

Malam ini sunyi sekali. Waktu menunjukan tepat pukul 12 malam. Aku tak punya teman dan orang tuaku tak begitu peduli. Dari kamar aku menatap indahnya bulan di atas sana, namun negaraku agak bobrok untuk dikagumi, jalanan dekat rumahku tak indah dan lampu-lampu apartemen mewah mendominasi semua cahaya yang ada.
Aku juga bisa melihat anak-anak menenteng ukulele dengan wajah cemong dan tumpukan koran yang ada di genggaman anak-anak kecil. Tak cukup itu, aku juga melihat anak-anak yang kemungkinan belum menginjak sepuluh tahun menggenggam erat lem aibon di tangan kanannya.
Aku turun ke lantai satu sebelum akhirnya bergegas keluar rumah.
Aku berjalan kaki sambil menendang-nendang batu di hadapanku, tak lama kemudian aku mendengar sirine mobil polisi tepat saat berpapasan dengan anak-anak SMA yang sedang tawuran.
Polisi itu turun dari mobilnya menangkap anak-anak yang kocar-kacir, panik tak kepalang dan salah satu anak culun berkacamata yang kelihatannya tak punya pengalaman mencoba berlari lebih jauh.
Kakinya melemah sambil ia bertanya-tanya, mengapa ia melakukan ini sedari awal? Teman temannya yang lebih berpengalaman sudah lebih jauh dan ia sendiri sudah lupa bahwa temannya menitipkan ganja dan barang-barang terlarang lainnya di dalam sakunya. Ia menjerit dalam hati meminta maaf kepada ibunya, kocar kacir kebingungan sampai salah satu polisi berbadan besar mengambil alih kontrol tubuhnya.
Aku yang tak melakukan apapun juga diinterogasi. Aku santai saja. Toh, aku tak melakukan apapun. Namun tanpa alasan yang jelas salah satu polisi yang menginterogasiku menarik tangan dan membawaku ke gang kecil yang gelap, berpapasan dengan anak culun yang sedang diinterogasi.
“Ada ganjanya juga, Bang. Mantap nih disikat!” Polisi yang menggenggam tanganku erat-erat terkekeh
“Bawa yang itu ke mobil, yang ini biar gua yang ngurus,” ujarnya sambil berlagak aku melakukan sesuatu.
Aku tak melakukan kesalahan apapun. Kenapa harus diurus? di tempat gelap pula.
Setelah polisi itu pergi aku di paksa duduk lesehan di aspal keras yang mengotori celanaku.
“Kenapa di sini Pak? saya gak ngapa-ngapain. Demi Tuhan!” ujarku naif, begitu naif.
“Sssssh, jangan panggil Pak. Panggil Dewa saja.”
Tangannya membelai-belai rambutku, perlahan pindah ke leher lalu pahaku.
“Masih 14 tahun, ya? Badannya udah kaya orang dewasa.”
Dia terkekeh. Keparat! Anjing! Aku ingin berteriak tapi tak ada satupun suara yang keluar dari tenggorokanku, bangsat.
“Lho, gak dijawab?” terkeke lagi si bejat satu ini.
“Cantik-cantik gini gak boleh keluar malam, bahaya.” dia meraih celanaku, “Boleh, ya?”
“J-jangan!”
Raut wajahnya berubah, dia merobek celanaku.
“JANGAN!”
Dia meraih pisau kecil dari sakunya dan menempelkannya ke tenggorokanku.
“Om Dewa gak mau ngerusakin leher cantik begini, jadi jangan ya! jangan teriak!”
Bejat. Anjing.
Aku sudah berpakaian, amburadul, celanaku juga seadanya. Jam 5 pagi.
Aku pingsan atau tertidur?
Aku pulang kerumah dalam keadaan pincang, kakiku sakit, perih.
Sesampainya di rumah ibuku berteriak.
“Masih muda sudah jadi lacur! Merasa hebat ya?! Prestasi besar!”
Ayah dan ibuku bertengkar kemarin, jadi kondisi rumah memang tidak baik-baik saja.
Aku kembali ke kamarku dalam keadaan tubuh yang tak suci lagi. Tak punya harga diri. Aku melepas semua bajuku lalu bermetafora di balik selimut, mengaung-ngaung pada diriku sendiri. Tubuhku merasakan sentuhannya, terus menerus, Berulang-ulang.
Tubuhku dipenuhi luka bakar dan bekas timah panas yang ditumpahkan padaku. Mengapa aku tak berteriak? Tak meminta pertolongan?
Aku memangku timah panas itu sepanjang hari, pahaku memerah, tubuhku terasa sangat besar dan wajahku terasa sangat gatal. Kelabang dan berbagai macam serangga menggerogotiku, lalat-lalat masuk melalui rongga hidungku. Kasurku mulai berjamur, membuatku menyatu dengannya, tangisku mengundang rembulan yang membelai rambut manisku, badan kotorku, wajah buruk rupaku dan badanku yang sudah tak murni lagi.
Rembulan membawaku kembali ketempat tidur lusuh itu setelah menghabiskan berjam-jam berdansa di atas sana. Aku harus pergi kesekolah dengan baju lusuh dan otak yang sudah hangus kumakan sendiri. Aku tak sempat memasak bekal dan satu-satunya hal yang aku bisa lakukan adalah lari ke sekolah. Jalanan-jalanan yang tak bisa dihargai dan menyedihkan ini, negara yang menyedihkan memproduksi remaja yang mencerminkannya, berjalan di atas jalan yang kekurangan dana membuat seragamku basah karena genangan air hujan.
“Anjing!”
Sesampainya di sekolah aku harus berdiri di depan kelas dengan seragam yang berbercak coklat, dan dipermalukan. Namun aku sudah mulai terbiasa dan tak merasa hal ini baru. Saat aku menumpuk perasaan maluku menjadi kesedihan, seorang gadis manis keluar dari salah satu kelas di hadapanku. Cantiknya. Kulitnya menyala mulus, mengalahkan seluruh wanita di sekolah ini. Baju rapi dan otak yang dibungkus rapi bak makanan mewah, dia tersenyum padaku. Manisnya.
Aku tersenyum sedikit ke arahnya, tak pantas aku di lihat mata cantiknya itu, dia berjalan … anggun sekali ke arah ruang guru. Sebelum Ibu Mawar, guru Matematika ku berjalan ke arahku, menatap ke dalam jiwaku.
“Mala, Hadeuh, seragamnya kotor melulu? telat lagi!”
“Saya jalan kaki, Bu.”
“Tetap salah, Nak. Kamu bisa gak naik kelas loh kalau kaya gitu terus.”
“Maaf, Bu.”
“Kamu tuh kalau ada masalah di rumah ya jangan di bawa ke sekolah. Ke sekolah itu semuanya sudah harus selesai, sudah siap belajar.”
Setiap kata yang diucap mengurangi satu persatu akal sehatku, dengan dua algojo berbadan besar yang sudah tergoda memukuliku sampai mati.
Sepulang sekolah aku melihat gadis cantik itu lagi, tertata rapi tubuhnya, senyumnya, etikanya, sepertinya dia akan berkumpul dengan gadis-gadis cantik lainnya.
Dan aku? Aku akan berjumpa kekasihku yang sudah lama tak berbalas senyum denganku, itu dia! wajah tampannya mulai mendekat, dia menghampiriku.
“Sayang, kok matanya lebam? Kenapa?”
“Tadi bu guru bener-bener ngeselin! Aku di suruh berdiri di depan kelas, sebel.”
“Ya udah, dari pada di simpen-simpen sebelnya nanti cerita ya? Sambil makan es krim kesukaan kamu.”
“Oke!”
Dia membawau ke tempat yang sering kita kunjungi untuk memakan es krim.
“Kemarin kenapa nangis? Aku lihat di kamera laptop kamu.”
“Ayah aku marah-marah dan nyoba bunuh aku, Ibu cuma bisa ngebuat suasana jadi makin rumit, dia hampir ngebakar rumah kita dan nyayat leherku dengan pisau. Aku nyoba teriak tapi dia malah narik kaki ku. Aku takut, takut banget.”
“Ahh… ada aku… aku di sini sekarang.”
Aku membeli dua alat tes kehamilan saat berjalan pulang karena aku merasa mual dan mengingat apa yang Om Dewa lakukan tak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa aku hamil!
DEWA ANJING! BAJINGAN! KEPARAT!
Aku dikurung di dalam kamarku semalaman. Rembulan tak ingin membawaku pergi, tak ingin mengajak anak sepertiku berdansa lagi.
Aku bergegas ke kamar mandi dan memasukkan kepalaku ke dalam air, dalam, sedalam mungkin. Aku terbangun dengan Ibu yang melihat alat kehamilan itu. Anjing! Anjing! Anjing! Cobaan macam apa lagi ini, Babi?!
“Sama siapa?!”
“Mala dipaksa, Ma.”
“Dipaksa? Dipaksa tapi suka kan? Gak mungkin enggak! Dasar lacur!”
Ibuku berteriak dan mulai melempar barang-barang di rumah.
“Anakku lacur! Anakku lacur!”
“Ma, udah Ma.”
Ibuku tantrum, mengundang tetangga datang, aku di bawa ke rumah pak RT, aku menceritakan sejujur-jujurnya.
“Ya sudah, siapapun ayahnya, jangan digugurkan ya!”
“Tapi, Pak. Saya masih sekolah, lho”
“Delapan bulan saja. ini bayi, lho, nyawa.”
Aku tak bisa berbuat apa apa.
Aku menghampiri kekasih ku di malam hari, dia tersenyum bahagia
“Sayang, aku hamil.”
Senyumnya menghilang mengira aku berselingkuh
“Tak, aku tak selingkuh.”
“Terus itu jabang bayi dateng darimana, Anjing?!”
“Sayang, aku dipaksa, kita masih bareng-bareng kan?”
“Bareng bareng? Gila lo! bunuh diri aja sana, Anjing. Lonte!”
Sekarang hidupku bergantung pada 5 tahap.
(1) Aku berbaring di ranjang kamarku, merasakan akar-akar itu mencengkram rahimku. Dan kacang-kacang itu mulai tumbuh, sakit, jijik, perut ku baru saja membuat permukiman baru yang akan menggerogoti organ-organ ku. Aku hanya menangis sekarang, sedikit demi sedikit.
(2) Batang daun mulai tumbuh, ibuku di rumah sakit jiwa sekarang, dan apa yang di ucapkan kekasih ku merusak jiwa ragaku, mencabik-cabik empatiku.
(3)Lalu mekarlah hal-hal memalukan yang kusimpan di dalam kesedihanku. Aku tak baik-baik saja. Akar-akar itu menguat, mencengkram hebat perutku dan menggerogoti organ tubuhku. Lambat laun serbuk-serbuk sari itu pindah ke kepala putik lalu menyadarkan ku bahwa tak hanya tahap ketahap aku tersiksa tapi seumur hidup! Aku harus mengurusnya, menyusuinya dan dipaksa menikah dengan orang asing agar anak ku mempunyai ayah.
(4) Tahap ini menyekik ku namun,
(5) Tahap kelima meremas paru-paruku.
Aku mendorong anak itu keluar. Aku setengah telanjang di hadapan banyak orang, seperti pelacur. Anakku lahir prematur, jabang bayi itu lahir prematur.
Saat ia keluar aku muntah habis-habisan, itu baru saja keluar dari tubuhku. Itu … barang? manusia? An… Anak? Itu …
Badanku tak pernah merasa semenjijikan ini. Rasanya seperti ada ‘itu’ lagi yang harus keluar melalui mulutku. Tak perlu menunggu lama lagi untuk aku diperbolehkan pulang dari rumah sakit.
Aku meratapi jabang bayi itu di atas kasurnya, mereka ulang kata-kata yang kudengar dari semua orang saat aku mengandung jabang bayi itu.
“Bagaimana masa depan bayinya?”
“Dia tidak tahu apapun. Tak pantas dibunuh.”
“Dia juga manusia, punya nyawa, menggugurkannya sama saja membunuh.”
Sekarang, hari Kamis pukul 18.40 petang, aku membawa bayi itu ke hutan. Menaruhnya di bawah lalu mengayunkan kapakku, membelah dua jabang bayi itu.
“INI TENTANG MASA DEPANKU! BUKAN MASA DEPANMU!”
Aku ingin mengembalikannya ke dalam perutku!
Aku melihat otaknya, dia pasti mencurinya dariku!
Aku mencakup dua otaknya dengan dua tanganku lalu menikmatinya. Aku akan menjadi pintar dengan ini dan Ibu Mawar akan memuja-mujaku seperti yang ia lakukan kepada gadis cantik itu.
Aku kenyang dan kembali ke rumah. Perutku gatal, lidahku terasa tak nyaman. Aku baru saja memakan manusia, Memakan bayi. Aku berdiri di depan kaca kamar mandi ku, betapa menjiijikannya diriku, aku meraih pemutih pakaian dan meneguknya untuk membersihkan gigiku dan lidahku, perutku sangat tak nyaman, gatal, terasa sangat janggal.
Aku menyayat perutku untuk mengeluarkan otak yang aku makan sebelum di jemput rembulan selamanya.
Aku sempat mendengar jeritan warga. Betapa bahagianya mereka mendapatkan tubuh tanpa otak dan darah untuk jamuan makan malam.