Belakangan, saya jadi harus aktif menonton gigs demi mendulang suara untuk menduduki kursi anggota Dewan Skena Purwasuka meskipun pada dasarnya, saya yang sudah nyeni sejak dalam kandungan ini gak bisa menikmati musik-musik keras, tapi apa pun itu akan kuhadapi semuanya sambil ngomel di story!
Semenjak kenal Eja, saya jadi sering diajak liat band-band musik keras latihan, dan Eja sudah paham kalau ujung-ujungnya saya memisahkan diri dan memilih anteng sendiri baca di pojokan. Eja, gitaris Kawanan (band punk yang kalau bubar pasti ganti nama jadi Musuhan) beberapa kali sempat manggung dan saya memutuskan buat gak ikut.
No offense. Saya aja yang gak bisa menikmati dan gak bisa ngobrol sama orang baru, so I’m not interested. Tapi akhirnyaaa, ada satu waktu yang mengharuskan saya ikut Eja manggung di Cikampek. Ya, karena saya nebeng Eja sekalian ke rumah di Cikampek.
Itu kali pertama saya nonton show musik-musik keras. Waktu itu saya sama Meita ikut dan kami jadi tim dokumentasi dengan perasaan takut karena saya baru-baru operasi dan jahitannya belum kering, dan saya tidak biasa melihat orang moshing. Ofc itu pengalaman yang memorable, tapi saya keki bukan main waktu denger jokes yang kelewat kurang ajar. Ceritanya bisa dibaca di sini.
Minggu lalu, sebagai mbak-mbak Nyimpang, saya hadir ke gigs di Karawang. Siang itu saya duduk sama Eja di bawah pohon. Adem betul kata saya teh. Saya memilih untuk bersantai dan nyandar di kursi. Dari balik kacamata hitam yang saya pinjam, saya melihat di sebelah saya, gak tahu siapa, ada ibu-ibu yang menjaga anaknya. Yang 1 kelihatannya masih sekitar 1 tahun, yang 1 lagi mungkin 3 atau 4 tahun.
Saya lantas kaget dengan santainya ada seorang bapak-bapak (entah bapaknya atau bukan) duduk di dekat kedua anak itu dengan menghisap rokok. Menghisap rokok Masih di meja yang sama (hanya saja ini di seberangnya), ada mas-mas yang nge-vape pula. Aaaaak! Rasanya ingin banget saya julidin, tapi saya takut dijulidin balik kaya gini,
“Suka-suka gua sih, orang ini anak gua! Kalau sakit juga gua yang ngobatin!”
atau, “Urus aja anak lo sendiri!”
Kan malah saya yang nangys jadinya kalau gitu.
Alih-alih ngambil itu dua anak menjauh dari situ atau ngelabrak orang dewasa di sekitarnya, saya milih untuk ngangkat alis ke Eja aja. Ya masalahnya itu rokok, loh. Kalau mau megang anak kecil aja itu baju yang udah kena asap rokok tuh harus diganti, apalagi asapnya langsung dihadapkan ke anak-anak coba. Pneumonia, TBC, bronchitis, asma, infeksi telinga, sampai kematian mendadak itu bisa kejadian loh untuk anak-anak yang kena asap rokok.
Seingat saya, saya gak pernah merokok di dekat anak-anak, lansia, dan orang dengan gangguan pernapasan, deh. Sebab saya tahu betul gimana ribetnya ngejagain ayah saya yang sesak napas dan bertahan dengan penyakitnya. Toh, kalau ada teman saya yang gak ngerokok juga saya selalu nanya dan izin “Boleh ngerokok di sini, gak?” kalau enggak, ya udah saya pindah. Kan memang semudah itu sebenarnya.
Orang dewasa kadang lupa kalau mereka (atau mungkin kita) sudah merenggut hak anak-anak atas udara bersih dan udara yang bebas asap rokok. Yang lebih menyedihkan lagi, kita ngerasa itu sah-sah aja seolah gak ada yang salah.
Kita, orang dewasa yang sudah punya kemampuan berpikir dan selalu merasa paham atas segalanya bisa jadi lantang menuntut keadilan atas hak-hak kita. Tapi kita luput sama kewajiban kita sendiri untuk menghindari anak-anak dari asap rokok yang kita hisap. Kalau gini, apa bedanya kita sama orang-orang dan perusahaan-perusahaan yang supply emisi karbon ke ozon?
Ini gak bercanda, teman-teman. Racun di asap rokok itu mematikan buat anak-anak, dan mereka gak bisa berbuat apa-apa untuk itu.
Coba bayangkan begini. Orang (remaja atau dewasa) punya kemampuan untuk bilang “Eh, jangan ngerokok dekat aku, dong.” atau pergi menghindar. Tapi kalau anak-anak? Yang kecil aja masih mumbling phase, jalan aja belum bisa, anak-anak gak punya kemampuan untuk bilang “Ngerokoknya ke sana-an dikit, dong!”
Kalau pun si anak punya kemampuan untuk pindah tempat dari kepulan asap rokok, si anak belum tentu punya kemampuan untuk menghindar dari racun-racun yang udah nempel di baju mak-bapaknya.
Sedih karena saya gak bisa berbuat apa-apa pas ngeliat itu. Sedih karena saya gak punya nyali buat ngomongin orang tuanya, atau orang (yang katanya) dewasa di sekitar saya. Pada akhirnya, melihat anak kecil dikerubungi kepulan asap adalah hal yang tidak ingin saya lihat lagi di gigs mana pun.