Nama saya Laila. Usia saya tahun ini genap 520 tahun. Saya adalah yang terakhir dari bangsa saya. Saya begitu lelah dan kesepian. Siang begitu panas dan beberapa kali saya harus mandi ke sungai yang bau airnya sudah tidak karuan itu, padahal ini sudah waktunya saya beristirahat.
Sudah tidak ada lagi teman yang saya miliki di sini. Saya benar-benar bosan. Satu- satunya teman saya yang terakhir adalah Inyek. Ia mati terjebak ranjau kawat. Sayang, di kehidupannya yang lain, ia tidak mengetahui bahwa ia adalah seekor inyek.
Padahal, beberapa kali saya mencoba mengirim jejak panduan agar ruh manusianya bisa sampai ke sini, tapi cara itu tak keburu berhasil. Inyek sudah mati. Saya menangis waktu melihatnya dikuliti.
Saya rasa manusia memang tidak layak hidup. Keterampilan yang mereka miliki cuma menganggap bangsanya adalah bangsa yang paling berhak atas bumi, bangsa yang paling sempurna. Mereka menulis di dalam kitab yang mereka ciptakan sendiri bahwa mereka adalah makhluk yang paling sempurna.Padahal tidak ada bangsa apapun yang punya daya rusak paling tinggi kecuali manusia.
Di hari Inyek mati dan dikuliti, saya menghisap 6 kepala orok yang usianya kurang dari 1 bulan dan menyantap 9 jabang lagi yang masih bertengger di rahim ibunya. Saya begitu marah dan ingin menghabisi mereka semua.
Padahal, saya berjanji tidak akan menambah usia saya sebab sudah tak ada siapa-siapa lagi yang bisa diajak bicara. Tapi saya begitu kalap setelah kematian Inyek.
Inyek bernasib sama seperti saya. Ia adalah satu-satunya yang tersisa dari kelompoknya.
Begitu sial nasibnya: meneruskan hidup pun sudah sangat sulit, mati pun ia harus menderita.
Amak saya mati diburu 7 manusia 100 tahun yang lalu. Mereka menangkap Amak yang sedang mengantar irisan janin untuk sanak saudara kami yang sudah tinggal sedikit itu. Amak lalu dikejar oleh pendekar yang sudah menanti di beberapa titik buat mengepungnya.
Mereka menangkap Amak, menyebut-nyebut rapalan yang suaranya sangat mengganggu kami, menangkap kepala Amak dengan menjambak rambutnya, mencopot jantung Amak, dan membakarnya. Manusia melakukan itu semua hanya untuk menunjukkan bahwa mereka lebih hebat daripada diantaranya, sekaligus menunjukkan siapa yang berkuasa di wilayah. Padahal, manusia itu pulalah yang tidak punya kuasa apa-apa. Leluhur saya dan leluhur Inyek sudah jauh lebih dulu berada di sini.
Saya selalu menangis jika mengingat kejadian itu. Beberapa tahun kemudian, sanak saudara saya yang tinggal sedikit itu mati membusuk dimakan belatung karena tua dan kelaparan. Untuk mencari makan tak sanggup dan nahas, Amak saya dijegal di tengah jalan dalam upayanya mengantar makanan.
Kelompok saya habis. Sebagian ada yang mati dibakar, dicopot jantungnya, ada juga yang menusuk jantungnya dengan batang mawar atau bambu runcing. Bukan hanya pada kaum kami, manusia melakukan hal yang sama kepada orang-orang Bunian yang sampai saat ini hanya tinggal nama.
Manusia menjajah wilayah kami untuk kemudian mereka jadikan rumahnya sendiri. Sungguh memalukan. Ketidak mampuan mereka membuka diri menuju alam batin membuat kami tahu betapa busuk jiwa mereka.
Jin Ifrit pernah berjalan melewati hutan ini. Tubuhnya besar sekali, dan ia bilang ia sedang lelah menggunakan sayapnya. Saya melihatnya dari jauh. Ada semacam mahkota berbentuk tanduk badot1 menyala dengan api di kepalanya. Ia menghela napas begitu dalam, lalu embusannya membuat beberapa pohon kemenyan terlepas dari akarnya.
Saya melintingkannya tembakau pada daun kawung. Lalu saya berikan padanya. Jin Ifrit kemudian hanya tinggal menaruh ujung bakau saja pada tanduknya, maka lintingannya menyala. Setiap ia bernapas, terlihat dada dan sayapnya ikut naik-turun mengikuti pundaknya.
Si Ifrit kemudian bercerita bahwa Ibu memintanya pulang sebab tugasnya sudah selesai.
Ia sangat sedih. Buatnya, dunia adalah tempat bermain yang menyenangkan. Ia menjalankan mandatnya dengan baik. Saking baiknya, ia sampai tak perlu bersusah payah lagi menggiring manusia ke neraka. Sebab manusia kini sudah mampu melakukan perjalanan menuju neraka dengan sendirinya.
Waktu itu usia saya baru 80 tahun dan saya belum banyak memahami sesuatu kecuali melinting daun kawung, menghindari duri mawar, atau belajar melayang. Maka ketika Jin Ifrit mengatakan itu, saya sebetulnya kurang mampu memahaminya. Tapi sekarang saya sudah mengerti yang dimaksudkan Jin Ifrit itu.
Bangsa Dewi Lanjar di laut utara saya dengar lebih parah. Santer terdengar kelompok Dewi Lanjar terkena tumpahan minyak mentah beberapa tahun lalu. Bangsa laut sebetulnya tidak diperbolehkan mendekati, menyentuh, atau bahkan berinang pada tubuh manusia. Tapi gara-gara itu, saya dengar Dewi Lanjar marah besar dan masuk ke dalam tubuh seorang manusia yang bau kencur.
Izrail ia jatuhkan untuk kemudian diambil pedangnya. Lalu Dewi Lanjar memenggal kepala manusia yang dikejar karma buruk menggunakan pedang Izrail. Itu adalah pertarungan paling menarik sepanjang abad ini.
Akibatnya, Dewi Lanjar dimasukkan ke dalam ruang hampa oleh Ibu. Ibu bilang Dewi Lanjar begitu sombong karena menyelesaikan tugas yang bukan miliknya. Alih-alih menghukum manusia, Ibu malah menghukum Dewi Lanjar.
Begitulah kiranya. Kami dari bangsa selain manusia kadang sempat berpikir betapa Ibu selalu pilih kasih. Ibu selalu menyayangi manusia dan kami seperti anak tiri saja tindak- tanduknya.
- Badot adalah domba jantan yang biasanya digunakan untuk adu domba. Bagus atau tidaknya seekor badot biasanya dinilai dari tanduknya. Semakin besar dan kuat tanduknya, maka seekor badot akan dianggap semakin mahal. ↩︎