

Pada awal-awal saya membaca ini, saya langsung merasa buku ini dekat dengan saya. Namun semakin dibaca, buku ini justru semakin berjarak. Membacanya seperti mencintai/menjalankan hubungan beda kelas sosyel. Ah! Dikit-dikit kelas sosyel, dikit-dikit kelas sosyel Padahal kan klasifikasi semacam itu juga yang bikin masyarakat merasa dikotak-kotakkan *Arini menggugat dirinya sendiri*
Buku ini merupakan esai-naratif yang ditulis oleh Audrey, seorang jenius yang lulus S1 Fisika di usia 16 tahun, daaan punya banyak penghargaan.
Jujurly, ketika saya membacanya, saya merasa sedang membaca buku harian Sheldon versi zodiak Cancer.
Namun, pada hal “kesepian” “merasa selalu tidak sama” “tidak punya teman sepemahaman”, dan “negara ini tak pernah adil” saya merasa dekat sekali. Namun, tak jarang dalam beberapa hal lain seperti:
Tentu saja saya merasa semakin kasihan sama diri saya sendiri.
Siapa pun pasti setuju kalau dibilang struktur sosial kita sudah lama bengkok dengan pendidikan yang timpang, akses yang cuma bisa didapat sama itu-itu saja, kesempatan yang diwariskan, sampai budaya “Kamu keponakannya siapa?” setiap ada karyawan baru di kantor kita.
Kalau bisa berlagak sok-sok filosofis dan analogical, saya ingin sekali mengatakan: betapa hidup mirip sekali dengan berkendara di jalan raya. Semua orang berjalan dari titik start yang berbeda, dengan tujuan yang berbeda. Sesekali menyalip dan disalip, kemudian menemui lampu merah, jalan berlubang, harus isi bensin, dan lain segala macam. Ada yang tinggal duduk nyaman di dalam mobil suspensi tinggi yang kebal gajlugan, ada juga yang menyelah mio hijau yang doyan mogok seperti saya. Heu. Di situ lah letak asyiknya meren.
Kelas sosial juga secara langsung menentukan sejauh apa “keresahan” seseorang boleh dilakukan dan masih dianggap wajar. Seseorang dari kalangan kelas atas mungkin akan dengan mudah mengakses psikolog atau psikiater dan mendapatkan pengobatan sesuai dengan kebutuhannya. Dari kelas menengah ke bawah yang gak punya akses kesehatan mental itu akhirnya menjadi apa yang disebut “orang gila” dan masuk ke konten YouTube para “kreator sosial” seperti Teh Novi.
Saya ingat betul, waktu itu saya memulai hidup sehat dengan selalu memakan buah bit rebus, menahan diri untuk tidak makan daging-dagingan dan ayam chicken, dan menghindari minuman penuh gula alias air putih saja. Ketika saya dari kalangan kelas menengah ke bawah ini melakukannya, hal itu dianggap wajar. Tapi ketika staff lain dari ras yang berbeda dengan saya dan tentu dari kelas sosial kelas atas melakukan hal yang sama, maka hal itu dianggap “rendah hati” “sederhana” lengkap dengan kalimat,
“Sehat sekali pola hidupnya.”
Sungguh membagongkan kadang. Sebab tentu butuh ruang aman, butuh keluarga yang mengerti dan terbuka terhadap wacana kesehatan mental, butuh juga lingkungan yang tidak menganggap kita kurang ibadah, dan Audrey punya itu. Banyak dari kita tidak (atau setidaknya saya saja).
Jika kau jenius dari kelas atas, keanehanmu dianggap potensi. Kamu bakal dicarikan solusinya: dibawa konsultasi ke psikiater terbaik, sekolah alternatif dengan SPP yang beratus-ratus juta, kelas khusus, atau apa pun lah yang membuatmu tetap menjadi manusia.
Bandingkan kalau kau jenius dari kelas bawah, bahkan pertanyaanmu saja dianggap masalah. Kamu bakal dimarahi guru, dicurigai tetangga, dianggap tidak sopan dan tidak tahu aturan. Kamu tentu gak akan ditanya “Kamu butuh apa?” tapi “Kamu tuh kenapa sih gak kaya orang normal?!”
Dan ya, fakta menyedihkannya adalah ruang aman itu tidak pernah tersedia untuk kita. Bisa jadi dan saya yakin betul alasannya adalah seluruh energi keluarga sudah dicurahkan untuk bertahan hidup, bukan untuk memahami diri kita.
Kita dituntut harus selalu sehat di negara yang pejabatnya berpenyakit mental secara berjamaah.
Inilah perbedaan yang sangat kentara di buku Terobsesi Bungkus Lupa akan Isi, yang membuat saya kurang lebih menggigit-gigit jari saya sendiri. Sebab ternyata, kelas sosial menentukan siapa yang boleh resign karena tidak tahan melihat ketidakadilan bahkan dalam waktu satu hari bekerja.
Kita? Betapa pun sakit itu kita rasakan, tentu harus pura-pura kuat karena dapur harus tetap ngebul. Da enya atuh anjir amun urang mah meureun geus ditincak-tincak ge hayu weh kudu tahan da butuh.
Kelas sosial mengatur sekeras apa kita harus pura-pura baik-baik saja, karena maaf ya, orang kismin (seperti saya) tidak boleh sekali saja menangis sebelum kembali membohongi diri.
Makanya perasaan saya membaca kisah Audrey itu cukup aneh sebenarnya, saya merasa dekat sekaligus jauh. Dekat di bagian keresahan dan overthinking, jauh di bagian solusi.
Di negara yang lebih mencintai “bungkus” daripada “isi”, kelas sosial adalah jurang pembatas terbesar yang menutupi segalanya. Saya rasa, itulah mengapa jenius dari kelas atas seperti Audrey bisa punya panggung dan “tetap” menjadi manusia. Tentu saja karena hidupnya seberuntung itu jika dibandingkan dengan kita (atau setidaknya saya).
Tanpa menihilkan semua perjuangan Audrey sendiri, tentu saja menghadapi fakta ini rasanya menyakitkan.
Tentu tak adil apabila saya terus-terusan membicarakan atau mengotak ngotakkan manusia berdasarkan kemampuan finansialnya, tapi hal yang dialami Audrey menjadi sangat “unik” apabila saya teruskan melalui kacamata saya sebagai masyarakat kelas bawah-menengah. Misalnya,
Saya yakin, ada banyak orang jenius yang tidak seberuntung Audrey. Audrey bahkan memiliki Bapak yang mengerti kebutuhannya dan membawanya ke pakar-pakar, lho. Demi menjaga mentalnya, Audrey yang tidak tahan mendengar Mama yang setiap hari mengeluhkan bungkus luarnya pun memohon izin Papanya untuk tinggal di rumah sendiri.
Betapa beruntung Audrey tidak perlu ngekos atau menahan diri menangis karena tidak sekamar dan tidur berjejal dengan saudara-saudaranya.
Audrey membahas seorang dengan penyakit mental yang kemudian sukses di sana dan di sini. Orang jenius kelas atas akan menjadi Audrey, jenius dari kelas bawah, mungkin akan berakhir menjadi tidak berdaya, mengurung kemampuannya untuk menjadi buruh pabrik. dan yang terparah: membunuh dirinya sendiri.
Ya, biar bagaimana, Audrey adalah gambaran ideal tentang bagaimana seorang anak “berbeda” bisa diselamatkan bila lahir di kelas yang tepat, dan saya akan kembali mencak-mencak, bahkan lebih kencang setelah membaca buku ini. Menyebalkan sekali.
Terakhir, saya akan menutup tulisan ini dengan mengutip puisi Aan Mansyur,
Lihatlah tanda tanya itu, jurang antara kelas sosial atas dan menengah-bawah, dan kebodohanku menganggap semuanya bisa punya kesempatan yang sama.