
Malam itu hujan turun perlahan, membasahi jalanan kota yang lengang. Di sebuah kafe kecil di sudut jalan, seorang perempuan duduk di dekat jendela, menatap kosong ke luar. Di depannya, sebuah buku catatan terbuka, sementara tangannya menggenggam pena yang belum menari di atas kertas.
Namanya Hana, dan ia sedang mencari kata terakhir.
Sejak kecil, Hana selalu percaya bahwa setiap cerita memiliki akhir yang sempurna. Ia tumbuh dengan membaca novel-novel yang ditutup dengan manis: ada yang bahagia, ada yang tragis, tapi semuanya memiliki kesimpulan. Namun, ketika ia mulai menulis sendiri, ia menyadari satu hal—menemukan kata terakhir adalah pekerjaan yang paling sulit.
Buku catatannya dipenuhi dengan kisah-kisah yang nyaris selesai. Setiap ceritanya memiliki awal yang kuat, konflik yang menarik, tetapi selalu berakhir menggantung. Ada sesuatu yang terasa kurang, seolah-olah setiap kisahnya belum menemukan rumahnya sendiri.
Malam itu, ia memutuskan untuk menyelesaikan satu cerita. Hanya satu saja.
Saat Hana sedang menatap lembaran kosong, seseorang duduk di kursi seberangnya. Seorang lelaki dengan wajah samar, seakan hanya bayangan dari cahaya lampu kafe yang temaram.
“Kau mencari sesuatu?” tanya lelaki itu.
“Kata terakhir,” jawab Hana.
Lelaki itu tersenyum tipis. “Kata terakhir seperti kunci. Ia tidak bisa ditemukan, hanya bisa diberikan.”
Hana mengernyit. “Diberikan oleh siapa?”
“Oleh cerita itu sendiri.”
Ia terdiam. Kata-kata lelaki itu terasa aneh, tapi juga masuk akal. Ia kembali menatap catatannya, mencoba mendengar bisikan dari cerita yang selama ini ia tinggalkan.
Lalu, untuk pertama kalinya, ia mengerti.
Hana mulai menulis. Kata-kata mengalir tanpa ragu, membentuk paragraf terakhir yang selama ini ia cari. Tidak ada kebingungan, tidak ada keraguan.
Ketika ia menutup buku catatan, hujan di luar sudah reda. Ia menghela napas lega, seperti seorang pelaut yang akhirnya mencapai daratan setelah bertahun-tahun mengarungi lautan.
Ia mengangkat wajah, ingin mengucapkan terima kasih kepada lelaki di depannya.
Tapi, kursi itu kosong.
Hanya ada pantulan dirinya di jendela, tersenyum tipis, seperti seseorang yang baru saja menemukan sesuatu yang hilang.
Malam itu, Hana pulang dengan perasaan yang berbeda. Ia tak lagi mencari kata terakhir.
Karena ia tahu, kata terakhir selalu ada. Kita hanya perlu berani menuliskannya.
Seorang hamba yang suka nulis, doyan ngopi, dan gemar mendalami berbagai hal baru.
Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.