Drakula di Tengah Bencana

Yang lebih mengerikan pasca bencana adalah penyelenggara negara yang justru lebih sibuk pencitraan.

6 April 2009, gempa bermagnitudo 6.3 mengguncang L’Aquila, sebuah kota di bagian timur Italia. Gempa itu lebih dari cukup untuk meluluh lantakkan banyak bangunan, melumpuhkan mobilitas warga, bahkan menghilangkan lebih dari 300 nyawa. Kota pegunungan yang indah dengan arsitektur khas medieval tersebut hancur seketika.

Anehnya, pemangku kebijakan setempat tampak gugup. Padahal, Italia merupakan negara paling rentan bencana alam di Uni Eropa karena posisi geologisnya yang berada di antara dua lempeng tektonik. Selain gempa, tanah longsor dan banjir juga lazim terjadi di negara pizza itu.

Alih-alih melakukan penanganan, Perdana Menteri Silvio Berlusconi malah menjadikan gempa itu untuk bersolek. Ibarat tutup ketemu panci, Berlusconi sedang diperiksa terkait kasus korupsi, relasinya dengan mafia, hingga prostitusi anak di bawah umur. Bencana ini pun jadi “momentum baik” Berlusconi demi meraih simpati.

Situasi macam ini membuat seorang humoris jengah. Komedian bernama Sabina Guzzanti segera menggubah sebuah film dokumenter satire berjudul Draquila – L’Italia che (Draquila – Italy Trembles). Sempat diputar di Cannes Film Festival 2010, di tahun yang sama Berlusconi memboikotnya.

Kenapa? Ya apa lagi kalau bukan karena mengungkap inkompetensi penyelenggara negara.

Mengutip tulisan profesor New York University, Noelle Molé Liston, berjudul “Disaster Humor in an Age of Truth-Bending Politics” (dalam The Politics of Joking: Anthropological Engagements, 2018, h.21-33), di film itu, Berlusconi dihabisi.

Sang karakter utama digambarkan sebagai drakula, makhluk mitologis pengisap darah manusia. Akan tetapi, Berlusconi bukan drakula ecek-ecek. Ia varian yang tega “menyedot darah” orang yang sedang dalam kondisi susah—demi keuntungan pribadinya lagi.

Red flag pertama Berlusconi terlihat dari strateginya merelokasi warga L’Aquila. Setelah beberapa saat mengungsi di tenda, mereka dipindahkan ke area “kota baru”—ada yang menyebut kawasan itu sebagai “Perumahan Berlusconi”. Masalahnya, daerah itu tidak cuma terpinggirkan, tetapi juga bersifat semi-permanen.

Hal tersebut kontradiktif dengan apa yang Berlusconi gembor-gemborkan saat pidato di depan warga terdampak. Omongannya diheroik-heroikkan demi tepuk tangan dan sanjungan. Realisasinya, ya tentu omon-omon saja. Seperti siapa? Sila jawab dalam hati.

Tak berhenti di sana, gempa ini juga ia jadikan karpet merah pada korporasi. L’Aquila punya banyak gereja tua (dari abad ke-13), alun-alun besar (piazza), rumah-rumah kuno dari batu kapur, dan sebagainya.

Semua area tersebut termasuk cagar budaya, dan maka dari itu, hukumnya haram dibongkar. Tapi karena gempa, mall jadi bisa dimasuki. Warga protes karena prioritas pemulihan kotanya ternyata bukan bertuju pada pemukiman permanen warga, melainkan pusat perbelanjaan modern.

Bahkan, dua bulan kemudian, Berlusconi masih sempat-sempatnya menjadikan kota yang baru diampiri gempa itu sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi G8 ke-35 tahun 2009. Mulanya di Sardinia. Namun tiba-tiba, PM “unik” itu memindahkannya ke L’Aquila, berdalih bentuk solidaritas sambil menjaga asa warga terus menyala.

Tentu saja itu cuma akal-akalan Berlusconi. Keputusan ini cuma political marketing dari sebuah tragedi.

Bayangkan, ketika undangan G8 pulang ke negaranya masing-masing membawa oleh-oleh barang mewah macam parfum Bulgari dan produk kulit premium Italia, warga L’Aquila yang terdampak gempa masih ada yang tidur berselimut puing, gelisah belum punya rumah baru.

Italia di bawah Berlusconi lebih memilih jadi event organizer daripada memulihkan keadaan pasca bencana. Mau beramah-ramah pada orang lain, tapi kejam pada bangsanya sendiri.

Mirisnya, tidak semua warga sadar akan hal ini. Dengan sedikit bujuk rayu saja, orang-orang lupa akan bengisnya Berlusconi.

Pintarnya dia begini: di dalam rumah-rumah semi permanen itu, ia menaruh sebotol wine hingga mesin kopi. Beberapa yang menangkap umpan itu bilang katanya “ingin mengajak Bapak Perdana Menteri ngopi-ngopi atau nge-wine santai.”

Untung, drakula yang sibuk pencitraan dan full-gimmick di tengah bencana ini cuma ada di Eropa. Cuma ada di Eropa.

Author

  • Ulwan Fakhri

    Peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) dan pionir Certified Humor Professional AATH di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like