

Beberapa waktu yang lalu, ruang publik kita dihentak oleh pernyataan seorang anggota DPR yang menyindir donasi masyarakat sebesar Rp10 miliar untuk korban banjir di Sumatera. Dengan nada meremehkan, donasi tersebut dianggap “biasa saja” jika dibandingkan dengan bantuan triliunan rupiah yang digelontorkan negara.
Sekilas, secara matematika, pernyataan itu benar. Rp10 miliar hanyalah remah-remah—mungkin tidak sampai 0,1%—dari total anggaran pemulihan bencana. Namun, secara logika bernegara dan etika publik, pernyataan tersebut menyingkap sebuah penyakit kronis dalam mentalitas pejabat kita: Distorsi Kognitif Birokrasi.
Para wakil rakyat ini tampaknya lupa siapa mereka, siapa kita, dan dari mana uang triliunan itu berasal.
Mari kita bedah menggunakan logika dasar ekonomi dan politik. Ketika seorang anggota DPR menyombongkan bantuan negara di hadapan donasi rakyat, dia sedang melakukan Logical Fallacy (kesesatan berpikir) yang fatal. Dia membandingkan Kewajiban Konstitusional dengan Amal Sukarela.
Dana triliunan APBN adalah uang pajak rakyat. Ketika negara menggunakannya untuk bencana, itu bukan kemurahan hati. Itu adalah tugas. Tidak ada tepuk tangan untuk seseorang yang sekadar melakukan tugas wajibnya. Sebaliknya, Rp10 miliar dari rakyat adalah murni cinta kasih—uang yang disisihkan dari pendapatan pribadi yang sudah dipotong pajak, demi menambal lubang yang belum sempat ditutup negara.
Akar masalah dari arogansi ini adalah apa yang kita sebut sebagai Mentalitas Karyawan Korporat.
Para pejabat kita tampaknya menganggap Negara Indonesia sebagai sebuah perusahaan. Dalam logika perusahaan swasta, direksi dan karyawan digaji dari laba/keuntungan penjualan produk/jasa. Karena itu, wajar jika mereka merasa memiliki otoritas atas uang perusahaan.
Namun, Negara tidak mencari laba. Negara tidak berjualan. Gaji, tunjangan, dan fasilitas mewah anggota DPR berasal dari pungutan paksa (pajak) terhadap rakyat.
Ketika pejabat merasa tersinggung dengan gerakan donasi influencer, mereka bertingkah laku seperti manajer pemasaran yang takut market share-nya direbut kompetitor. Mereka melihat bencana bukan sebagai tragedi kemanusiaan yang harus diselesaikan bersama, melainkan sebagai “panggung proyek” di mana mereka harus menjadi bintang utamanya.
Para pejabat merasa terasing dari rakyatnya. Mereka memandang diri mereka sebagai entitas elit yang “memberi” kepada rakyat, padahal sejatinya mereka adalah pelayan yang “diberi” mandat oleh rakyat.
Di sinilah letak tragedi kemanusiaannya. Ketika bantuan diukur semata-mata dari jumlah nol di belakang angka. Rakyat tidak butuh kompetisi angka. Korban banjir tidak peduli bantuan itu datang dari tangan negara atau orang biasa, mereka hanya butuh pertolongan.
Ketika negara memosisikan diri sebagai “pesaing” rakyat dalam berbuat baik, negara telah kehilangan wibawanya. Seharusnya, negara merangkul inisiatif warga sebagai bukti bahwa modal sosial bangsa ini masih kuat. Narasi yang harusnya keluar adalah ucapan terima kasih: “Terima kasih telah membantu, maafkan kami jika kami lambat, sisa beban berat biar kami yang pikul.”
Sayangnya, selama pejabat kita masih merasa sebagai “Karyawan PT Indonesia” dan bukan “Pelayan Rakyat Republik Indonesia”, arogansi semacam ini akan terus berulang. Kita hanya bisa berharap, semoga logika mereka segera pulih sebelum kepercayaan rakyat benar-benar habis tak bersisa.