Tuesday, April 30, 2024
Cart / Rp0
No products in the cart.

Lulus dari Pesantren, Saya Kaget dengan Pergaulan di Luar Pondok

Kebiasaan terpisah dari lawan jenis di pesantren selama enam tahun—dalam konteks ini dengan teman perempuan, menjadikan keadaan berkerudung dan tidak bersentuhan fisik dianggap sebagai hal yang paling aman dan wajar, alhasil saya tidak terbiasa untuk bersinggungan langsung secara kontak fisik dan selalu merasa gugup melihat teman perempuan yang tidak menggunakan kerudung. Mungkin bagi sudut pandang lain, agama contohnya, hal ini disebut kebaikan. Tapi justru di sini masalah yang mesti saya hadapi ketika kuliah.

Pernah ngalamin culture shock atau keterkejutan budaya? Saya pikir semua orang hampir pernah mengalami hal ini. Istilah ini umum dipakai ketika seseorang datang atau pindah dari negara asal ke negara lain kemudian kaget, gelisah dan merasa bingung pada tempat baru yang budayanya berlainan dengan budaya seseorang itu sebelumnya, begitulah kurang lebih gambaran yang sering dipakai untuk menerangkan culture shock. Penggambaran keterkejutan budaya barangkali tidak hanya saat seseorang pindah dari satu negara ke negara lain, dari satu daerah ke daerah lain. Gambaran tersebut bisa juga berangkat dari hal-hal kecil seperti seseorang yang beralih dari satu pergaulan ke pergaulan lain. Misalnya apa yang saya alami setelah lulus dari pesantren dan memasuki perkuliahan, yaitu menemukan perbedaan cara bergaul tadi. Di pesantren, tempat antara santri perempuan dan santri laki-laki harus terpisah, dari tidur, makan dan pada jam-jam istirahat pesantren, kecuali saat sekolah. Kompleks gedung sekolah tidak bisa dipisahkan untuk santri laki-laki maupun perempuan, semuanya ada di sana, namun tetap dipisahkan antara ruang kelas laki-laki dan perempuan.

Pertemuan saya dengan para perempuan hanya terjadi selama kegiatan sekolah berlangsung itupun ketika berangkat, istirahat sekolah dan pulang sekolah saja, saya dan teman laki-laki hampir tidak pernah bermain atau gaul bersama teman-teman perempuan di pesantren. Selama enam tahun—dari SMP sampai SMA, aktivitas tersebut terus berlangsung dan terulang membuat saya menjadi mudah malu sekaligus takut berhadapan dengan wanita. Meskipun ada waktu-waktu perpulangan di akhir tahun pelajaran yang biasanya teman laki-laki dan perempuan bisa main bersama tetap saja kebiasaan pesantren masih melekat, masih ada kecanggungan saat pertama bertemu di tempat bermain, masih merasa kaku ketika tidak sengaja saling bersenggolan. Di satu sisi bagi beberapa teman laki-laki termasuk saya, setiap kali melihat teman perempuan yang tidak pakai kerudung di album foto karena tak sengaja terlihat, kami jadi tertegun, merasa bersalah tapi penasaran juga. Semacam mau-mau tapi malu. Kebiasaan terpisah dari lawan jenis di pesantren selama enam tahun—dalam konteks ini dengan teman perempuan, menjadikan keadaan berkerudung dan tidak bersentuhan fisik dianggap sebagai hal yang paling aman dan wajar, alhasil saya tidak terbiasa untuk bersinggungan langsung secara kontak fisik dan selalu merasa gugup melihat teman perempuan yang tidak menggunakan kerudung. Mungkin bagi sudut pandang lain, agama contohnya, hal ini disebut kebaikan. Tapi justru di sini masalah yang mesti saya hadapi ketika kuliah.

Bagi teman-teman kuliah saya yang dulunya tidak pesantren, kelihatannya mereka terbiasa bergaul dengan ada sedikit kontak fisik bersama teman perempuan sambil si perempuan tidak mengenakan kerudung. Tapi tidak dengan saya, bukannya saya alim atau saleh. Saya tidak alergi dan menghakimi hal tersebut bertentangan dengan norma agama tapi melihat teman (laki-laki) kuliah yang santai di depan teman perempuan, sementara saya gugup dan berusaha menutupinya dengan berlagak santai juga, sejenak membuat saya kaget. Kampus yang saya kuliahi terbilang religius dan berlatar pendidikan pula, bagi perempuan muslim wajib mengenakan kerudung ketika kuliah. Pernah di satu malam saya diajak dua teman saya untuk main ke kos-kosan perempuan yang saya sendiri tidak terlalu akrab dengan teman-teman perempuan di sana—waktu itu, dibanding dua teman saya tadi. Ketika sampai saya cemas saat teman-teman perempuan tidak mengenakan kerudung karena pertemuan pertama dengan mereka terjadi di kampus dan tentu mereka menggunakan kerudung. bagian yang paling terkejutnya dan membikin saya kikuk adalah ketika salah satu teman perempuan menyimpan bantal di kaki—tepatnya di sepanjang betis saya yang sedang lonjoran kemudian tidur. Kepala dibenturi pertanyaan-pertanyaan, bingung, saya harus apa? Pertemuan-pertemuan seperti itu sering terjadi dan secara tidak langsung pula saya belajar terbiasa menemui teman-teman perempuan dan bergaul bersama mereka, baik ketika mereka tidak pakai kerudung atau terjadi sedikit sentuhan fisik. Tapi perasaan gugup dan takut kegugupannya terbaca oleh teman-teman perempuan tentu menjadi tantang besar. Waktu itu, bila harus membicarakannya baik-baik dan semisal meminta tolong teman-teman perempuan untuk membantu saya dalam proses keterbiasaan, mungkin mereka akan merasa canggung saat bertemu saya lagi dan tidak menutup kemungkinan mereka juga akan melakukan batasan-batasan dengan saya. Maka, untuk bisa mencapai titik terbiasa pun terhitung lama. Saya tidak mau kecanggungan dan batasan-batasan terjadi. Lebih jauh lagi, saya khawatir bila harus berbicara baik-baik dan meminta tolong pada teman-teman perempuan akan menjadikan semua orang mengenal saya sebagai orang yang kaku atau kikuk. Kalaupun ternyata tidak terjadi, tapi kala itu saya sedang tidak percaya.

Enam tahun merasa nyaman bergaul dengan perempuan yang berkerudung dan tidak bersentuhan adalah tantangan untuk keluar dari zona tersebut ketika kuliah. Ada yang disebut dengan fase honeymoon pada culture shock, fase ini merupakan tahap seseorang masih memiliki keinginan atau rasa penasaran yang tinggi serta menggebu-gebu dengan suasana baru yang akan dijalani (berdasarkan kajianpustaka.com) dan fase ini tidak saya alami. Saya justru mengalami fase lain atau fase selanjutnya yang disebut fase frustrasi dan fase readjustment; penyesuaian kembali. Karena dari kejadian teman perempuan yang menepikan kepalanya di betis saya waktu dulu—sebenarnya saya agak risi, di sinilah fase frustrasi, tapi secara bersamaan saya juga ingin bisa terbiasa dengan keadaan-keadaan lepas semacam itu, alasanya agar tidak lagi merasa tabu. Selalu merasa tabu pada prilaku-prilaku yang bagi lingkungannya tidak, malah membuat saya tidak aman, akhirnya ketidaktabuan bagi satu lingkungan tersebut menantang saya untuk beradaptasi. Pada tahap beradaptasi, fase readjustment dialami. Beradaptasi berarti belajar, dan saya belajar pada kedua teman di atas tadi, tidak dengan meminta mereka mengajarkannya, tentu akan malu, tapi saya yang mencoba memperhatikan cara mereka bergaul dengan perempuan. Bagaimana memasang muka yang tidak tegang, tetap santai dan tidak mengakukan badan saat bersentuhan dan yang paling mudah adalah tidak membedakan cara berbicara dengan teman laki-laki kepada perempuan.

Sekarang saya sudah tidak perlu beradaptasi, saya merasa berhasil menaklukkan culture shock dari pergaulan yang berbeda meski kesannya seperti tidak punya pendirian. Pengalaman yang cukup meresahkan tapi seru, sebab titik balik yang didapat ialah saya mampu lebih tenang ketika bersentuhan dengan teman perempuan ataupun ketika mereka tidak memakai kerudung, dan juga jadi punya banyak teman perempuan. Lagipula apa sebenarnya pendirian itu? Sebab apa yang memunculkannya? boleh jadi, tanpa disadari pendirian datang dari culture shock pada kejadian-kejadian kecil, atau jangan-jangan apa yang selama ini kita jalani adalah bentuk dari penaklukan-penaklukan culture shock belaka. Mungkin. tidak ada yang tahu, diri kita sendiri yang bisa memastikannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Welcome Back!

Login to your account below

Create New Account!

Fill the forms below to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Login dulu, lur~

Nyalakan Mimpimu!