Bencana Banjir Sumatra: Bukti Pemerintah Hanya Memikirkan Jakarta

Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di tiga provinsi di Sumatra yaitu Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat belakangan hari ini, bukan saja disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan siklon tropis Senyar. Tetapi tentu saja juga merupakan dampak negatif dari tingkah manusia sendiri yang membabat hutan dan menggantikannya dengan kebun sawit atau pertambangan. Padahal harusnya wilayah hutan yang ditebang itu bisa menjadi wilayah serapan air. Namun karena wilayah resapannya hilang maka air itu hanya berjalan dipermukaan tanah, menyebabkan banjir dan longsor.

Deforestasi wilayah hutan Sumatra memamng sangat mencengangkan, kalau tidak mau dibilang kebangetan, mengutip data dari Dataloka wilayah hutan Sumatra yang terdeforestasi pada 2024 sajaa sebanya 78.030,6 Ha.

Mengutip dari Tempo, tercatat 300 korban meninggal dan lebih dari 200 orang masih hilang. Sementara puluhan ribu orang mengungsi hingga Ahad, 30 November 2025. Menambahkan data dari Kata Data jumlah rumah rusak berat mencapai 2,400 , rumah rusak sedang 1.800, rumah rusak ringan 3.700 dan fasilitas didik rusak sebanyak 43.

Dengan jumlah data korban dari bencana banjir bandang yang semasif ini, maka sangat mengherankan apabila Presiden Prabowo Subianto belum juga menetapkannya sebagai bencana nasional.

Dengan ditetapkan sebagai bencana nasional bukan cuma sebuah pengakuan atas besar dampak negatif yang masyarakat terdampak, tetapi bantuan yang diterima pun akan berbeda. sebab begitu masuk sebagai bencana nasional maka pihak pemerintah pusatlah, yang punya dana dan fasilitas lebih baik, yang bertanggung jawab. Maka diharapkan pertolongan kepada masyarakat terdampak bencana jadi makin cepat.

Gara-gara lambannya  turun bantuan, masyarakat pun jadi melakukan penjarahan terhadap beberapa gerai mini market dan gudang logistik. Mengapa begitu lambat? Padahal menetapkan kenaikan tunjangan atau mengesahkan RUU KUHP cepat banget. Ironisnya dampak kerusakan lingkungan memang begitu cepat sampai ke masyarakat kecil, sementara yang menikmati hasil alam Sumatra sedang asyik bersantai di suatu apartemennya di Jakarta yang nyaman dan ber-AC.

Anehnya, pejabat di negeri kita ini sudah tidak ketulungan. Bukan lagi mengesahkan aturan yang buruk dengan malu-malu, tapi sudah pada tahap bicara keliru dengan percaya diri. Entah setebal apa daki di kulit mukanya sampai-sampai ada orang yang megaku ulama tapi meremehkan terhadap upaya konservasi alam dan malah menyebut orang-orang itu dengan sebutan wahabi lingkungan. Mentri kehutanan main domino bareng tersangka pembalak liar. Semantara di pucuk pimpinan juga tak percaya dengan dampak negatif dampak deforestasi, dan malah terus menggalakan penanaman sawit, dan saat terjadi bencana ia meminta guru untuk menambahkan pelajaran pendidikan lingkungan di sekolah-sekolah. Ngaco, kan?

 

Jakarta-sentris dan Cara Pandang yang Menihilkan Bencana di Daerah

Ada satu pola lama yang tak pernah benar-benar dihentikan: cara berpikir Jakarta-sentris dalam membaca tragedi yang terjadi di luar pusat kekuasaan. You pasti tahu sesuatu baru bisa dikatakan bencana apabila ia masuk radius Monas dan/atau Senayan saja. Selama banjir bandang dan longsor terjadi “di luar sana”, bencana itu tentu gak pernah bisa disebut darurat apa pun alasannya, karena tentu saja, semuanya harus tentang Jakarta.

Dipikir-pikir, menteri-menteri dan orang-orang pusat ini mirip dengan kakak-kakak baru alumni yang selalu membicarakan kota universitasnya,

“Di Jakarta, mah…”

“Di Bandung, mah…”

“Di sini, mah…”

Ya iya, sih. Bahkan untuk mall yang jelas-jelas di Karawang saja, developer memajang billboard dengan subjudul: East Jakarta. Wah! Aku bukan Jakartans!

Kita hidup dalam negara yang pusat pemerintahannya terlalu terbiasa menjadi pusat empati. Ketika korban sudah tembus ratusan, akses jalan terisolir, internet mati, dan ribuan rumah hancur, pejabat di Jakarta seperti Verrell Bramasta masih sibuk dangdan pakai rompi supaya terlihat gamtenk.

Di sinilah letak asyiknya. Ketika “pusat” melihat Sumatra sebagai “wilayah penghasil komoditas” ketimbang “ruang hidup jutaan warga dan ribuan spesies,” maka yang diutamakan tentu saja stabilitas ekonomi, bukan keselamatan masyarakat Sumatra.

“Apa itu masyarakat Sumatra?! Jakarta dong!” mungkin begitu lah pemerintah

Di Senayan, bencana di Sumatra ya biasa saja, lah. Cuaca saja lah itu bukan peringatan. Padahal kan tentu saja, selain angin, hujan pun tak punya KTP. Sungguh tidak bisa membayangkan ekspresi Tan Malaka.

Kausalitas Ekologis

Ada kecenderungan di Indonesia untuk memperlakukan bencana sebagai takdir dan kuasa Allah, bukan akibat pemrentah. Sama seperti kecenderungan menganggap penyakit mental adalah akibat kurang salat.

Dalam ilmu lingkungan, setiap bencana selalu punya rantai sebab yang jelas. Hujan betapapun derasnya hanya menjadi pemicu. Penyebab utamanya tetap pada degradasi ekologis yang diakibatkan oleh tidak tersedianya resapan. As simple as that, yea!

Hutan Sumatra padahal dikenal sebagai Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TRHS) dengan kemampuan menyimpan karbon dan mengunci air tanah.

With being disrespectful, yang bahkan ketika pohon-pohon besar tertebang dipotong sengaja, yang hilang bukan cuma satu-dua batang kayu, tetapi seluruh sistem kehidupan pohon itu sendiri: daun-daunnya yang nahan hujan, akar yang menyerap air dari tanah, lumut dan mikroba yang juga turut menjaga kelembapan. Ingat, ya! Dalam satu pohon itu kan banyak yang bisa hidup di sana!

Hilangnya lapisan-lapisan ini membuat air turun seketika menjadi seperti air-air yang jatuh dari pipa ke koco-koco di perumahan subsidi seperti rumah Minpang. Hujan dikit, banjir.  Konsekuensinya secara langsung bisa ditelan masyarakat luar Jakarta lagi, termasuk gajah-gajah dan harimau-harimau. Menanamnya butuh ratusan tahun, dan hancurnya dalam satu-dua hari hujan saja.

 

Menyoal Kematian Flora dan Fauna Sumatra

Ketika hutan Sumatra terpotong ditebang sengaja, bukan cuma tanah yang kepadatannya rusak, dong. Flora dan fauna yang bergantung pada ekosistem itu tentu akan sulit juga punya rumah lagi. Maka gak heran banyak harimau atau gajah yang masuk pemukiman ya karena itu sudah jalurnya mereka 🙁

Dan ingat, ya! Hewan itu kan terpola! Kalau kau bikin rumah lalu tiba-tiba ada harimau, ya berarti kau bangun rumah di atas jalan harimau!

Selama ini, Minpang rasa banyak orang membayangkan deforestasi hanya soal hilangnya pepohonan padahal itu juga berarti hilangnya ruang hidup bagi ribuan spesies. Sumatra adalah rumah bagi beberapa spesies kunci yang keberadaannya menentukan keseimbangan ekologis. Jika satu spesies punah, seluruh rantai kehidupan bakal seketika berantakan.

Setiap hektar hutan yang hilang berarti satu jalur migrasi gajah yang terputus dan satu jalur berburu harimau yang lenyap. Jika kedua satwa ini punah, Sumatra tidak hanya kehilangan biodiversitas, tetapi kehilangan jantung ekologisnya, sebab Minpang percaya hutan tanpa satwa adalah hutan yang sakit.

Aduh, udah gak kuat sedihnya kalau membicarakan soal hewan.

 

Kesimpulan 

Aksi solidaritas dan donasian, yuk?!

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like