Menangani Patah Hati

Selasa itu, aku mengenakan baju tempur karena itu adalah hari perangku. Entah perang antara hari baik atau hari buruk atau apa, ya? Yang pasti ada sebuah peperangan karena pikiran dan hatiku yang terus saling menyerang dengan tanda tanya.

Mereka bertarung satu sama lain memperebutkan rasa frustasi. Aneh, kan?

Semacam monster yang akan menerkam dan mematikan syaraf dan urat nadiku. Mengacaukan semua cita dan angan yang aku gantung sedemikian rupa hingga menjadi gelap dan tak beraturan. Itulah yang terjadi hari itu.

Pagi-pagi di hari itu, hujan sudah mulai reda dan seharusnya disambut perasaan semangat yang menggebu. Ibuku memulai percakapan pukul delapan pagi kalau tidak salah. Ibuku memulai pembicaraan dengan bertanya dan menyinggung perihal hubunganku bersama lelaki yang sebut saja namanya Di.

Di, kurang lebih empat tahun aku bersamanya. Dia teman baikku. Ia hanya seorang manusia biasa, tidak lebih dan tidak kurang. Tidak ada yang harus dibanggakan atau disembunyikan. Biasa saja. Jujur saja, sedari awal hubungan kami memang penuh tantangan rasanya, dimulai dari teman Di yang bernama Cio. Cio seorang pemahat.

Di dan Cio teman dekat, bahkan Cio bercerita pada Di soal perasaannya padaku. Namun, anehnya aku sendiri malah memilih Di dan menjalin hubungan dengannya tanpa sepengetahuan Cio.

Lambat-laun, Cio akhirnya mengetahui hubunganku dengan Di. Mau bagaimana pun juga kami berdua masih bersama meskipun pada prosesnya tidaklah mudah. Setiap hari adalah pertarunganku dengannya ya seperti yang terjadi hari itu.

Mataku sembab dan bengkak ketika bangun pagi. Aku sendiri pernah berpikir keras, apakah aku memanglah orang yang tulus atau bodoh? Sebab katanya tulus dan bodoh itu beda tipis. Namun, bukankah aku ini manusia yang menjelma menjadi gadis yang kuat? Kuat diterpa badai sejak dalam kandungan Ibu. Tetapi, memanglah benar. Aku kuat atas kehendak Tuhan dan doa yang mesra dari Ibuku. Aku bahkan tidak tahu, apakah aku memang benar-benar seorang pemikir atau pemikir yang bodoh saja.

Aku pernah baca tulisan yang muncul di layar gawaiku yang katanya ini menurut pandangan akun IG psikologi, begini bunyinya: bahkan kau juga mungkin pernah sama-sama turut membaca,

Jika seorang wanita menangisi hal kecil atau dikit-dikit nangis, berarti dia polos dan berhati lembut. Jika seorang wanita suka ngambek atau mudah marah karena hal sepele berarti ia membutuhkan kasih sayang. Namun jika seorang Wanita selalu egois, keras kepala dan sulit dimengerti berarti dia membutuhkan perhatian kecil.

Nah, aku adalah seorang wanita yang pertama. Cengengnya minta ampun! Tapi, menurut Maulana Jalaludin Rumi,

“Air mata juga sebuah doa. Ia berjalan kepada Tuhan ketika kau tidak menemukan sepatah katapun.”

Setelah panjang-lebar menceritakannya pada Ibu, Ibuku mengatakan yang benar-benar aku hindari. Ia menyarankan untuk berhenti dan memutuskannya. Bagaimana rasanya jadi aku? Tubuhku lemas dan air mata yang langsung membuncah lagi.

Aku mencintainya seperti batu, tapi apa salah batu? akh!

Bertahun-tahun bertahan apakah harus usai hanya karena kepribadian yang berbeda? Kenapa tak dari dulu saja? Berdarah-darah dan berkecamuk, aku mulai memaki diri, merendahkan dan menyalahkan hidupku yang malang ini. Demi Tuhan, aku sadar bahwa Ibuku bermaksud baik. Ia tidak ingin anaknya hidup dalam kepedihan yang tak perlu.

Apa yang terjadi setelah hari itu? Aku menangis tersedu-sedu sembari ingin mengakhiri hidup. Sebab pemikiranku yang kerdil ini memutuskan untuk mati saja. Berpikir tidak ada lagi yang harus aku perjuangkan dalam hidup.

Aku suka menyendiri dan tidak mau bertemu siapa pun. Aku cuma melihat kehidupan temanku dari luar saja: yang sudah menikah banyak, yang punya anak juga.

Sempat aku memikirkan beberapa pertanyaan seperti

“Apakah aku menjadi perempuan yang serba ketinggalan?” Namun jujur, aku tidak ingin terburu-buru juga. Lalu apakah aku FOMO (Fear Of Missing Out)?

Entahlah, pikiranku menjadi tidak sinkron. Mungkin mati adalah jalan yang terbaik untukku, karena tidak menjadi beban bagi orang-orang yang kusayangi: orang tuaku serta pasanganku, Di. Aku hanya perlu mereka makamkan dengan baik tidak perlu menggelar pesta, tidak perlu biaya banyak.

Mereka cukup mengenangku saja. Kalau tidak pun tidak apa-apa. Kemudian aku melilitkan selendang berwarna merah bertuliskan nama dan gelarku, karena hanya kain itu yang menggantung di tembok kamarku. Maka kulilitkan saja kain tersebut pada leherku, menariknya lebih kuat hingga pengap nadi kerongkonganku.

Baca Lainnya: Ingin Jadi Ibu

Ibu yang melihatku segera berusaha melepaskannya. Namun, rasa yang bercampur kesal, Ibu menampar pipiku beberapa kali. Aku merasa lebih yakin atas keinginanku yang rasa sakitnya semakin menebal, maka aku tarik lebih kencang lagi hingga setengah sadar. Pikiranku benar-benar gelap. Aku membenci diri sendiri yang begitu malang dan nasibnya yang menyedihkan. Aku ingin segera selesaikan hari itu juga.

Beberapa menit terselamatkan aku masih menggila seperti zombie. Berpikiran bahwa mereka jahat padaku. Aku sudah bulatkan dalam hati, bahwa hatiku sudah menyerah dan tidak ingin apa-apa lagi selain kematian. Aku merasa terpukul karena ancaman yang keluar dari mulut ibuku. Entah aku harus benar-benar berhenti atau terus melanjutkan, kedua-duanya adalah hal yang menyakitkan dan membelenggu hingga kini.

Aku tidak ingin menjadi Malin yang durhaka pada ibunya, namun di sisi lain aku juga tidak bisa berhenti begitu saja. Mengapa ibuku tidak mendoakan dan meridai hubunganku dengan Di agar berjalan bersama sampai tangga Ilahi? Aku diam dan malas untuk berbicara lagi, rasanya percuma menjelaskan apa yang berada di genggamanku. Sulit.

Bapak Presiden yang cerdas dalam bidang teknologi (H. Bacharuddin Jusuf Habibie) itu pernah mengatakan,

“Jika prosesnya makin sulit, berarti kamu dan pasangan sudah berada di jalan yang tepat dan seharusnya. Hanya tetaplah bersama apapun rintangan di depan.”

Baca Lainnya: Payung di Ujung Surup

Sebetulnya apa yang beliau katakan itu menjadi penguat sekaligus bahan gerutuku. Keinginan untuk menyakiti diri itu hilang lagi ketika aku mengingat kutipan-kutipan yang menarik, dan jujur saja, mendamaikanku. Kemudian, aku mengingat beragam kutipan lain yang pernah kulihat di sosial media, kubaca di buku, dan aku meneruskan hidup sampai sekarang.

Semoga kedamaian selalu mengitariku.

Nama sebelumnya Sophie Millenium, anti udang. Suka nulis dan suka nyanyi tapi untuk menghibur dirinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Yuk Berkawan

Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.

Promo Gack dulu, dech Ayooo Berangkat!