
Kisah dituturkan oleh Agil kepada Arini, selanjutnya dituliskan Arini dengan beberapa gubahan.
Ayub 18:16-17
Di bawah keringlah akar-akarnya, dan di atas layulah rantingnya. Ingatan kepadanya lenyap dari bumi, namanya tidak lagi disebut di lorong-lorong.
Pada satu masa yang purba: di masa yang jauh sekali, Ibu baru saja menyelesaikan proyek seni tanah liat pertamanya setelah bosan menanam pohon-pohon beringin di surga.
Ia belum tahu ciptaannya kali ini akan dinamai apa. Jangankan nama, Ibu saja belum tahu kenapa ia membuat makhluk semacam ini, tapi tak apalah.
Ibu sudah banyak membuat kadal dan burung-burung raksasa. Sesekali mencoba hal yang lain asyik juga.
Ibu adalah seniman. Ia sering menciptakan sesuatu. Beberapa ciptaannya dibentuk dengan hati gembira, beberapa ia buat waktu sedang marah atau bermalas-malasan, yang lainnya dibuat waktu ia sedang bosan sendiri saja. Yang jelas, Ibu tidak pernah menciptakan sesuatu untuk ketenaran atau uang. Sebab barang tentu ia sudah tajir dan tenar dengan sendirinya! Seluruh dunia ia yang punya!
Ibu tidak berhenti memandangi makhluk tanah liat yang belum ditiupkan nyawa itu. Bingung juga.
“Seperti ada yang kurang, tapi apa ya?” Ibu bergumam sendiri.
Ya! Tentu saja sendiri. Ibu kan tidak punya teman mengobrol!
“Ah! Teman mengobrol!” Ibu melanjutkan gumamannya.
Surga tak pernah sepi dan ia butuh juru bicara buat di bumi.
Ibu lalu meniupkan kemampuan berbicara dengan beragam bahasa, kemudian sifat-sifat baik seperti sabar, santun, pintar, pemaaf, dan bersahaja. Terakhir, Ibu meniupkan nyawa pada karyanya itu.
Makhluk tanpa nama itu lantas diberi nama Aleph. Aleph dengan cepat belajar beragam bahasa dan kehidupan.
Beberapa kali Ibu menyapa Aleph melalui tirai yang terburai ke bumi. Pada satu malam, Aleph tertidur di bawah langit dan hujan membasahinya.
Aleph tentu tidak takut hujan karena ia tak pernah kena flu atau demam.
Keesokan paginya, Ibu menyapa Aleph. Mereka berbincang sebentar dan Ibu bercerita bahwa ia sedang membuat karya dari api dan cahaya.
Waktu sedang bercerita, Ibu menyadari sesuatu yang baru tumbuh di dalam makhluk tanah liatnya.
Seutas akar yang lembut di bagian ketiaknya.
Akar itu tumbuh diam-diam. Ia tidak menuntut cahaya, tidak ingin tinggi. Ia hanya ingin menyentuh kembali tanah, asalnya.
Dan Ibu, untuk pertama kalinya, mengingat sesuatu.
“Waduh! Jangan-jangan itu bibit tanaman yang tak sengaja tertanam di bagian antara lengan dan bahunya.” Ibu berujar
“Aleph, katakan. Apakah kamu bersentuhan dengan air?”
“Ya, Ibu. Semalam aku tertidur diantara hujan. Menyenangkan sekali.”
“Baiklah, Aleph. Sepertinya ini kesalahanku. Waktu menciptakan engkau, aku sebetulnya sedang menyemai pohon di Eden. Tapi sepertinya aku tak sengaja menyimpan bibit-bibit pohon itu di ketiakmu, dan sekarang tumbuhlah mereka.”
Aleph terdiam dan mengangkat kedua tangannya. Ibu benar. Berutas-utas akar tumbuh diantara dua ketiaknya.
Kali ini, dengan cepat tumbuh sebuah pohon di masing-masing bahunya.
Setiap hari, pohon itu tumbuh sampai burung-burung hinggap dan bersarang di sana. Aleph merasa sangat senang.
“Aleph, apakah kau tidak merasa berat dengan pundakmu?”
“Tidak, Ibu. Aku senang.”
“Tapi burung-burung jadi lebih senang berada di bahumu daripada di tamanku.”
“Sepertinya memang begitu, Ibu. Tapi Ibu tak perlu khawatir. Ibu bisa menebang pohon ini dan menyimpannya di Eden. Biarkan pohon ini menjadi abadi di sana, Ibu. Biarkan mereka tetap hidup di pohon yang mereka sukai, di pohon yang ada di bahaku ini.”
Ibu merasa tersinggung atas ucapan Aleph. Dengan keki, Ibu lalu menebang pohon di bahu-bahu Aleph.
Jadilah hanya akarnya saja yang tumbuh di ketiak Aleph sampai Aleph menyatu kembali dengan tanah.
Selebihnya, Ibu masih enggan menciptakan sesuatu dari tanah liat. Namun pohon yang ia ambil dari bahu Aleph menjelma khuldi.
Ibu mengutuk buahnya karena kesombongan Aleph menasihatinya.
“Biarlah yang memakan itu buah turun ke tempat Aleph, biarkan kembali menyatu kembali dengan tanah. Sepertinya nanti, tak usah juga kubuat ciptaanku terlalu pintar.”
Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 4, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). dan Yusuf dan Sapi Betina (2025). Suka pamer dan suka bikin pameran.
Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.