Mari kita melanjutkan hidup seperti biasa. Mari kita belajar dari kesalahan di masa lalu kita. Bagaimanapun, kita pernah jadi teman dekat dan saya gak pernah nyesal, cuman aambekan jeung era weh sih kadang.
Yang Tidak Pernah Saya Sesali

Kemarin memang ada angin dan ada hujan, dan ya ada drama sedikit mah tiba-tiba saja. Lalu drama itu bikin saya ingat sebuah momen di 2019.
Satu hari, saya ingat saya menginap bersama Farid, Egi, dan Yan. Kepada teman-temanku, maaf hidupku sampai saat ini penuh drama. Wkwk. Lalu malam-malam saya ngamuk dan menangys sejadi-jadinya karena tau apa?
Mantan saya minta saya hapus puisi-puisi di blog saya tentang kenangan bersamanya karena si pacar barunya ingin puisi itu di-take down.
I know, masa muda memang setolol itu dan pada saat itu saya merasa tidak ada yang lebih aneh dari minta orang lain ngehapus postingannya hanya karena kamu tersinggung sendiri di postingan yang bahkan tidak menyebut namamu pula.
Tentu saja dengan segala perlawanan dan fafifu, saya gak ngehapusnya. Sampai sekarang bahkan, itu puisi malah masuk buku dan mantan sudah punya pacar yang lain lagi. See? Gak ada gunanya, bukan?
Kalau gak suka sama perjalanan hidup saya yang dulunya ketemu pacarmu itu, ya sana jadi time traveler, minta sama Doraemon. Kalau mau semua keinginan dikabulkan, sana hidup sama Bona-Rongrong di negeri dongeng.
Fase Menerima Diri dan Selesai dengan Masa Lalu
Saya merasa sudah selesai dengan masa lalu saya, dan ya udah. Sebuah vlog kecil tidak akan berpengaruh apapun terhadap apa yang saya jalani saat ini, sekarang, atau nanti. Saya mengakui saya pernah ada di masa-masa bahagia bersama mantan saya, lalu apa? Kenapa? Apa masalahnya?
Apakah dengan saya masih simpan itu lalu saya menjadi orang yang gak pernah move on, gitu? Apakah dengan postingan itu masih ada di ig saya, itu berarti saya akan selalu kepikiran dan sayang sama dia, gitu?
Akun itu akun saya, dan di-posting dengan kesepakatan berdua di masa lampau. Lalu kenapa sekarang baru dipermasalahkan?
Lagipula, saya happy liatnya. Gak ada sedikit pun perasaan kesal, marah, malu, atau apapun. Saya tidak menyangkal saya pernah ada di waktu-waktu seperti itu. Lalu kenapa? Toh, saya posting itu pas lagi sadar kok, bukan lagi mabuk.
Mau saya bodoh di masa lalu, kek. Mau saya nakal di masa lalu, kek. Semua itu saya akui dan saya terima. Iya, memang saya pernah di sana, tapi apakah itu berarti saya masih ada di sana? Enggak, kan.
Pasangan saya selalu bilang, sejak dulu “Yang udah mah udah.”
Saya tahu dia seperti apa di masa lalu, bagaimana hubungan romantisnya di masa lalu tapi itu pun hanya sekali kami ngomongin masing-masing “kenapa” di hubungan terakhir. Tapi toh, sampai saat ini hubungan kami baik-baik saja, (paling banter ya emang murni sayanya aja yang goblog) Kami tidak membawa orang lain di meja makan, di kamar, atau di manapun tempat kami berada.
Kami tidak pernah membiarkan orang lain atau kenangan tentangnya merusak kebersamaan kami. Biar bagaimana, kami sadar kami pernah bahagia dan ditemani orang lain, dan kalau pada saat itu “Ceritanya gak gitu, mungkin gak akan kaya gini.”
Gak ada pasangan yang sempurna, gak ada hubungan yang ideal, standar TikTok itu gak nyata. Bahkan sebaik apapun pasangan saya kelihatannya, tentu saja dia punya kekurangan yang bikin saya keki. Segimanapun branding saya, tentu saja saya masih sering malu-maluin pasangan saya.
Segala sesuatu yang terjadi di masa lalu kan berkontribusi membentuk diri kita yang sekarang, dan it’s okay, Love. All you have to do cuman upgrade diri jadi lebih baik, lebih baik, dan lebih baik lagi. Salah itu gakpapa! Kan udah sering juga. Putus cinta bukan sekali-dua kali, kan? Jadi gak masalah. Gakpapa. Gagal itu biasa! Life must go on! Serius, deh ๐
Siapapun Gak Berhak Ngatur-Ngatur dan Komentarin Gayamu Berhubungan
Ya intinya pertikaian gak perlu itu berlanjut ke judging hubungan saya saat ini. Saya keki banget, lah. Bagaimana bisa seseorang yang meminta tolong lalu tiba-tiba beralih begitu saja mengintervensi hubungan saya dengan nada judgement, sentimentil, gak jelas arahnya, dan gak memunculkan motivasi apapun selain negativity.
Tentu saja saya gelap mata. Siapa yang tidak marah ketika pasanganmu, yang kamu tau bagaimana prosesnya, seperti apa dia menunjukkan kasihnya padamu, tiba-tiba dikomentari orang lain:
“Hahah. Kasian. Dia itu gak sayang sama kamu dan biasa aja ke kamu, gak peduli dia sama kamu.“
“Iiih siapa juga yang mau punya hubungan kaya kalian aneh gituuu.”
Kalaupun iya pasangan saya seperti itupun, tetap saja itu bukan kalimat yang etis diungkapin orang lain, apalagi mantan. Kalaupun iya pasangan saya seperti itu, biar saja lah. Toh kan keputusan saya sendiri buat tetap sama dia. Apa hubungannya dengan orang lain?
Kami gak butuh validasi apapun dari orang lain. Saya menghargai privasi pasangan saya dan keluarganya. Saya gak pernah posting foto dengan pasangan, dan apakah itu berarti kami gak bahagia? Sejak kapan bahagia atau tidaknya sepasang kekasih ditentukan dari banyaknya foto dan video? Tidak. Tidak sama sekali.
Dia dan keluarganya memiliki batasan, dan saya harus menghormati batasan itu. Cukuplah orang-orang berkepentingan dan orang terdekat kami yang tahu bagaimana kami menjalani hubungan. Semua ini lebih dari cukup untuk saya. Kami tidak perlu pengakuan orang lain bahwa saya bahagia dengan pasangan saya.
Dari vlog saya di masa lalu saja kita tahu, bahwa tidak semua yang diunggah akan bertahan. Tidak semua yang kelihatannya berbahagia tuh bahagia betulan di akhir. Kan gitu.
Tapi saya jadi kepikiran, sih. Memang betul, lho. Sebelum kekesalan saya sekarang, memang semenjak TikTok dan Instagram punya fitur reels, saya rasa banyak konten-konten “couple goals” yang mulai bikin beberapa orang lapar mata dan ngiler menerapkan “standar romantis” ke pasangannya.
Tentu saja konten-konten semacam itu mengubah cara penontonnya memandang hubungan asmara. Konsep yang kaya gitu tuh, yang gencar dan naik terus viewsnya. Bikin hal-hal seperti itu tuh seolah jadi “standar baru” yang harus dicapai oleh tiap mereka yang berpasangan. Padahal kan banyak juga pasangan yang misuh-misuh dan jol pasea amun dititah ngajemput pas Persib jadwal tanding mah, sampai kebawa konvoi dan gak tahu di mana karena cuma kejebak arus saja.
Realitasnya kan jauh lebih kompleks. Lagian, come on. Siapa juga yang mau menampilkan pasangannya ngomel-ngomel pake bahasa Mandarin karena nyobain masakan kita yang rasanya kayak puyer. Ya ada sih yang lucu-lucuan, tapi kan itu juga pake skrip.
Maka, alih-alih terjebak dalam blau-blau couple goals, kayanya mending membangun hubungan yang otentik dan “Lo banget deh pokoknya!” Setiap pasangan punya definisi kebahagiaan yang beda-beda ya khaaan.
Tapi siapapun itu, mau pasangan, mau teman, mantan, temannya mantan, yang bukan mantan pun gak ada yang berhak ngatur-ngatur hidupmu, atau skema hidupmu. Kamu berhak hidup bebas. Terima semua yang sudah terjadi, ya. Keep love, peace, and random! Jangan pernah dengarin komentar yang gak membangun dari orang lain. Selama itu gak bermanfaat dan gak mengandung kebaikan, just throw it away saja. Hidupmu, aturanmu, jangan biarkan orang lain nyampur ngatur-ngatur, ya.
Terlepas dari itu semua, untuk kamu yang ada angin ada hujan tiba-tiba bikin kesal: terima kasih ya untuk nasihat yang gak pernah saya minta. Mari kita melanjutkan hidup seperti biasa. Mari kita belajar dari kesalahan di masa lalu kita dan berjalan ke depan. Yuhuu! Bagaimanapun, kita pernah jadi teman dekat dan saya gak pernah nyesal, cuman aambekan weh sih kadang.
Saya belajar untuk gak pernah menyesali apa yang sudah lewat, karena yang sudah lewat itu kan yang bikin saya ada di sini sekarang. Yeay ๐
Leave a Comment