Let us forget, with generousity, those people who can not love us.
-Pablo Neruda
Sejak pertama Covid-19 diumumkan sebagai pandemi, kita tahu seluruh dunia sedang bersiap untuk bergelung dengan badainya masing-masing. Ada yang melaut dengan cakap, ada juga yang besar cakap, dan mulai menampakkan tanda-tanda bakal tenggelam.
Tadinyalah saya mau menulis kencan-kencan saya yang menyenangkan dengan seseorang, untuk menghibur diri di tengah masa PSBB kemarin. Apa boleh bikin, new normal sudah datang dan kami keburu putus. Sudah tidak nyaman meneruskan tulisan itu sebagaimana rencana awalnya.
Sejak Maret sampai awal Mei pasti banyak yang lepas dari genggaman. Perkerjaan, bisnis kecil, dan tak pelak hubungan asmara. Semua lini kehidupan kita akhirnya merasakan sentuhan tangan Covid-19 yang kasar dan dingin.
Saya ingin menulis urusan yang terakhir ini, dan berharap bisa meringkusnya ke judul yang cengeng seperti “mereka yang putus di masa pandemi”, tapi jika judulnya berubah menjadi lain, sebab topik utama saya ternyata jauh lebih hancur dari yang saya kira, maka maklumilah kekhilafan ini. Memangnya apa yang bisa diharapkan dari peminum arak oplos fanta?
Awalnya demi mendapat tulisan yang tak terlalu personal dan relatif seperti karya jurnalistik ala anak Asumsi, saya melarung ajakan berbagi cerita di snap WhatsApp dan Instagram, platform yang paling saya sukai untuk berinteraksi dan menurutku yang engagementnya terasa baik buat persona saya di internet sejauh ini. Atau jikapun saya tidak sepopuler itu, saya yakin teman-teman dan kolega saya bisa melihatnya dan merespon.
Namun apa boleh bikin, seperti biasa memang kata harapan lebih cocok diganti dengan kata kecewa saja. Sejak pertama saya mengumumkan perlu beberapa orang untuk bercerita kisah putus mereka untuk bahan tulisan, tidak ada yang merespon kecuali Sandra, mantan pacar saya sendiri. Sementara di Story ig Adis cuma meresponnya dengan “ditunggu ya tulisannya”.
So, fuck it. Saya akan menulis ugal-ugalan seperti biasa.
Sudah 24 jam lewat dan snap itu tenggelam di masing-masing platform. Tidak satupun yang mau cerita atau membahasnya sebagaimana saya harap. Mantan saya sendiri bahkan minta pembicaraan kami kali ini tidak dikutip.
Well, ternyata emang akun saya gak se-engaged yang saya kira. Entah karena sudah hampir dua bulan saya agak menarik diri dari paltform tersebut, atau orang emang ogah menanggapinya.
Meski begitu, syukurlah saya ternyata sudah punya satu cerita selain saya.
Dari Rizki Andika mahasiswa yang aktif di kolektif kesusastraan di Karawang. Saya kira dua ini cukup. Oh ya abaikan saja atribusi yang saya jajarkan padanya. Itu cuma penanda bahwa, seperti disasarin-googlemaps, siapapun pernah atau bakal mengalami putus cinta.
Kawan saya Rizki Andika, diputusin karena si doi merasa udah gak ngerasain apa-apa lagi. Atau dalam istilah yang saya suka “udah gak deg-degan”.
Mungkin lebih tepatnya si doi sudah tidak bergairah lagi menjalani hubungan mereka. Seperti yang dia akui, putus kali ini baginya terasa lebih berat dari yang sudah-sudah. Ia merasa seolah yang paling penting dalam hidupnya baru saja diambil. Ironisnya aktor utama dari itu adalah orang yang dia pikir takkan pernah melakukannya.
Putus kali ini rasanya seperti… kamu pernah lihat Ibrahimovic salto dan nendang bola?” tanyanya.
Saya mengangguk, dan mengingat goal saltonya pada laga uji coba piala dunia 2012 lalu. Gol itu disebut oleh beberapa media Eropa sebagai “Gol Abad Ini”. Setahun setelahnya FIFA menobatkan gol tersebut sebagai gol terbaik dunia dalam ajang FIFA Puskas Award 2013.
“Nah, bayangkan, sekarang gantikan saja bola sepakan Ibra itu dengan kepalaku.”
Alus! Sepakan itu kencang dan presisi.
Ia masih menanggung rasa bersalah karena sebelumnya tidak lebih perhatian. Contohnya, ia sering tidak menjawab whatsapp secepat yang diinginkan si doi, dan lainnya.
“Aku gagal menghargainya, dan yang parah, lupa mengucapkan selamat ulang tahun tepat pada waktunya. Padahal biasanya aku menambal semua kebodohan itu dengan interaksi langsung, tapi Pandemi ini membuatnya mustahil. Ia sudah optimis bakal hidup sama aku. Sementara aku malah terus-terusan mengulang argumen klise khas penyair karbitan, kalau hidup begitu tak pasti. Aku harusnya sadar, kalau saat itu sedang tidak menulis pwisi. Kau tahu, tidak elok menenggelamkan harapan orang pada kita, terutama saat mereka betul-betul percaya pada kita.” Curhatnya panjang lebar.
Sambil melepas kacamata dan menutup halaman buku terjemahan puisi Pablo Neruda ia menutup: “yang paling aku takutin adalah kalau dia lagi sedih, aku gak bisa peluk dia.”
Mendadak saya ingat seseorang, dengan ingatan yang lebih intens dari sebelumnya. Saya tetiba merasa nelangsa. Bukan soal dianya, tapi pada soal kenapa bahkan pada orang yang sudah gak asyik lagi, kita bahkan bisa merindukannya.
Putus cinta bagaimanapun bukan peristiwa yang menyenangkan. Seorang psikolog menyebut kalau perasaan yang ditimbulkannya cuma bisa ditandingi oleh kematian seseorang yang tak kalah berharganya. Persis seperti yang dibilang entah siapa, bahwa luka serius hanya bisa disembuhkan dengan luka yang lebih serius lagi.
Jadi apa kabar kamu yang juga kehilangan seseorang, entah itu cuma putus atau Putus (dengan P besar) dalam tiga bulan terakhir.
Apakah terasa lebih nyata daripada narasi “new normal” yang santer belakangan ini?