Kepada Juni

Kepada Juni

Dua puluh tiga tahun terlewati

Lika-liku riuh menusuk kalbu

Lalu rapuh, lalu mati membusuk

Esok bertamu Juli

Masih jauh dari segala capaian

Usaha sudah maksimal

Namun nihil berbuah hasil

Pasrah kala benar-benar butuh

Angkuh di setiap hari

Dasar, manusia.

Baca Lainnya: Tergantung Mainnya

Kabar, Ibu

Di kampung, Ibu bertanya kabar

“Besok pagi jadi apa?”

Baca Lainnya: Menangani Patah Hati

Lupa, 

semalam mimpi masih bocah—

masih ngompol di celana,

celana hasil beli Ibu, waktu bayi.

Usia terus bertambah,

Baca Lainnya: Coblos Saja Itu

rupanya benar-benar tua.

Semoga Ibu selalu sabar,

dan tetap sehat,

Pukul 24:00

Tepat di hari ulang tahunku,

Ibu datang membawa sepotong kue,

lengkap dengan lilinnya.

Ia melangitkan doa begitu tulus,

jernih seperti sungai

yang belum disentuh tangan tambang.

Harumnya seperti mawar

yang baru dipetik dari surga.

Ia memelukku—tabah beserta sabarnya.

Namun sorot matanya gusar.

Akankah anaknya

tumbuh sesuai harapan?

Pahlawan

Ibu ingat dan tahu segala yang dicari:

“Kaos kaki di mana?”

“Kunci motor di mana?”

Dan semua ‘di mana-dimana’ yang lainnya.

Ibu datang, bergegas membawa

segala yang ditanya, tanpa suara.

Ia tak berseragam,

tak juga berkuda.

Tapi ibu—pahlawan sejati di rumah kita.

Teras Belakang

Jagung, buncis, labu siam siap dipanen.

Besok dijual ke pasar, demi beli seragam.

Negara dingin—kejam, tak peduli, tak datang

Di teras belakang,

Bapak menyanyi lirih merdu

Burung-burung menari riang,

seolah tak tahu derita yang sembunyi 

Pasrah nasib ditadah 

Besok… kita makan apa?

Manusia yang doyan meracau dan memaki negara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Yuk Berkawan

Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.

Promo Gack dulu, dech Ayooo Berangkat!