Irfan Memutuskan untuk Bicara Soal Pelecehan yang Ia Alami Waktu Itu (Bagian II)

TRIGGER WARNING.

Tulisan ini mengandung konten sensitif, bisa jadi beberapa bagian sangat menganggu kenyamanan kamu. Jika kamu merasa gak nyaman membacanya, gakpapa, kok. Kamu bisa berhenti membaca ini dan menenangkan dirimu. Saya cuma ingin kamu tahu, kamu gak sendiri. #MeToo

Tulisan ini saya dedikasikan untuk diri saya, juga untuk semua korban pelecehan dan kekerasan seksual, laki-laki atau perempuan, atau apa pun kamu mengidentifikasi dirimu.

*

Pengalaman saya adalah pengalaman yang mungkin sulit diterima, tapi kejadian ini membuat saya percaya bahwa pelecehan dan kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja, apa pun gendernya.

Saya tidak pernah menyangka bahwa tubuh saya akan kembali menjadi target kejahatan pelecehan seksual, dan lebih dari itu, ketika saya mengungkapkan hal ini, orang-orang hanya akan tertawa.

Setelah kejadian pelecehan di tempat kerja beberapa tahun lalu, saya kembali mengalami hal yang traumatik.

Di kampung tempat saya tinggal, saya aktif dalam kegiatan kepemudaan. Setiap tahun, kami menyelenggarakan acara 17 Agustus-an yang meriah, lengkap dengan panggung seni dan musik. Pada kegiatan itu, ada seorang perias yang bertugas, si D.

D adalah seorang MUA transpuan yang dikenal warga. Tampilannya nyentrik seperti penyanyi dangdut. Banyak yang memujinya karena kemahirannya dalam merias wajah.

Malam itu, saat saya berjoget ringan di dekat panggung, ia mendekati saya dari belakang. Tangan kirinya membelai rambut saya, sementara tangan kanannya meraba paha saya. Saya menolak, berkata tidak, tetapi ia justru semakin berani—menyentuh bagian tubuh saya yang paling privat, menggesekkan tubuhnya ke arah saya sambil tertawa.

Saya menjauh dengan rasa jijik dan marah. Namun yang menyakitkan, orang-orang di sekitar saya hanya tertawa. Bahkan teman dekat saya hanya mengangkat bahu, seolah tak ada yang salah.

Beberapa waktu setelahnya, saya kembali mengalami pelecehan—yang dikemas dalam candaan seksual menjijikkan. Saat sedang memanggang jagung bersama teman-teman, satu dari mereka, yang baru saja buang air kecil, menyodorkan kelaminnya ke wajah saya sambil mengucapkan kata-kata kotor. Kebetulan posisi saya sedang jongkok, sehingga wajah saya sejajar dengan bagian tubuhnya. Lagi-lagi, semua orang menertawakan kejadian itu. Katanya lucu. Katanya hanya bercanda. Tapi bagi saya, itu pelecehan terang-terangan.

Puncaknya terjadi ketika saya hampir menjadi korban kekerasan seksual. Masih oleh “Si D”. Malam itu, seusai acara hajatan warga, saya dipaksa meminum minuman keras lokal yang sangat kuat tanpa sepengetahuan saya. Kepala saya pusing, tubuh saya lemas, dan kesadaran saya tidak sepenuhnya utuh. Saya memutuskan pulang lebih awal dengan berjalan kaki. Namun dalam perjalanan pulang, D membuntuti saya dengan motor. Ia memaksa saya untuk naik motor, dibonceng olehnya, mengajak saya ‘main’, katanya karena jalanan sedang sepi.

Dia mendekap saya di bangku pinggir jalan, meraba tubuh saya, mencoba membuka celana saya. Saya menangis, menolak, dan mencoba mendorongnya, tapi tenaga saya terlalu lemah. Untungnya saya memakai ikat pinggang dan celana jeans yang tidak mudah dilepas. Saya berhasil kabur—berlari pulang, masuk ke rumah, mengunci pintu, dan mengintip dari balik jendela dengan tubuh gemetar dan basah oleh keringat dan ketakutan.

Malam itu saya tidak bisa tidur. Saya hanya menangis dalam diam, bertanya-tanya dalam hati, kenapa semua ini terjadi pada saya?

Saya menulis ini (masih) tanpa menyebut nama karena saya tahu, masih banyak orang yang akan menganggap saya berlebihan. Tapi saya tidak bisa terus diam. Tidak ada satu pun orang—baik itu perempuan, laki-laki, trans, siapa pun—yang berhak menyentuh tubuh orang lain tanpa izin. Bukankah semua orang berhak hidup dengan rasa aman?

Saya menulis ini bukan untuk menebarkan kebencian, sebab saya tidak pernah membenci, merendahkan, atau membeda-bedakan siapa pun. Saya tidak peduli identitas seseorang selama dia tidak merugikan orang lain. Laki-laki, perempuan, transpuan, transmen, atau apa pun itu, saya tidak akan membeda-bedakannya sebab saya tahu kita semua manusia dan kita semua sama.

Pelecehan bukan candaan, bukan pujian, bukan karena “kamu ganteng” atau “dia suka sama kamu”. Itu semua adalah upaya merendahkan, upaya menundukkan, dan itu gak pernah bisa dibenarkan. Saya mungkin bukan perempuan tapi saya adalah korban.

Saya laki-laki dan saya korban, saya merasakan betapa sakit batin saya ketika kejadian di depan mata itu hanya jadi bahan ketawa orang-orang yang buta hatinya itu.

Semoga siapa pun yang membaca ini tahu bahwa tidak ada yang lucu dari menyentuh tubuh orang tanpa izin—tidak peduli siapa pelaku atau siapa korbannya. Dan saya, satu dari sedikit yang bersuara, adalah korban itu.

Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 4, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). dan Yusuf dan Sapi Betina (2025). Suka pamer dan suka bikin pameran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Yuk Berkawan

Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.

Promo Gack dulu, dech Ayooo Berangkat!