Yang Tak Pernah Terkirim

Menulis untuk melepaskan, bukan untuk mengirimkan.

Malam itu, hujan turun dengan rintik pelan, membasahi jendela kamar kosnya yang sempit. Cahaya lampu jalan yang redup berpendar di genangan air di luar, menciptakan bayangan yang seolah menari di permukaan lantai. Di atas meja kayu yang sudah mulai lapuk, kertas-kertas berserakan, beberapa penuh dengan coretan, beberapa lainnya masih kosong.

Farhan menatap selembar surat yang telah ia tulis sejak tadi sore. Tangannya gemetar, bukan karena dinginnya malam, tetapi karena beban yang mengikat hatinya. Surat itu ia tulis untuk seseorang yang telah lama pergi dari hidupnya, tetapi bayangannya masih menghantui hari-harinya.

Ia menarik napas dalam, lalu membaca ulang.

“Untuk seseorang yang pernah kucintai dalam diam…”

Farhan tersenyum miris. Menggelikan, pikirnya. Siapa yang menulis surat seperti ini di zaman sekarang? Siapa yang masih percaya bahwa kata-kata di atas kertas bisa mengubah sesuatu yang sudah lama berlalu?

Namun, ia tetap menulisnya.

***

Ia pertama kali bertemu Aisyah di taman kota, lima tahun yang lalu. Gadis itu duduk di bangku kayu, dikelilingi buku-buku yang terbuka, dengan secangkir kopi yang sudah mendingin di sampingnya. Farhan tidak pernah percaya pada cinta pada pandangan pertama, tetapi saat melihat Aisyah, hatinya tiba-tiba berdetak lebih cepat.

Ia tidak langsung mendekatinya. Tidak, Farhan bukan tipe pria yang percaya diri. Ia hanya duduk beberapa meter darinya, berpura-pura membaca buku, padahal sesekali melirik ke arahnya. Dan itulah awal dari segalanya.

Hari-hari berikutnya, ia menemukan dirinya sering datang ke taman itu, berharap melihat Aisyah lagi. Mereka akhirnya mulai berbicara, tentang buku, tentang hujan, tentang kopi, tentang hal-hal kecil yang hanya mereka berdua pedulikan.

Namun, Farhan selalu menahan diri. Ia tidak pernah mengatakan perasaannya. Tidak pernah mengungkapkan bahwa setiap malam, ia menulis tentang Aisyah dalam buku catatannya. Bahwa setiap kata yang ia rangkai, setiap puisi yang ia tulis, semuanya tentang gadis itu.

Dan kemudian, Aisyah pergi.

Tanpa perpisahan yang layak, tanpa kata-kata terakhir yang bisa ia simpan. Ia hanya tahu dari seorang teman bahwa Aisyah menerima beasiswa ke luar negeri. Dan sejak saat itu, bayangan gadis itu hanya hidup dalam kata-kata yang tak pernah ia kirimkan.

***

Farhan kembali menatap suratnya. Ia sudah menulis banyak surat untuk Aisyah sebelumnya, tetapi tidak satu pun yang ia kirimkan.

Ia berpikir, apakah ini akan menjadi surat terakhirnya?

Ia mengambil amplop, memasukkan surat itu, lalu menuliskan alamat email Aisyah yang masih ia simpan di buku catatannya.

Namun, jari-jarinya ragu saat hendak menekan tombol kirim.

Apa gunanya? Aisyah mungkin sudah melupakan semuanya. Mungkin ia sudah memiliki hidupnya sendiri, seseorang yang mengisi hari-harinya dengan lebih nyata dibandingkan kenangan yang Farhan genggam erat.

Ia menutup laptopnya, menghela napas panjang.

Dan seperti surat-surat sebelumnya, surat itu tetap tak terkirim.

Beberapa tahun kemudian, Farhan menemukan surat itu di antara buku-buku lamanya. Kali ini, ia hanya tersenyum dan membacanya tanpa ada beban di dadanya.

Kadang, tidak semua perasaan harus sampai pada orang yang kita tuju. Kadang, cukup dengan menuliskannya, kita sudah menemukan cara untuk melepaskan.

Seorang hamba yang suka nulis, doyan ngopi, dan gemar mendalami berbagai hal baru.

Related Post

No comments

Leave a Comment