Di Batas Patah Hati

Saat pulang kerja, Arimbi melihat awan mendung bagai perut keledai.

Angin berhembus kencang menggoyang nyiur, dan udara turun mengusir panas yang akrab dengan kota ini. Arimbi berjalan melewati gerbang dan bertegur sapa dengan seorang satpam berperut luncai. Hari ini Arimbi tak membawa kendaraan jadi terpaksa ia mesti menunggu bis di halte.

Setiba di halte hujan turun amat deras. Arimbi memeluk dirinya sendiri, mencoba mengurangi gigitan dingin. Menyesal juga ia tidak mendengar nasihat ibunya tadi pagi untuk membawa pakaian hangat.

Terjebak hujan seperti ini, Arimbi tersihir seketika, kota yang selalu ia kutuk karena cuaca panasnya ini sekejap berubah jadi pemandangan dalam film-film Ghibli. Cahaya dari kendaraan yang lewat memantul di permukaan aspal yang basah, alir air di pinggir jalan membawa serta daun-daun layu dari pohon trembesi, Arimbi terpaku memandangi tetes-tetes air yang jatuh dari atap halte, tanpa sadar Arimbi mulai bersenandung.

Segalanya seperti mimpi

kujalani hidup sendiri

andai waktu berganti

aku tetap takan berubah

Aku selalu bahagia

saat hujan turun

karena aku dapat mengenangmu

untukku sendiri

Arimbi menyenandungkan lagu itu sampai selesai. Ia memang menyukai musik, tapi ia amat membenci suara-suara kencang.

Baginya mendengarkan musik lewat ponsel atau menyanyikannya tanpa instrumen musik saja sudah cukup. Saat kepalanya sedang memilih lagu untuk ia nyanyikan lagi, Arimbi terkejut oleh suara tepuk tangan dari sisinya. Arimbi bergeser dan memandangi asal suara tepuk tangan itu. Ternyata asalnya dari seorang pria, pria yang tampan dan gagah.

“Suaranya bagus. Berminat jadi vokalis gak?” tanya pria itu.

Arimbi membisu sesaat, terpana oleh ketampanan pria di hadapannya. Wajah pria itu agak mirip dengan aktor Guntur Triyoga.

Arimbi menjawab pertanyaan itu dengan menggeleng.

“Eh, kenalin nama aku Gani Pazini.”

“Aku Arimbi Putri.”

Mereka berjabat tangan, merasakan percikan-percikan asmara bersama. Perlahan canggung di antara mereka menguap, percakapan mengalir menyusuri masa kecil, masa remaja, hobi, pekerjaan hingga keluarga. Arimbi menginginkan pria itu.

————————

Seminggu setelah perkenalan di bawah guyuran hujan itu, hubungan mereka makin dekat. Gani telah mengajak Arimbi ke tempat kerjanya, menceritakan asalnya dari Makasar, menceritakan kisah cintanya yang gagal, dan banyak hal lainnya. Meskipun ada satu hal yang Gani sembunyikan dari Arimbi.

Arimbi mengajak Gani memasuki dunianya. Pekerjaannya sebagai teller Bank, kesenangannya melukis, kegiatannya dalam bidang sosial, menemui keluarganya, dan memperkenalkan tempat-tempat menarik di kotanya pada perantau tampan itu.

Hari ini Arimbi mengajak Gani pergi ke suatu tempat, meskipun sedari awal Gani sudah bertanya, namun Arimbi tetap tak mau menjawab.

Saat tiba di sebuah rumah di pinggiran kota yang penuh bunga-bunga, Gani dan Arimbi mendengar tangisan perempuan kencang dari dalam rumah itu. Raut wajah Gani nampak cemas, sementara Arimbi segera lari memasuki rumah. Suara perempuan menangis itu amat mengganggu perasaan Gani. Ada suatu resah dari masa lalu yang segera meremas-remas hatinya. Dengan langkah amat pelan Gani memasuki rumah itu yang di pinggir pintunya terdapat sebuah plang: Rumah Pelindung Perempuan.

Begitu melihat asal suara tangisan itu, Gani terhenyak. Air mata perempuan itu begitu deras mengalir dan wajahnya adalah sekumpulan derita. Dari mulutnya keluar kata-kata yang meski tergagap-gagap, namun dapat ia pahami seutuhnya.

“A—A——A——KU—— DI—PER—KO—SA—.”

Tak terasa air mata Gani pun mengalir, mengucur sama derasnya dengan si korban pemerkosaan. Ingatan masa lalu mendatanginya sebagai rajam. Ia sungguh menyesal.

Setelah kejadian itu hubungan keduanya menjadi agak renggang. Gani yang semula selalu memancarkan keceriaan yang hangat, kini berubah menjadi murung. Ia banyak diam ketika Arimbi mengajaknya bicara, semangat hidupnya merosot tajam, perubahan ini membuat Arimbi gusar.

“Kamu kenapa? Ada masalah? Cerita sama aku! Kamu bisa percaya sama aku. Kalaupun aku gak bisa kasih solusi setidaknya aku bisa bikin perasaanmu lega.”

Tak ada jawaban. Gani tetep diam, hidangan di depannya tak ia pegang sama sekali.

Arimbi tetap sabar. Ia yakin pada waktunya Gani pasti akan cerita.

“Kita pulang aja, yuk!” ajak Gani.

“Ayok!” Jawab Arimbi dengan ceria.

Di perjalanan saat menyetir mobilnya Gani tetap diam saja, Arimbi sesekali mengajaknya bicara. Meskipun diamnya Gani terasa sungguh menjengkelkan, namun Arimbi tak ingin memperbesar masalah itu. Ia tetap pada kepercayaannya semula: pada waktunya Gani pasti bakal cerita.

Dan nampaknya waktunya itu tiba pada saat Gani menghentikan mobilnya di rumah Arimbi.

“Aku mau cerita sama kamu,” kata-kata itu terasa penuh ketegangan.

Arimbi batal membuka pintu mobil. Ia menyiapkan diri untuk mendengar cerita pria yang ia sukai ini.

“Setelah mendengar cerita ini mungkin kamu akan membenciku, mungkin kamu bakal melihatku sebagai najis,”

Air mata kembali mengucur deras, kesedihan nampak kentara di air mukanya, “alasanku pergi dari Makasar sebenarnya bukan untuk bekerja.” Gani menghentikan kalimatnya dan menatap mata Arimbi tajam, “Di Makasar aku melakukan pencabulan terhadap seorang gadis SMA, dan sebab perbuatanku gadis itu hamil tapi karena aku tidak mau bertanggung jawab maka keluargaku membayar penegak hukum agar aku bisa bebas dari jerat hukuman. Untuk mengamankan diriku aku pergi ke pulau Jawa, ke kota ini. Untuk memulai hidup baru. Kupikir semuanya bisa membaik, tapi ternyata kabar lebih buruk datang lagi. Gadis itu melakukan aborsi dan meninggal dalam prosesnya.”

Air mata Arimbi menetes tanpa ia sadari. Ia tak menyangka bahwa pria yang ia kagumi, yang ia cintai, yang selalu ia junjung tinggi, yang ia anggap malaikat ternyata melakukan tindakan seiblis itu. Persepsinya runtuh seketika. Moralitas dan rasa cintanya yang besar bertabrakan kencang. Arimbi turun dari mobil tanpa sepatah katapun. Melanjutkan tangisannya di kamar.

Usai kejadian itu mereka tak pernah bertemu lagi. Meskipun Arimbi pernah mencoba mendatangi tempat kerja Gani tapi pria itu tak ada. Dilema ini sungguh menyiksanya. Seorang pria yang memberinya harapan cinta sekaligus patah hati terdalam telah pergi tanpa kabar. Arimbi menatap awan mendung dan memanjatkan do’a untuk Gani.

Sementara itu, Gani berpindah ke ujung lain pulau Jawa, bekerja di tempat saudaranya mengelola sebuah hotel.

Meski amat menyesali perbuatannya, tapi Gani tetap saja tak berani bertanggung jawab.

Author

  • Lahir di Subang, 2 Maret 1994. Sekarang tinggal di Karawang. Seorang cowok sendu yang suka anime, suka melamun sambil memerhatikan berubahnya bentuk awan. Suka jalan-jalan sendiri~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like