Sebelum membahas apa yang paling saya takuti, tolong izinkan saya menjelaskan apa maksud dari kata pesakitan yang saya tulis. Saya menggunakan kata ini untuk menyebut diri saya yang sudah sakit dan tak kunjung sembuh selama bertahun-tahun.
Selain tidak tahu apa istilah yang paling pas untuk menyebut diri saya, kata pesakitan ini juga saya gunakan karena memang sudah banyak orang yang melabeli takdir yang tengah saya jalani saat ini sebagai hukuman dari Tuhan atas dosa-dosa yang telah saya lakukan.
Ya, saya adalah seorang ‘pesakitan’ dan tahun ini adalah Idul Fitri keempat yang saya jalani dalam kondisi yang tak kunjung sembuh. Awalnya dokter rumah sakit tempat saya berobat sebagai pasien BPJS menyebut saya mengidap Milliary Tuberculosis yang kemudian berkembang menjadi TB Tulang Belakang.
Penyakit ini kemudian membuat saya kesulitan berjalan secara normal sejak akhir tahun 2019. Penyakit ini juga yang pada akhirnya mengharuskan saya berkarib dengan kruk berkaki empat yang bentuknya mirip seperti jemuran handuk di depan kontrakan sebagai alat bantu jalan.
Dan penyakit ini juga yang menyebabkan saya mendapat julukan “Gadis Extra Segar” karena punya kaki yang dua kali lipat lebih banyak dari jumlah kaki di larutan penyegar yang biasa diminum bapak saya ketika merasakan sakit di tenggorokan.
Berbeda dengan kebanyakan manusia normal lainnya, sebagai ‘pesakitan’ yang kebetulan juga seorang single fighter alias jomblo dan hampir berusia seperempat abad, saya tidak pernah takut dengan pertanyaan-pertanyaan menjengkelkan yang seringkali keluar dari mulut kerabat atau tetangga dekat.
Ya, untungnya mereka masih cukup punya hati dan nurani untuk tidak menanyakan “kok belum nikah?” atau “kapan punya anak?” kepada orang yang untuk naik ke motor saat akan berangkat terapi ke rumah sakit saja harus digendong oleh bapaknya.
Tapi tetap saja, ada hal lain yang saya takuti saat momen berkumpul dan bertemu dengan banyak orang seperti di momen Lebaran ini. Tapi sebelum membahas soal hal apa yang saya maksud, tolong izinkan saya sedikit bercerita dulu tantang pengobatan-pengobatan ‘ajaib’ yang pernah saya alami sampai detik ini (selain berobat dan terapi medis di rumah sakit yang ada di sekitran Cilacap dan Banyumas, saya juga datang ke pengobatan yang dilakukan oleh mereka yang tidak pernah tahu perjuangan koas dan berbagai kesulitan lainnya untuk menjadi dokter).
Pertama, saya pernah diperintahkan berangkat pagi buta ke Yogyakarta tepatnya ke Pantai Samas hanya untuk meminum segelas air laut di tempat itu. Instruksi ini datang dari seorang kenalan bapak saya ketika bapak saya bercerita kepadanya kalau saya pertama kali mengalami gejala sakit ketika berada di toilet kampus saat kuliah dulu.
Katanya pula, si pengikut saya ini ingin dikembalikan ke tempat asalnya (jujur dulu saya bingung kenapa tidak dikembalikan ke toilet di lantai 3 Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga saja).
Kedua, saya pernah dimandikan di tempat wudhu masjid tepat di waktu tengah malam. Bukan hanya sekali, tapi hal ini dilakukan dua kali. Sekali di salah satu masjid yang ada di Ciamis dan satu di salah satu masjid yang ada di Cilacap.
Di tempat yang kedua saya juga dirukiyah dan diperintahkan minum segelas besar jus bawang putih. Katanya sih agar saya bisa memuntahkan penyakit-penyakit yang ada di tubuh saya (padahal manusia tersehat di bumi pun pasti akan muntah kalau disuruh melakukan hal yang sama, kan?).
Ketiga, saya pernah dibawa ke berbagai macam tempat pijat mulai yang dipijat menggunakan tangan, batu, potongan kayu, hingga dipijat dengan menggunakan potongan besi mirip gagang payung di daerah Bandung. Kalau tidak salah hitung, ibu saya menyebut ada 12 tempat pijat yang sudah saya datangi dan semua tidak banyak memberikan perubahan yang berarti.
Terakhir, saya sering diperintahkan untuk konsumsi berbagai macam obat herbal yang diambil dari berbagai jenis tanaman. Mulai dari yang agak normal seperti daun binahong atau kopi biji kedawung, hingga yang cukup ekstrim seperti empedu ayam yang harus dikonsumi 3x sehari seperti TB yang saya dapat dari rumah sakit.
Sejujurnya sekarang saya bersyukur kedua orang tua saya mulai mau diajak kompromi untuk tidak langsung menuruti hal-hal semacam yang pertama dan hingga yang ketiga.
Tapi di waktu yang bersamaan, saya juga masih punya kekhawatiran karena sampai sekarang orang tua saya masih belum bisa lepas dari hal terakhir. Mereka masih saja sering mendengarkan berbagai macam saran baru dari orang-orang yang ditemui.
Dan inilah hal yang paling ‘pesakitan’ seperti saya takuti di momen Lebaran.
Momen dimana banyak orang yang entah berasal dari mana pulang ke desa membawa isi kepala dan pengalamannya masing-masing.
Dengan dikemas mukadimah “aku sih gak ada maksud apa-apa, cuma kok gak tega liat anakmu masih begitu. Coba deh cari…” orang-orang ini biasanya akan selalu berhasil membujuk kedua orang tua saya untuk mencari apa yang mereka sarankan. Entah harus berapa banyak herbal dan ramuan ajaib lainnya lagi yang harus saya perkenalkan kepada sistem pencernaan saya.
Untungnya, saya mulai menemukan trik sederhana untuk menghadapi hal semacam ini. Saya biasanya akan mengangguk-anggukkan kepala sembari tersenyum saat berhadapan dengan para pemberi saran meskipun tentu saja pada akhirnya tak akan melakukan apa yang disarankan.
Saya juga punya cara lain yang jauh lebih mudah ; berdoa kepada Tuhan yang disebut-sebut banyak orang tengah menghukum saya untuk tidak mempertemukan saya dengan orang-orang yang gemar memberi saran tapi enggan memasukannya ke kotak saran.
Cilacap, H-1/H-2 Jelang Lebaran 2023.