
Zine Zan Zun adalah penerbit art book dan zine independen yang lahir dari keresahan dua anak muda, Barorka dan Azka, setelah kehilangan pekerjaan. Dengan semangat DIY yang kuat, mereka membangun ruang alternatif bagi Gen Z, kaum kikuk, culun, dan pemimpi—untuk mengekspresikan kegelisahan hidup lewat puisi, esai, fotografi, dan karya seni lainnya. Karya-karyanya menyentuh tema keseharian: kecemasan, kejenuhan, tekanan kerja, dan isu-isu mental health, disajikan dalam format visual yang warna-warni dan desain yang tak biasa, mencerminkan keramaian isi kepala generasi hari ini.
Tak hanya menjadi wadah penerbitan, Zine Zan Zun juga aktif menggelar workshop seni, kolaborasi budaya, dan eksplorasi lokalitas—seperti mengangkat kisah fenomena Warung Madura. Dengan mengusung semangat keberanian untuk jujur dan inklusif, mereka membuka ruang aman tanpa penghakiman bagi suara-suara yang kerap tak terdengar.
Terinspirasi dari Fernando Pessoa, Zine Zan Zun terus bertumbuh sebagai media alternatif yang menyuarakan yang getir, yang lucu, dan yang menggerakkan. Mari simak wawancara Nyimpang dengan Barorka (pendiri dan pengasuh Zine Zan Zun) di bawah ini:
Halo! Nama saya Barorka. Saya lahir pada tahun 1999 di Samarinda. Walaupun lahir di sana, saya besar dan banyak menghabiskan waktu di Jogja, tempat saya menggeluti dunia sastra, seni, dan zine ini. Dari segi pendidikan, saya lulusan S1 Sastra Indonesia pada tahun 2022.
Pada dasarnya sih karena saya senang menulis puisi. Saat menulis puisi, saya merasa bebas untuk mengekspresikan apa yang saya pikirkan dan rasakan—berangkat dari observasi tentang kejadian sehari-hari yang terlihat sepele, tapi sebenarnya bermakna.
Ya, keseharian orang-orang yang bekerja pukul 9 sampai 5, hari demi hari. Bagaimana mereka menghadapi perasaan stuck, jenuh, dan lelah, karena apa yang mereka lakukan tidak selamanya menghasilkan sesuatu yang sepadan dengan usaha mereka. Hal seperti itu yang perlu kita angkat dan rayakan.
Wah, peran saya di Zine Zan Zun itu palugada (apa yang lu mau, gue ada)! Hahaha! Saya menulis, mengedit, melayout, mendesain, mempromosikan, dan lain-lain. Hal ini bisa terjadi karena kru kami masih sedikit, cuma dua orang: saya dan Azka. Azka lebih mengurus hal-hal penjualan dan promosi konten lewat unggahan video media sosial. Kalau saya sendiri sih, malu dan susah tampil di depan kamera.
Bukankah kita semua?
Capek sih sudah pasti, tapi saya sendiri merasa enjoy saja. Ini sesuai dengan passion saya memang: mengeluarkan keresahan sehari-hari lewat medium seni.
Awalnya muncul dari nasib kami berdua, yakni saya dan Azka, yang kehilangan pekerjaan sekitar setahun yang lalu. Saya habis kontrak 6 bulan bekerja sebagai Customer Service di sebuah perusahaan TikTok, sementara Azka waktu itu baru kena layoff dari perusahaannya. Kami merasa perlu mewaraskan pikiran dan zine adalah medium yang kami pilih sebagai wadah berekspresi.
Kami sendiri saat memulai proyek zine ini tidak tahu apa-apa. Kami belajar dari trial and error, mengamati orang-orang bagaimana caranya membuat press release, memproduksi konten, membuat layout, membuat desain, dan lain-lain. Kami pun masih belajar sampai sekarang untuk menyajikan yang terbaik.
Pertama, dalam hal biaya. Produksi zine ini menggunakan sisa uang tabungan kami setelah berhenti dari pekerjaan. Uang kami itu seadanya dan kami tidak menyangka biayanya bisa besar sekali. Kedua, mencari-cari kertas, penjilid buku, dan sampul yang berkualitas. Kami akhirnya dipertemukan dengan orang-orang yang punya minat yang sama di penerbitan zine ini dan saya diarahkan untuk membeli berbagai bahannya di Gejayan. Memang berkualitas sih. Kertasnya bertekstur halus karena made in Italy, dan penjilidnya juga oke punya.
Temanya segala hal yang berkaitan dengan keseharian kita sebagai Gen-Z, Kang, yakni: kecemasan, kejenuhan, alienasi, dan rasa stres. Apa yang kami lakukan adalah upaya untuk menjaga kewarasan agar unek-unek di kepala bisa tersalurkan dengan baik. Contohnya, waktu itu kami menerima puisi-puisi dari seorang pekerja korporat. Dia sanggup mengekspresikan tekanannya sehari-hari sebagai karyawan kantoran, dan hal itu diekspresikan ke dalam zine kami. Itu menurut kami sudah cukup karena jujur dan terus terang.
Saya ingin orang-orang mendapat tempat untuk berkarya ya, jadi karyanya tidak cuma menganggur saja di buku catatan atau di draf aplikasi note, tapi bisa disiarkan juga secara luas.
Iya, Mas, dan isinya juga tidak kalah ramai. Di Vol. 3 dari Zine Zan Zun ini, kami menerima kontributor dari berbagai golongan, mulai dari penyair, esais, fotografer, dan seniman lain. Isinya juga bervariasi, mulai dari keresahan pekerja, concern di hak asasi manusia, perasaan depresi, dan lain-lain. Karena kami, Zine Zan Zun, adalah sebuah wadah seniman untuk dengan bebas berekspresi, wadah rasa aman tanpa penghakiman, dan medium untuk orang-orang yang suaranya sering kali tak terdengar.
Iya, jadi kontributor kami yang fotografer itu ceritanya habis mendapati pacarnya bunuh diri. Lalu, si keluarga pacarnya terus-menerus menyalahkan dia sebagai sumber masalah depresi anaknya, dan akhirnya dia menjadi depresi dan merasa bersalah terus-menerus. Karya-karya fotografinya menggambarkan perasaan tersebut sebagai upaya untuk berdamai dengan diri sendiri.
Iya, Kang. Karena kami menganggap ini bukan persoalan yang tabu. Ini adalah sesuatu yang sangat lekat dengan keseharian hidup kita. Kalau kita terus menutup diri, ngerinya masalah mental health ini justru menjadi destructive pada diri sendiri maupun orang lain.
Vol. 3 terdiri atas 11 kontributor, mulai dari penyair, esais, fotografer, dan sebagainya. Zine Zan Zun Vol. 3 ini berjudul “Tes Tes Tes Unsettle Then Revolt“, dan sampulnya sendiri bersimbol korek api yang dinyalakan. Ini sebagai metafora bahwa kami selalu berupaya untuk menyalakan passion kami di dalam kesenian dan mengangkat segala hal yang berkaitan dengan keseharian kami sebagai pemuda, budak korporat, orang biasa, dan orang kalah.
Filosofinya adalah sebagai wadah untuk para orang yang kikuk, culun, dan pemimpi, ya, sebagaimana bio akun Instagram kami. Kami ingin supaya orang-orang yang tersingkir dalam hidup itu bisa merasakan mempunyai tempat berekspresi, ruang aman, dan ruang berkembang. Sebagai wujud pelaksanaannya, ya, selain art book Zine Zan Zun itu, kami tidak mentoleransi sedikit pun sikap seksisme, anti-queer, dan lain-lain yang tidak memanusiakan manusia. Untuk berkembang bersama, kami mengadakan berbagai workshop, mulai dari kepenulisan, melukis, biologi, dan lain sebagainya. Ramai pokoknya seperti tampilan warna-warni art book Zine Zan Zun.
Yang tidak kalah penting juga adalah kami berupaya supaya wacana-wacana besar seperti eksploitasi, mental health, dan keterasingan itu bisa diakses secara mudah dan ringan.
Spontan saja, Mas. Kami mengobservasi hal-hal sederhana sehari-hari yang menumpuk di kepala, lalu kami ekspresikan dalam bentuk karya seni: puisi, prosa, esai, foto, grafis, dan lain-lain, sebagai upaya untuk mewaraskan isi kepala dan tetap bisa menjalani hidup dari hari ke hari.
Kenapa memilih kedua hal itu karena saya sendiri orangnya senang seni begitu: kombinasi warna-warni, puisi segala macam, dan lain-lain. Selain itu juga karena kedua medium itu kental dengan semangat DIY (Do It Yourself). Ini etos kemandirian yang keren lho, karena saat kita mandiri, kita tidak bergantung pada siapa pun dan kita tidak berada di bawah kekuasaan siapa pun.
Hal ini pada gilirannya membuat kita bebas berekspresi dan menyatakan sikap. Coba deh, kalau kita bayangkan antara art book dan zine dengan berbagai konten media mainstream, yang terakhir itu pasti disetir sama pengiklan, pemodal, dan investor. Mereka tidak bebas.
Zine Zan Zun sendiri awalnya ingin menyasar segmentasi Gen-Z, yang sibuk dengan pekerjaan, dihantam rutinitas, dan menjadi generasi sandwich. Cuma ke depan, dengan hadirnya Vol. 4 ini, kami ingin juga menyasar segmentasi orang tua yang keberadaannya tidak dipedulikan anak-anaknya. Ingin bereksperimen dan bereksplorasi lebih jauh lagi. Harapannya supaya di usia tua mereka, mereka bisa menemukan sebuah bacaan yang bikin mereka tidak merasa sendirian begitu dalam menjalani hidup. Kami juga berencana ingin membuat Zine Zan Zun Vol. 4 ini berbahasa Jawa, supaya unik dan sesuai dengan bahasa di Yogyakarta ini, yakni bahasa Jawa. Kami memang senang bereksperimen.
Kami ingin mengulas komunitas petani teh perempuan yang ada di Jawa yang sudah bertani dan menjual hasil taninya selama 70 tahun. Yang tidak kalah menariknya, mereka melakukannya dengan cara tradisional supaya kualitas tehnya tetap terjaga. Dan alasan mereka itu bukan demi uang, karena tidak selamanya hasil jualnya laku, tapi untuk melestarikan budaya teh tradisional itu sendiri. Itu menurut kami adalah dedikasi yang luar biasa yang layak untuk dibahas.
Pembedanya itu paling pertama ada di tema yang diangkat. Saya ingin teman-teman yang menjadi kontributor itu memberikan cerita-cerita personalnya yang getir, lucu, dan menyenangkan. Tidak perlu hal-hal yang umum yang jauh dari kita. Kami fokus menyediakan wadah bagi orang-orang yang tidak punya tempat untuk menyuarakan sisi personalnya.
Kedua, kami ingin mengenalkan kultur sehari-hari orang Indonesia ke dunia luar. Makanya itu publikasi kami pun menyertakan bahasa Inggris dan mengangkat sesuatu yang dekat dengan kita, misalnya seperti fenomena Warung Madura tuh, yang buka terus tanpa henti. Ini kan menarik buat bule-bule.
Ketiga, tampilan karya kami ini warna-warni, ramai, dan bentuk bukunya unik—bukan seperti yang dijilid biasa, tapi bisa dipanjangkan.
Karena kami waktu itu satu lapak di Widuguna dan menganggap, “Wah, ini orang, Birujambon, asyik juga nih: literasi memenya tinggi, selain itu juga keseniannya bagus banget.” Lalu kami ajak kolaborasi lah di acara itu. Sesederhana itu.
Sesederhana kami ingin unik saja. Masing-masing orang kan membawakan identitas atau ciri khas yang berbeda begitu. Nah, kami membawa konsep Warung Madura itu sendiri karena hal itu sangat dekat dengan kehidupan kita. Mau beli rokok, ke situ. Mau beli sembako, ke situ. Mau beli apa pun yang kamu perlu, pasti ke situ. Tinggal jalan kaki menyeberang dari rumah juga jadi.
Selain itu, Warung Madura ini unik sekali sih. Jadi, si pemiliknya itu menjalani kehidupannya di situ, bekerja juga di situ. Bahkan, sepengamatan kawan saya yang berkunjung ke situ, pemiliknya juga, maaf ini, berhubungan seks di situ.
Iya, semacam work-life balance begitu. Perlu dicontoh kali ya, hahaha! Oke, balik soal ke Warung Madura, fenomena itu juga kami tampilkan untuk mengenalkan ke dunia luar bahwa ada hal mengagumkan itu di Indonesia.
Alhamdulillah, laku. Ada 100 pcs produk dari warung Madura kami yang ludes terjual.
Sebagian besarnya dari orang-orang yang kepo, seperti mereka yang berpikir, “Wah, ini barangnya rare banget dan warna-warni,” akhirnya mereka beli deh buat koleksi. Selain itu, para penulis yang peduli dengan isu lokal, dan bule yang ingin merchandise untuk dibawa pulang ke negara asalnya, dan lain-lain.
Iya, Mas. Makanya itu kami betul-betul memperhatikan aspek desain grafis dan bentuk produk-produk kami.
Salah satunya itu zine berbentuk gantungan kunci. Unik, kan? Banyak tuh yang tertarik dan akhirnya beli.
Iya, Mas, betul sekali! Bisa tuh diinterpretasikan ke situ juga. Yang namanya makna kan tidak cuma disampaikan secara literal dan tersurat, bisa juga metaforis dan tersirat.
Karena kami menganggap bahwa karya-karya Fernando Pessoa itu keren banget. Salah satu karyanya yang menyentuh itu adalah buku berjudul The Book of Disquiet—yang merekam aktivitasnya sehari-hari yang melankolis dengan observasi yang tajam dan metafora yang keren. Banyak orang yang merasakan melankolis setiap harinya, tapi tidak semua orang bisa merekam dan mengabadikannya menjadi karya yang indah seperti Pessoa.
Jujur, saya juga terinspirasi dari Pessoa: caranya merayakan hal-hal biasa dalam hidup, itulah yang saya contoh.
Betul sekali, Kang, dan itulah kenapa Pessoa itu dihadirkan di volume awal art book ini: sebagai sebuah tanda seperti pengantar ya, yang menyatakan bahwa spirit Zine Zan Zun itu ada dalam diri Fernando Pessoa.
Tanggal 27-28 Juli tahun ini kami akan mengadakan acara di “Jakarta Khongzian” dan nanti juga akan ada acara lainnya yang berkaitan dengan seni, tentu saja.
Lakukan apa pun yang sesuai keinginanmu asalkan hal itu dilakukan dengan seluruh daya dan upayamu dan hal itu dilakukan dengan tidak merugikan orang lain. Oh ya, tulislah apa yang mau kamu tulis. Jangan takut tidak dibaca. Karena tulisanmu suatu saat bisa menemukan pembacanya sendiri.
Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.