidup. Ada pesan tersirat tentang keterasingan, harapan yang perlahan memudar, dan pergulatan dengan eksistensi. Penyair juga menyampaikan ketidakberdayaan manusia di hadapan waktu, kenangan, dan tanggung jawab yang semakin membebani.

Meski banyak kesedihan dalam puisi ini, ada juga secercah harapan dalam bentuk keinginan untuk dikenang—seperti dalam “Puisi Terakhirku” yang meminta sahabat untuk melanjutkan puisinya jika ia tiada.

Kelebihan

Diksi kuat dan berani, tidak takut menampilkan kesedihan atau kemarahan.

Menggambarkan emosi dengan sangat mendalam dan jujur.

Menggunakan metafora yang unik dan mengejutkan, memberikan kesan mendalam.

Memadukan bahasa puitis dengan bahasa sehari-hari, membuat puisinya tetap relatable.

Kekurangan

Beberapa bagian puisi sulit dipahami karena terlalu simbolik atau menggunakan metafora yang tidak langsung.

Akan lebih sulit lagi jika buku puisi ini dibaca dalam keadaan mata tertutup.

Buku ini sangat menarik bagi pembaca yang menyukai puisi emosional dengan kedalaman makna. Cocok untuk mereka yang ingin membaca puisi yang lebih personal, reflektif, dan eksperimental.

Penulis lepas, penjaga lapak Perpusjal Baca Kami, street & model photographer.

Related Post

No comments

Leave a Comment