

Jam 11 waktu setempat, melalui panggilan WhatsApp yang katanya tidak memberi keuntungan untuk negara itu, seorang kawan mengabarkan dengan nada histeris bahwa rekan kami dalam gerakan One Piece ditangkap oleh kepolisian di kafe miliknya. Yang mengejutkan, penangkapan itu dilakukan oleh lebih dari 15 angota kepolisian yang menurut penuturannya sudah lebih dahulu mengintai beberapa hari sebelumnya.
Saat penangkapan tanggal 3 September pagi itu, kepolisian juga melakukan penyitaan semua CCTV di kafe tersebut dan melakukan pengecekan semua handphone para karyawan yang ada di lokasi untuk memastikan tidak ada satupun dari mereka yang mendokumentasikan proses penangkapan.
Pada malam harinya, oknum (dengan nada penekanan) kepolisian kembali datang ke kafe yang memiliki usaha sampingan steam motor dan mobil itu untuk mengambil barang bukti yang disebut-sebut akan dipakai untuk aksi kerusuhan.
Tiga hari pasca penangkapan, terungkap fakta jika teman saya, yang berinisial “K,” ditahan di sel narkoba Polda Metro Jaya, dengan tuduhan sebagai bagian dari kelompok anarkis atau anarko yang memang menjadi kelompok yang sedang menjadi target operasi aparat kepolisian. Kafe miliknya juga dituduh menjadi tempat pembuatan bom molotov untuk kerusuhan di Jakarta.
Polisi membuat tuduhan berdasarkan temuan dari mereka yang ditangkap sebelumnya. Menurut polisi, pada saat “K” memberi beberapa masa aksi tempat untuk menginap di musala kafe miliknya, di situlah terjadi persengkongkolan jahat yang menganggu keamanan.
Di hadapan kawan saya yang menjadi saksi penangkapan “K” itu, polisi memang membebarkan fakta diantara beberapa peserta aksi yang menginap di tempat “K” ada seseorang berinisial RAP. RAP kini santer dikenal dengan Prof Rey, satu dari 6 tersangka awal yang ditangkap bersama Delpedro Marhaen dan Muzzammar dari Lokataru Foundation, Khariq Anhar dari Aliansi Mahasiswa Penggugat, Syahdan Husein dari Gejayan Memangil, dan Fisha seorang influencer di platform TikTok dengan tuduhan mengajarkan, membuat, dan mendistribusikan bom molotov kepada masa aksi kericuhan di depan Mako Brimob dan sekitarnya. Keenam tersangka dijabarkan peran-perannya dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya pada 2 September 2025.
Tuduhan keterlibatan pembuatan molotov bersama Prof Rey membuat “K” harus mendekam di tahanan selama 20 hari. Saat artikel ini ditulis, kepastian nasib “K” masih berada di antara bebas dengan mekanisme SP3 atau justru menjalani persidangan yang bakal menjadi situasi yang absurd mengingat reputasinya yang merupakan seorang pengusaha bukan dalang anarkisme apalagi menjadi bagian dari kelompok anarko.
Sependek pengetahuan penulis yang turut terlibat mengkoordinasi aksi secara online bersama para Nakama di gerakan One Piece, sosok “K” tidak turun pada saat aksi yang memanas meskipun dirinya bersama beberapa kawan sempat mengantar donasi makanan dan minuman untuk peserta aksi, dan mobil yang digunakan untuk mengangkut donasi itu sempat dipermasalahkan pihak kepolisian.
Selang dua hari berikutnya, giliran kawan lain berinisial “G” yang aktif di dalam gerakan mahasiswa di Universitas Pamulang yang ikut ditangkap di sekretariat organisasi front aksi mahasiswa cabang Serang, Banten. Kebetulan “G” sempat menginap di mushola kafe milik “K”. saat aksi berlangsung , rekening dan kontak “G” kebetulan menjadi penampung dan narahubung donasi untuk keperluan minum dan makanan kawan-kawan di lapangan. Pembukaan donasi dalam setiap aksi memang hal yang wajar sebagai bentuk solidaritas perjuangan yang sifatnya sukarela. Sama seperti kasus “K”, penangkapan “G ”, juga terbilang absurd karena tanpa tuduhan yang jelas serta disertai dengan penggeledahan terhadap sekretariat organsasinya.
Baik, “G” maupun “K”, detik- detik penangkapan keduanya sempat terekam CCTV serta di lokasi banyak saksi. Belakangan diketahui “G” juga ditahan di Polda Metro Jaya, berita penangkapan “G” dan “K” yang dengan cepat meluas di antara kawan-kawan yang turun aksi dalam kelompok One Piece. Sehingga membuat beberapa kawan yang sempat menginap di mushola kafe milik “K” panik, ada yang memilih bersembunyi ada pula yang melaporkan kondisinya ke Lembaga Bantuan Hukum.
Drama penangkapan “K” dan “G” maupun seseorang yang dijuluki Prof R dengan inisial “RAP” itu menambah panjang daftar tangkapan yang sudah dilakukan pihak kepolisian pasca aksi berujung kerusuhan di Jakarta antara tanggal 25 Agustus sampai 1 September 2025 itu.
Entah terbukti atau tidaknya mereka dalam kerusuhan itu masih menjadi tanda tanya, namun di tengah situasi penegakan hukum yang sarat manipulasi, represi, dan kriminalisasi potensi untuk membuat mereka yang tidak bersalah menjadi salah sangat besar. Belum lagi ada selentingan intrik seputar “tukar kepala“ yang modus operandinya menukar tersangka dengan orang lain yang belum tentu bersalah.
Apalagi banyak dari massa aksi yang ditangkap dikabarkan tidak mendapatkan akses bantuan hukum yang memadai. Yang dikhawatirkan, semua massa aksi yang masih ditahan itu berpotensi dikenakan tiga pasal yang menjerat 6 terduga tersangka awal yaitu Pasal 160 KUHP tentang penghasutan; Pasal 87 Juncto Pasal 76 H Juncto Pasal 15 Undang-Undang Perlindungan Anak , atau Pasal 45 A ayat 3 Juncto Pasal 28 Ayat 3 Undang-Undang ITE.
Presisi yang menjadi citra yang dibangun Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang katanya harus memenuhi sifat-sifat (bukan) kenabian seperti prediktif, responsibilitas, dan transparansi yang berkeadilan untuk meningkatkan efektivitas, profesionalisme, dan pelayanan kepolisian kepada masyarakat itu sudah tercoreng selama dan sebelum aksi yang disebut Agustus Kelabu itu yang menyebabkan korban jiwa dan luka-luka.
Yang viral tentu saja penabrakan Affan Kurniawan, seorang ojol di Pajempongan, Jakarta yang disusul dengan serangkaian tindakan represif lainnya yang berujung pada jatuhnya korban dari massa aksi.
Ada peserta aksi yang sampai retak tulang kepala sebab di lempar helm oleh polisi, mata yang merah terkena gas air mata kadaluarsa, sampai beberapa massa aksi perempuan yang ikut terluka akibat tindakan berlebihan dari pihak kepolisian.
Jika penangkapan terhadap kawan “K” dan “G” atau mereka yang lainnya sudah sangat presisi sebagaimana sifat kepolisian itu, maka saya rasa perlu ada upaya–upaya perlindungan terhadap hak asasi manusia dari mereka yang ditangkap termasuk untuk tidak merepresi mereka yang menjadi saksi penangkapan.
Kejelasan terkait kondisi dan tempat mereka yang ditangkap seyogyanya perlu diterangkan kepada pihak keluarga termasuk tentang prosedur penangkapannya yang juga perlu diperjelas. Kepolisian juga tidak berhak untuk menghalang-halangi akses bantuan hukum dari LBH maupun gerakan sipil lainnya, karena jika tindakan ini berlaku artinya presisi sebenarnya salah arah, yang ada justru represi.