
Dua puluh tiga tahun terlewati
Lika-liku riuh menusuk kalbu
Lalu rapuh, lalu mati membusuk
Esok bertamu Juli
Masih jauh dari segala capaian
Usaha sudah maksimal
Namun nihil berbuah hasil
Pasrah kala benar-benar butuh
Angkuh di setiap hari
Dasar, manusia.
Di kampung, Ibu bertanya kabar
“Besok pagi jadi apa?”
Lupa,
semalam mimpi masih bocah—
masih ngompol di celana,
celana hasil beli Ibu, waktu bayi.
Usia terus bertambah,
rupanya benar-benar tua.
Semoga Ibu selalu sabar,
dan tetap sehat,
Tepat di hari ulang tahunku,
Ibu datang membawa sepotong kue,
lengkap dengan lilinnya.
Ia melangitkan doa begitu tulus,
jernih seperti sungai
yang belum disentuh tangan tambang.
Harumnya seperti mawar
yang baru dipetik dari surga.
Ia memelukku—tabah beserta sabarnya.
Namun sorot matanya gusar.
Akankah anaknya
tumbuh sesuai harapan?
Ibu ingat dan tahu segala yang dicari:
“Kaos kaki di mana?”
“Kunci motor di mana?”
Dan semua ‘di mana-dimana’ yang lainnya.
Ibu datang, bergegas membawa
segala yang ditanya, tanpa suara.
Ia tak berseragam,
tak juga berkuda.
Tapi ibu—pahlawan sejati di rumah kita.
Jagung, buncis, labu siam siap dipanen.
Besok dijual ke pasar, demi beli seragam.
Negara dingin—kejam, tak peduli, tak datang
Di teras belakang,
Bapak menyanyi lirih merdu
Burung-burung menari riang,
seolah tak tahu derita yang sembunyi
Pasrah nasib ditadah
Besok… kita makan apa?
Manusia yang doyan meracau dan memaki negara.
Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.