Yayu membagikan ceritanya yang menarik dalam mengasuh anak.
Yayu dan Cerita Menjadi Ibu Feminis

Profil Singkat
Yayu Nurhasanah atau akrab disapa Teh Yayu adalah seorang ibu muda dari Purwakarta yang kesehariannya penuh warna—mulai dari mengasuh buah hati yang aktif, mengurus rumah tangga, hingga tetap setia menulis dan berbagi pengetahuan.
Teh Yayu percaya bahwa pekerjaan domestik merupakan peran setara antara suami dan istri—di mana suami pun bertanggungjawab untuk merawat dan mengawasi tumbuh kembang anak dan seisi rumah. Dari sini, Teh Yayu bisa tetap mencurahkan waktu untuk mengejar passion-nya dan aktif berkegiatan di luar.
Selain menjalankan peran sebagai ibu, Teh Yayu juga dikenal sebagai founder sekaligus aktivis dalam organisasi Swara Saudari. Swara Saudari adalah komunitas yang memiliki perhatian pada isu-isu kesetaraan gender dan keberpihakan pada perempuan seperti perlawanan terhadap kekerasan seksual, diskriminasi di tempat kerja, hingga keadilan representasi perempuan.
Pengalamannya sebagai ibu memberinya perspektif baru dalam memperjuangkan keberpihakan negara terhadap perempuan, terutama dalam hal kebijakan dan akses yang setara.
Teh Yayu juga giat menulis esai, biografi, dan infographic di berbagai kesempatan. Ia memanfaatkan kegiatan menulis sebagai cara untuk menyuarakan keresahan dan berbagi pengalaman, sekaligus sebagai ruang temu dengan dirinya sendiri. Baginya, tulisan adalah perpanjangan suara dan cara bertahan di tengah dinamika kehidupan sehari-hari.
Tak hanya di balik layar, Teh Yayu pun kerap tampil sebagai pembicara dalam berbagai diskusi dan forum publik. Meski kini waktunya banyak tercurah untuk keluarga, ia tetap menyempatkan diri untuk berbagi pandangan tentang pola asuh, feminisme, dan kesehatan mental ibu.
Ia adalah representasi dari perempuan yang terus bergerak, merawat harapan, dan menyemai kekuatan lewat hal-hal yang tampak sederhana, namun berdampak besar.
Simak obrolan lengkap Redaksi Nyimpang bersama Teh Yayu—tentang suka duka menjadi ibu, cara menjaga kewarasan di tengah rutinitas domestik, hingga refleksi sebagai aktivis feminis yang kini merawat kehidupan dari dalam rumah.
Teh Yayu, apa kabar hari ini? Gimana kabarnya si kecil?
Hari ini capek banget, soalnya habis ada acara keluarga dan sekaligus harus ngemong bocil. Anaknya lagi aktif-aktifnya, cerewet, nggak bisa diem, heboh terus pokoknya.
Kalau boleh tahu, belakangan ini lagi sibuk apa aja nih?
Sekarang lagi sibuk ngurus rumah dan segala isinya. Terus juga lagi bantuin sekolah untuk persiapan ujian TK. Selain itu, aku juga bikin esai dan infographic untuk kerjaan freelance. Kalau ada kesempatan, aku juga nulis untuk majalah—biasanya seputar biografi dan hal-hal serupa.
Menurut Teh Yayu, kerja-kerja domestik ini bikin merasa terasing dari hobi atau passion nggak?
Iya, jujur aja, sekarang jadi jarang banget jadi pembicara. Ngomong juga kadang berasa kaku. Tapi aku tetap berusaha ngajak anakku untuk terlibat saat aku menjalani hobi—biar tetap nyambung, gitu.
Ngomong-ngomong di tengah kebijakan pemerintah yang bikin ekonomi semrawut, gimana rasanya jadi ibu?
Jadi ibu di tengah keadaan ekonomi kayak gini itu rasanya ngatur semuanya sambil terus dipaksa untuk beradaptasi. Harga barang naik, kebutuhan makin banyak, tapi kebijakan pemerintah yang datang suka bikin bingung: nggak jelas arahnya ke mana. Makanya banyak banget kan yang bilang, “In this economy kok berani punya anak?” Hahaha, nggak apa-apa, opsi lain masih bisa diusahakan kok. Tanam sayur dan bumbu di rumah, sambil nabung buat pindah ke Jerman misalnya. Wkwkwk.
Wkwkwk. Oh iya, sekarang anak Teh Yayu usianya berapa tahun? Namanya siapa, dan gimana karakternya sehari-hari?
Sekarang usianya sebelas bulan, sebentar lagi satu tahun. Namanya Ansara—aku suka nama yang sederhana, dan semoga artinya bisa mencerminkan sifat suka menolong. Aku berharap dia tumbuh jadi orang yang peduli kayak aku dulu waktu aktif di advokasi. Sehari-harinya dia iya… Ngeberantakin rumah, hehehe, makannya lahap, dan sekarang udah suka ngomong. Lagi seneng banget nyebut-nyebut nama binatang, kayak “gajah”.
Wah, anaknya dari kecil udah diajak belajar ya?
Iya, aku sering nemenin dia baca buku, ngajak ngobrol juga biar kemampuan bahasa dan pendengarannya terstimulasi sejak dini.
Apa momen paling mengharukan yang pernah Teh Yayu alami bareng anak?
Sebenernya hampir setiap hari terasa mengharukan. Dari pertama dia lahir dan nangis, aku juga ikut nangis. Saat dia berhasil menyusu, berdiri, belajar mengeja—semuanya bikin haru banget. Melihat perkembangannya dari hari ke hari tuh rasanya luar biasa.
Kalau soal pola asuh, Teh Yayu lebih condong ke tipe yang seperti apa?
Aku sih cenderung demokratis. Memang aku punya tanggung jawab sebagai orang tua, tapi aku nggak mau jadi otoriter. Aku berusaha melihat anakku sebagai individu yang punya suara dan keinginan. Aku dengerin dia, bahkan kalau dia cuma nangis atau nunjukin kecenderungan tertentu. Intinya, setiap hari kami berusaha jadi contoh yang baik. Aku pengen nanti, saat dewasa, dia punya standar tinggi dalam bersosialisasi, supaya nggak mudah terjebak hal-hal negatif.
Dalam menjalani peran sebagai ibu, apa tantangan terbesar yang Teh Yayu rasain sampai sekarang?
Tantangan terbesarnya itu ya… hidupku sekarang bukan cuma tentang aku lagi. Ada Ansara, yang jadi bagian dari hidupku dan prioritas utamaku. Tanggung jawab untuk memastikan dia sehat, dapat pendidikan yang layak, dan tumbuh di lingkungan yang aman itu berat tapi penting. Aku pengen jadi orang tua yang punya privilege untuk bisa fasilitasi semua kebutuhannya. Makanya aku juga pengen terus berjejaring dan mendorong adanya kebijakan negara yang lebih berpihak ke perempuan dan ibu.
Selama ngurus anak, gimana caranya mengatasi perasaan overwhelmed?
Biasanya aku ambil waktu untuk me time, meskipun cuma satu atau dua jam. Karena sehari-hari nempel terus sama anak, rasanya kadang kayak nggak punya ruang sendiri. Biasanya aku titipin ke mertua atau ayahnya, terus aku santai di rumah, ngerjain hal-hal kecil, kayak bikin kopi atau beresin rumah. Aku bersyukur banget punya suami dan mertua yang supportive.
Ada nggak sih momen ketika Teh Yayu merasa butuh tempat untuk bercerita?
Sering, dan biasanya aku cerita ke suami. Dia udah kayak diary hidupku. Walaupun dia juga capek, tapi kami udah commite untuk saling terbuka. Kadang juga aku ngelampiasin lewat Twitter, hehehe. Aku nggak bisa cerita ke semua orang karena belum tentu mereka bisa paham. Tapi dengan nulis atau ikut kegiatan—kayak waktu aku ikut kelas menulis bareng Kalis Mardiasih sambil bawa anak—itu rasanya bisa recharge dan ketemu lagi sama diri sendiri. Di momen-momen itu, aku merasa nemu lagi Yayu yang dulu.
Sejauh ini, lingkungan sekitar—baik pasangan, keluarga, atau teman—cukup mendukung nggak dalam hal kesehatan mental Teh Yayu?
Supportive banget. Mereka empati dan mau bantu ambil alih tugas rumah atau jaga anak saat aku butuh pergi. Mertua juga selalu siap dititipin Ansara kalau aku ada kegiatan. Selain itu, mereka juga semangat dukung aku saat aku nulis atau ngisi acara. Teman-teman kayak Farid dan Arin juga sangat supportive. Aku seneng banget punya support system seperti mereka.
Setuju! Aku kalau ketemu mereka bawaannya ketawa mulu. Hehehe. Ngomong-ngomong, kalau boleh jujur, hal apa sih yang paling Teh Yayu harapkan dari orang-orang sekitar dalam mendukung peran sebagai ibu?
Yang paling aku harapkan sih mereka tetap sehat dan panjang umur. Karena dengan itu, mereka bisa terus mendukung aku. Itu rezeki yang nggak ada duanya. Semoga suami dan mertuaku selalu diberi kesehatan dan kebahagiaan.
Terakhir, apa harapan Teh Yayu untuk diri sendiri sebagai ibu dan untuk tumbuh kembang anak ke depannya?
Harapan aku sederhana: aku ingin menjadi orang tua yang mendengar karena anak punya hak untuk bicara.
Dan untuk Ansara, aku berharap dia tumbuh jadi anak yang kritis dan peduli. Aku ingin dia jadi bagian dari mereka yang berdiri di garis depan melawan ketidakadilan. Makanya dari sekarang aku kenalin dia ke buku, supaya kesadaran kritisnya tumbuh. Semoga dia nanti bisa lebih kuat dan lebih berani dari ibunya.
Leave a Comment