Profil Singkat
Ocha begitu kami memanggilnya, atau yang lebih populer dikenal dengan nama panggung Zona Almamosca adalah seorang rapper perempuan kelahiran 11 Agustus 1999 di Karawang. Sudah menjajal musik rap sejak tahun 2015, saat SBY masih memikirkan bentuk album barunya. Pada tahun 2017 ia aktif di komunitas Karawang Hip-Hop Squad katanya ingin belajar lebih banyak dan berkembang di dunia sub-kultur rap. Kami sempat tertawa sedikit.
Hah? Berkembang di Karawang? Terakhir kali teman kami mencoba tanam hidroponik di daerah kota yang puanas itu, orang setongkrongan mengiranya sedang menimbun tai kucing. Tapi yasudahlah, namanya juga struggle, di mana aja bisa kan?
Menurut kami, Ocha ini penting dicatat karena musik-musiknya, menawarkan sudut pandang yang berbeda dan segar dari musik arus utama. Lirik-lirik lagunya bersenggolan dengan berbagai permasalahan sosial, politik, lingkungan hidup, dan ketimpangan gender—ini kontras dengan kebanyakan musik yang cuman fokus di dunia percintaan. Kalau kamu pengen tahu bagaimana perjalanan karir sekaligus apa motivasinya dalam bermusik, bisa banget nih menyimak wawancara Nyimpang dengan Zona Almamosca di bawah ini.
Keluarga sehat, bu Ocha?
Apaan sih, basa-basinya!
Wkwk. Yaudah. Bagaimana awalnya kamu tertarik berkarier sebagai musisi?
Awalnya saya menyukai musik rap itu sejak SMA karena gemar nonton acara gigs rap dan mulai memberanikan diri untuk tampil sebagai rapper di tahun 2015. Bergelut dengan single pertama yang dirilis bulan Juni 2016 berjudul “Kota Mati” yang menceritakan tentang stigma kehidupan rap di kota Karawang yang sepi dan sedikit peminat, tapi sebenarnya nggak begitu: banyak orang yang suka rap yang membentuk komunitas dan memberi ruang serta kesempatan untuk rapper baru yang masih muda.
Bisa ceritakan bagaimana suasana atau perasaan musikmu itu berangkat?
Aku menyadari bahwa musik aku itu berangkat dari perasaan tentang keresahan-keresahan isu sosial. Salah satu bentuk keresahannya adalah isu stigma pada perempuan, lalu meluas ke topik sosial dan politik lainnya seperti isu pembangunan infrastruktur, pembabatan gunung sirnalanggeng, dan masalah perburuhan seiring pergaulan aku yang meluas ke Aksi Kamisan Karawang dan acara di Das Kopi.
Apa tantangan terberat yang kamu hadapi di awal perjalanan karirmu, dan bagaimana cara mengatasinya?
Tantangan terberat yang aku rasakan sih ada di proses kreatif: jadi jarang banget tuh ada dapur rekaman yang bagus, susah nemuin produser yang mengerti dunia rap, dan yang tak kalah berat itu bisa menyampaikan isu-isu sosial politik yang memang relevan dan bisa dipertanggungjawabkan.
Salah satu laguku yang berjudul “Menolak Tunduk” itu memiliki relevansi dengan isu atau permasalahan perburuhan di mana adanya relasi kuasa antara majikan dengan buruh yang timpang. Isu yang diangkat bisa dipertanggungjawabkan karena berasal dari ketidakadilan yang benar-benar ada.
Bagaimana dukungan dari keluarga atau lingkungan sekitar dalam perjalanan awal karier musikmu?
Keluarga sih nggak pernah mempermasalahkan iya apa yang aku lakukan dan teman-teman aku juga mendukung karena mereka menganggap bahwa apa yang aku sampaikan adalah musik alternatif yang menyuarakan keresahan.
Apakah ada titik di mana kamu merasa hampir menyerah? Jika ya, apa yang membuatmu terus berjuang?
Mungkin pernah waktu teman-teman udah pada rilis single dan album baru tapi aku masih stuck di situ-situ aja. Tapi, akhirnya aku memutuskan istirahat sejenak dan lalu mulai bermusik lagi karena munculnya inspirasi-inspirasi dan isu-isu baru.
Bagaimana pengalamanmu berkarya sebagai perempuan di dunia musik yang kadang didominasi oleh laki-laki?
Nah iya, itu dia, di dunia musik ini memang didominasi oleh laki-laki—entah karena talenta perempuannya sedikit atau gigs-nya memang memiliki bias maskulin. Tapi, dari pengalaman aku sendiri, aku berusaha menunjukkan bahwa perempuan juga bisa berperan di gigs musik dengan posisi yang setara dengan laki-laki.
Apakah kamu pernah merasa di-underestimate atau tidak dianggap serius karena gender-mu? Bagaimana cara kamu menghadapinya?
Iya, pernah. Tapi aku sendiri berusaha nunjukin bahwa kualitas musik aku sama dengan rapper cowok.
Menurutmu, apakah ada perbedaan dalam cara masyarakat atau industri memandang karya musisi perempuan dibandingkan dengan musisi laki-laki?
Kalau menurut aku sih secara umum nggak ada iya hal seperti itu. Buktinya banyak tuh penyanyi perempuan seperti Bernadya, Nadin Hamizah, dan yang lainnya yang terkenal dan sukses di dunia musik. Tapi mungkin ada beberapa orang yang masih menaruh stigma pada perempuan.
Apa pesan yang ingin kamu sampaikan melalui karya-karyamu sebagai musisi perempuan?
Aku sih berharap bahwa karya-karyaku bisa relevan dengan perempuan dan bikin mereka terus berjuang—aku sih berharap musik aku bisa menjadi suara alternatif untuk membangkitkan kesadaran sosial.
Bagaimana cara kamu mendukung musisi perempuan lainnya untuk terus berkarya di industri ini?
Iya, menurut aku sederhana aja: aku mendukung mereka dengan cara mendengarkan lagu-lagu mereka baik yang ada dalam bentuk digital maupun dalam bentuk fisik dan aku membeli juga berbagai merchandise-nya.
Apa yang biasanya menjadi sumber inspirasi utama dalam menciptakan musikmu?
Sumber inspirasi aku sendiri paling sering datang dari keresahan teman-teman dan isu-isu terkini: bagaimana penindasan terhadap buruh terjadi, pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang makin banyak dan tidak terselesaikan, serta perusakan lingkungan. Aku menganggap musik itu sebagai medium alternatif untuk menyuarakan keresahan.
Bagaimana kamu menyeimbangkan antara ekspresi diri dan memenuhi ekspektasi industri musik?
Nggak ada sih. Aku sendiri tuh nggak mau disetir sama industri musik atau label rekaman. Kalau pun industri musik tertarik nih dengan aku, iya, aku yang bakal tentukan isi musik aku. Aku mau cerita, jadi waktu itu, ada label rekaman non-eksklusif yang tertarik dengan musik yang aku bawa dan bisa menerima karakter aku. Iya, aku jalani saja.
Apakah ada perbedaan dalam proses kreatifmu saat kamu menciptakan musik untuk dirimu sendiri dibandingkan untuk kolaborasi dengan musisi lain?
Saat aku kolaborasi dengan musisi lain, aku tetap mempertahankan style musik aku sih. Iya, cuman gitu, aku rada ngerasa insecure—takutnya nih, aku nggak bisa memenuhi ekspektasi yang lain.
Adakah lagu-lagu yang benar-benar berangkat dari pengalaman pribadimu?
Ada iya dari beberapa lagu yang aku rilis, salah satunya itu yang berjudul “Menolak Tunduk”, yang berangkat dari pengalaman pribadi aku sebagai buruh pabrik yang merasakan langsung kejadian relasi kuasa antara majikan dengan buruh, ketidakadilan, dan pelecehan seksual.
Apakah ada musisi perempuan lain yang sangat menginspirasimu dalam berkarya?
Aku sangat terinspirasi dari rapper perempuan Yacko—yang memang aktif memberikan ruang bagi rapper-rapper yang lain dan menyuarakan isu Feminisme.
Apa tantangan terbesar yang kamu hadapi di sepanjang perjalanan kariermu, terutama sebagai musisi perempuan?
Tantangan terbesarnya adalah bagaimana gigs tetap berjalan: menjadi wadah untuk menyuarakan isu-isu daerah seperti yang waktu itu penambangan gunung sirnalanggeng. Jadi kita nggak mesti jauh-jauh dulu ngambil tema yang berasal dari luar kota, kita bisa mengolah persoalan yang terjadi di sektor lokal.
Bagaimana cara kamu mengatasi keraguan diri atau kritikan yang mungkin muncul di sepanjang karirmu?
Aku bisa mengatasi hal tersebut dengan cara menerima kritikan sebagai bahan pembelajaran. Iya misalnya kalau ternyata ada pendengar karya aku yang menganggap beat atau lirik yang aku bawakan ternyata kurang bagus, dari situ aku bisa mengevaluasi cara aku berkarya.
Pernahkah kamu merasa terbentur oleh ekspektasi tertentu dari masyarakat atau industri, dan bagaimana kamu menghadapinya?
Tidak pernah sampai ke situ iya karena aku masih teguh dengan prinsip-prinsip aku di awal—musik sebagai wadah untuk menyampaikan kritik sosial dan politik. Menurut aku, tema tersebut lebih besar daripada tema perbucinan yang kurang menyentuh persoalan masyarakat.
Apa perasaan yang kamu dapatkan dari kegagalan maupun kesuksesan yang telah kamu raih?
Mungkin iya sampai hari ini karena lagu-lagu aku didengar sama banyak orang dan aku juga diundang ke banyak acara, aku jadi ngerasa takut gitu tidak bisa relate lagi dengan isu-isu yang sering aku bawakan—menjadi asing dan berjarak karena lupa diri. Takutnya sih gtu. Cuman aku berharap, aku bisa terus menyuarakan isu-isu yang relevan dengan keresahan teman-teman.
Bagaimana kamu tetap bersemangat untuk terus berkembang dan bereksperimen dengan musik?
Caranya adalah dengan mendengarkan rilisan terbaru teman-teman aku yang bikin aku terus semangat berkarya.
Bagaimana perasaanmu saat pertama kali tampil di depan umum sebagai musisi?
Saat pertama kali tampil, aku ngerasa senang banget karena iya harapanku terwujud: bisa menjadi wadah keresahan yang lain—apalagi ketika bisa sing along bareng ngebikin aku merasa relate dengan audience.
Pernahkah kamu menghadapi momen di atas panggung di mana kamu merasa tidak dihargai karena gender-mu? Bagaimana caramu mengatasinya?
Kalau dari aspek gender sih belum pernah iya, tapi kalau dari aspek genre musik pernah tuh. Jadi waktu itu ada ibu-ibu yang ikut datang ke konser dan ngerasa nggak gitu paham genre hip-hop. Waktu itu aku disuruh turun panggung sama ibu-ibu itu, tapi aku tetap menyelesaikan panggungnya.
Apa yang paling kamu sukai dari interaksi dengan penonton saat tampil live?
Hal yang paling aku sukai dari interaksi dengan penonton saat tampil live sih karena momentum tersebut bisa digunakan untuk membagikan kesadaran.
Bagaimana caramu mengatasi rasa gugup atau tekanan saat tampil di panggung besar?
Caranya adalah dengan menenangkan diri—memetakan situasi dan melakukan eye contact dengan audience secara langsung.
Adakah momen berkesan atau tak terduga yang kamu alami saat tampil di atas panggung?
Momen yang berkesan tuh pas ada rapper-rapper idola aku yang nontonin aksi panggung aku—itu artinya kemampuan aku diakui oleh mereka.
Apa proyek atau kolaborasi musik yang paling kamu impikan untuk dikerjakan di masa depan?
Aku pengen banget suatu saat nanti punya project bikin single dengan rapper perempuan tentang tema rapper perempuan.
Bagaimana pandanganmu tentang masa depan musisi perempuan di industri musik Indonesia?
Menurut aku, masa depan musisi perempuan di industri musik Indonesia itu progres nya akan jadi lebih baik banget—karena sekarang aja banyak musisi perempuan Indonesia berbakat seperti Bernadya dan Nadin Hamizah.
Apa harapanmu untuk perkembangan karirmu di satu atau beberapa tahun ke depan?
Aku sih harapannya pengen ngeluarin single dan album terbaru di tahun 2025.
Apa yang ingin kamu tinggalkan sebagai warisan dalam dunia musik?
Aku sih berharap musik aku ini bisa menjadi cerita yang aku wariskan yang berisi isu-isu sosial, politik, dan lingkungan hidup supaya semakin membangkitkan kesadaran orang-orang.
Apa pesanmu untuk perempuan yang ingin menekuni karir di dunia musik?
Ini aja sih: banyakin referensi, jangan insecure, tetap tumbuh, dan tetap berkembang dengan musisi-musisi yang lain.