Puthut EA, penulis kesayangan kita semua sering mengulang bahwa belajar menulis itu penting untuk siapa saja. Bukan untuk orang yang ingin menjadi penulis saja. Sebab menulis mengajarkan kita menstrukturkan gagasan, menguatkan argumen, menyusun logika, dan memilah antara yang substansi dan yang sampiran.
Ringkasnya, keterampilan menulis membantu kita belajar dengan perlahan dan sabar untuk memahami segala macam pikiran dan realitas (atau yang beririsan di antara keduanya) yang tadinya cuma berakhir pada “sudah dari sananya gini” atau “gak tahu ah mau dagang tahu bulat aja”.
Lanjut Puthut pula, dalam konteks itu, urgensi belajar menulis mirip dengan kenapa belajar bela diri itu penting, meski kamu bukan atlet. Kita semua butuh mengasah refleks dan otot. Misalnya saya, menganggap olahraga semacam futsal itu penting, karena selain menjaga kebugaran juga melatih kebersamaan dan kerja tim. Kita belajar melukis dan fotografi misalnya, bukan semata untuk menjadi pelukis dan fotografer profesional, tapi melatih kepekaan atas rasa. Sensitivitas kita diasah dengan latihan-latihan itu.
Buat saya pribadi belajar dan melatih keterampilan menulis adalah belajar untuk memahami seluruh kecamuk pikiran dari yang tersembul jauh dari dalam dada sampai yang merasuk dari luar diri dari jejaring internet dan semua yang bikin pusing sebelumnya.
Tentu menuliskan “Omnibus Law itu menyebalkan” dalam format esai panjang tidak akan menyelesaikan masalah. Tapi dengan menuliskannya saya belajar bagaimana memahami masalah ini dan mengambil sikap. Intinya, kadang bagus memahami semua duduk perkara suatu permasalahn, meski kita tahu tak cukup berdaya mengatasinya.
Keterampilan menulis memang tidak punya impact langsung untuk membayar tagihan cicilan motormu; menambal ban motormu yang bocor; membuat rt di kampung halamanmu gercep menyelesaikan lubang di jalanan; atau membuat bupatimu lebih banyak bekerja memperbaiki sekolah-sekolah ambruk dari pada sibuk pencitraan di media sosial.
Tapi pernah ada masanya seorang presiden yang dzalim dimakzulkan karena tulisan, protes besar-besar menggelora karena tulisan, jalan-jalan diperbaiki karena tulisan.
Sejauh yang bisa saya lihat, nyatanya dari menulis ini kadang ada saja keuntungan materialnya.
Meski tidak selalu, tulisan bisa memperbaiki keadaan di sekitar kita. Sebagai orang yang cinta perubahan-perubahan positif, agaknya menulis adalah kerja yang layak kita percaya kemungkinannya untuk mendorong perubahan. Sekecil apapun kemungkinannya, patut dicoba, bukan?
Tidak semua hal yang kita pelajari, kata Puthtut pula, harus dengan hasil profesional. Menulis baginya sama dengan latihan kehidupan. Oleh sebab dia latihan kehidupan, jangan lupakan bagian menyenangkannya…
Dani Dagul si penggerak di desanya itu misalnya seringkali menyampaikan rasa takjub dan rendah dirinya, seperti bilang: Kalau aku sudah lihat tulisanmu, rasa-rasanya aku malu untuk menulis.
Saya gak tahu apakah dia sebenarnya sedang mencari dukungan atau sedang meledek. Tapi yang jelas semua orang pernah merasa begitu. Merasa kerdil sekligus takjub pada mereka yang melakukan sesuatu dengan baik. Saya pun sering merasa kerdil setelah membaca tulisan Raka Ibrahim dan Dea Anugrah, membaca hasil kerja para penulis yang usianya gak jauh beda itu, membuatku merasa seperti memelihara keterampilan yang bunga bangkai kerdil yang stunting. Busuk saja baunya dan ukurannya cuma mengundang tawa. Lah, ini mah bukan bunga bangkai. Ini bangkai. Kata yang melihatnya.
Meski demikian saya bilang pada Dani dan diri sendiri, tidak perlulah kita menanggung beban berat untuk menyaingi seseorang. Sebab bakal menghilangkan gairah-gairah yang menggembirakan di dalam prosesnya. Akannjadi masalah kalau sedikit-sedikit kita jadi gampang frustasi ketika menulis. Karena insecure itu tadi.
Hampir setiap hari kita menemukan pengalaman menakjubkan, bacaan yang memesona, film yang menggendam, musik yang menghanyutkan, dan seseorang yang setiap kamu memeluknya rasanya tidak ingin melakukan apapun lagi sepanjang hari. Ide-ide baru memahami kesedihan. Pikiran-pikiran sepele yang mengocok perutmu. Semua adalah bahan bakar menulis kita yang menyenangkan.
Jika kamu mulai menemukan hal itu dan merasa bahagia membagikannya, maka itulah yang menakjubkan dari belajar menulis: kebahagiaannya untuk diri sendiri, semangatnya yang menular pada para pembaca. Jadi kenapa kita tidak menulis karena bahagia?