Ayo, lah! Puji saya! saya punya kebutuhan untuk diakui sebagai blablabla!
Sesederhana kamu sudah membuat ‘sesuatu’ tapi kamu bahkan tidak mendapatkan notice bahwa kamu telah melakukannya. Seolah-olah cuma itu yang kamu butuhkan. Padahal di semua tempat, uang kan lebih dibutuhkan. Coba bayangin kalau kamu punya uang, mau sekurang ajar apapun kamu orang yang butuh duitmu akan akan tunduk dan akan nurut. Tapi poinnya kan bukan itu.
Kemarin, saya ngobrol sama teman saya dan dia bilang, “Mereka udah gak respect sama kamu.”
Lalu saya bilang, “Emang sejak kapan kamu lihat saya butuh respect orang lain?”
Rasanya sudah lama sekali saya menjadi free-strong-tough-independent woman yang tidak membutuhkan siapa-siapa ini. Muehehe. Sombong gakpapa asal jerih payah sendiri. Lagian serius, deh. Apa ngaruhnya sih respect orang yang gak punya kontribusi se-remeh apapun di hidup saya?
Respect dan pengakuan mungkin dua hal yang berbeda, tapi saya rasa dalam ngomongin “yang tidak saya butuhkan dari orang lain” dua-duanya akan ada di keranjang yang sama.
Banyak yang bilang kalau kebutuhan validasi/pengakuan tuh mendasar, dan di beberapa kesempatan saya setuju. Kalaupun kebutuhan itu mendasar buat saya, sudah saya pastikan saya akan memenuhi kebutuhan itu sendiri. Ya gimana aja saya kerja ketika saya butuh makan. Basic, kan?
Bayangkan betapa repot jika beberapa orang akan merasa dia baru bisa diterima ketika dia diakui di lingkungan sosialnya. Lagian, memang sebagus apa sih lingkungan sosyel yang dimaksud, itu? sedekat dan seberpengaruh positif apa lingkungan sosyel itu? Kenapa kita harus menunggu di-iya-in sama lingkungan di luar diri kita kalau mau ngelakuin sesuatu? semenakutkan itu kah berjalan sendiri?
Sepenting Apa Pengakuan Orang Lain?
Sebuah argumen melayang pada ajang diskusi Sabtu kemarin. Argumen yang menurut saya gak perlu-perlu amat, tapi beberapa kali argumen semacam ini sering begitu saja keluar seperti bersin. Sebutlah begini,
Gimana seseorang bisa dikatakan seorang penyair? Kualifikasinya apa? Apakah klaim itu harus didapat dari orang lain?
Gimana sebuah tulisan bisa dikategorikan “puisi” di zaman serba kontemporer kaya gini? Kalau gitu quotes-quotes di Instagram atau cuitan di X itu disebut apa?
Kalau semuanya disebut puisi, berarti kualitasnya jelek, dong?!
dan muncul lah argumen kontras seperti begini:
Loh ya kalau gitu saya jadi takut nulis, dong.
Nah, ini masuk akal.
Bukankah kanonisasi dan sistem kelas itu gak cuma ada di lingkup literasi dan kepenulisan? Itu kan alasan Meisya bikin Baca Setara. Kenapa kita butuh orang lain menyebut bahwa kita adalah penyair? Kenapa gak kita terus aja nulis puisi? Terus, kalau kamu gak berhasil dianggap seorang penyair di lingkungan sosialmu, kamu jadi berhenti nulis, gitu? Kan enggak.
Apapun sebutan orang ke kamu, apapun anggapan orang ke kamu, kamu gak butuh itu untuk ngelanjutin proses berkaryamu.
Kamu gak butuh klaim dari siapapun, just do it seperti Nike. Kamu gak butuh seniormu untuk bilang kamu gak layak nerbitin buku, kamu gak butuh orang lain bilang kontenmu gak mutu meanwhile kamu selalu melakukan studi pustaka. Kamu gak butuh rasa hormat dari orang yang bahkan gak kamu tahu asal usulnya.
Selama tulisanmu bukan hasil copy-paste ywdah. Selama karyamu bukan jiplakan Pinterest ywdah.
Tumbuhkan kepercayaan dirimu sendiri. Bergabung sama orang-orang yang punya energi yang sama. Ingat kata Rasul, Main sama tukang parfum bakal kebagian wanginya. Main sama Majid bakal kebagian saktinya.
Kalau kamu punya naskah, tulis. Kumpulin sampai jadi draft. Kirim ke Nyimpang. Jadi anggota koperasi, dan terbitin. Udah beres. Gak usah nunggu harus dibilang bagus sama si A sama si B.
Eh tapi kalau abis dandan terus nanya “Aku cantik gak?” itu termasuk cari validasi gak sih?