Saya jarang dan hampir tidak pernah mendalami teks-teks sejarah dan geopolitik Timur Tengah. Buat saya, semua tulisan terkait hal tersebut rasanya terlalu kompleks: banyak pihak yang terlibat dan banyak pokok perkara yang mengakar seperti etnis, sejarah panjang penyebaran agama Samawi, kepercayaan penuh terhadap kitab-kitab yang dianggap suci dan kental dengan rasisme serta superioritas, perebutan wilayah kekuasaan dengan peristiwa tumpah-darah, jangan lupa pasokan minyak, ekspor-impor senjata, dan jalur perdagangan Timur Tengah dan hal lain yang tidak bisa saya tampung dengan baik.
Saya tidak begitu banyak menonton televisi sejak Lativi berubah jadi TvOne serta menghilangkan sebagian besar tayangan animasi dan segmen “Menggambar Bersama Kak (siapa ya saya lupa)” untuk kemudian diubah menjadi televisi yang sarat asupan politik. Namun saya ingat, suatu siang di tahun 2009 waktu saya baru pulang sekolah dan masih menikmati susu lewat botol ndot.
Siang itu saya sedang memindah-mindahkan channel karena program Jungle Run di Spacetoon lagi iklan. Selayaknya orang yang gak mau nunggu iklan, saya terus memencet remot TV sampai menemukan program yang lagi “tayang” (ya maksudnya yang lagi gak iklan). Berhentilah saya di TvOne buat melihat berita. Pada saat itu, pikiran saya adalah, “Oh ini reporter lagi jalan-jalan ke luar negeri. Nonton, ah.” sebab yang terlihat adalah Gak tahunya,
Duarrr!
Tepat di belakang reporter itu, ada sebuah ledakan yang menghasilkan awan hitam dengan percik-percik api oranye di tengah-tengahnya. Ditambah pekikan suara ciiiiiit seperti mikrofon Hexa kalau terlalu dekat dengan handphone. Reporter yang sebelumnya bicara pun langsung kaget dan terlihat panik. Saya memilih untuk melamun dan berhenti menghisap botol ndot saya.
Masa kecil saya (atau barangkali kita semua) diikuti peredaran VCD bajakan berisi kemunculan Genderuwo Bondowoso dari batang pohon dan dokumenter Perang Sampit yang pada saat itu absurd dan gak saya ngerti. Tapi toh buktinya sampai saat ini saya masih ingat scene mayat digotong di Perang Sampit, dan scene otak (entah otak sapi atau otak apa yang jelas saya tau itu otak) yang digembrong lalat. Tapi dari kedua video itu gak ada suara booom seperti yang saya lihat beberapa detik sebelumnya yang cukup menegun saya.
Setelah itu, saya tidak ingat apakah saya melanjutkan nonton Jungle Run di Spacetoon atau gimana tapi yang jelas, setelah itu barulah saya tahu ada yang namanya Jalur Gaza, Palestina, dan Israel. Hari-hari kemudian, televisi aktif menampilkan kondisi terkini Palestina dan semua hal yang berkaitan dengan perang. Hal yang tentu saja akan dilewatkan Arini kecil yang belum jadi mbak-mbak kebudayaan ini. Bersamaan dengan itu, muncul single We Will Not Go Down yang banyak diputar di radio dan televisi.
Sampai saat ini, diskursus konflik Palestina dan Israel yang selalu dilekatkan dengan diskursus agama nampaknya gak pernah menemukan jalan keluar. Saya tahu ada banyak orang selain mayoritas Indonesians yang fanatik dengan agama, tapi kita juga perlu tahu bahwa terlalu banyak juga gumpalan kusut di bola benang ini. Jika kita terus-terusan berdebat siapa yang salah? atau siapa yang mulai duluan? saya rasa peperangan gak akan pernah selesai. Ya, meskipun tulisan ini juga gak akan menghentikan yang saat ini terjadi, tapi saya mulai terganggu dengan video-video di WhatsApp dan Instagram seolah-olah semua ini adalah upaya orang-orang non-Islam menghancurkan Islam. Iya, saya tau ini konyol, tapi ini yang terjadi.
Saya rasa perlu agenda rutin untuk menelusuri sejarah dalam mengurai keruwetan ini. Tapi saya udah gak tahan lihat video anak-anak yang jadi korban. Video-video anak kecil di dalam kandang yang saya gak tahu itu valid atau enggak, video puluhan anak kecil yang sekarat di meja operasi, video anak kecil yang sudah mati dengan puing-puing debu di wajahnya, dan aaah pokoknya mulai gak baik buat saya.
Saya sama sekali bukan mau tutup mata, tapi saya justru semakin khawatir. Saya suka dunia anak-anak. Di masa kuliah dulu, konsentrasi saya juga terfokus pada sastra anak dan sastra terjemahan. Berkali-kali saya bersinggungan dengan anak-anak sebagai teman belajarnya di sekolah. Saya tahu anak-anak itu lucu dan kadang menjengkelkan. Tapi saya gak tahu trauma seperti apa yang bisa dirasakan anak-anak di usia itu kalau mereka terus-terusan hidup di arena pertempuran.
Saya memberi tajuk Modry Valley yang berarti Lembah Biru. Saya memaknainya sebagai simbol tempat setelah kematian yang manis dan tidak sia-sia. Satu-satunya tempat bermain yang damai. Lukisan ini saya buat untuk mengenang anak-anak korban perang, termasuk mereka yang gugur di wilayah konflik, tragedi Holocaust, sahabat Totto-Chan, dan seorang gadis bermantel merah dalam Schlinder List. Sebab perang tidak pernah mampu memenangkan siapa-siapa kecuali pengusaha senjata. Selamat tidur dengan damai, anak-anak<3
Terhitung sejak 11 hari penyerangan Hamas ke Israel, setidaknya kurang lebih 5ribu nyawa melayang. Belum lagi kalau kita tarik lebih jauh sejak 1947, lebih jauh lagi ke 1917, dan mundur terus hingga ke Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Kisah-kisah soal Yahudi yang konon mengingkari kenabian pada Yesus. Kisah yang saya rasa lebih baik membiarkannya abu-abu, sebab semuanya gak akan pernah selesai. Sama halnya seperti kita mendebatkan siapa yang paling bertanggung jawab atas peristiwa 1965. Meskipun kita rasa kita ‘paling tahu’, tapi tetap saja diperlukan pemahaman, studi literatur mendalam, netralitas, dan pengumpulan bukti yang rasanya (buat saya) terlalu sulit dan terlalu jauh digapai.
Peristiwa genosida/pembantaian manusia secara masif yang terjadi sepanjang sejarah mungkin jauh lebih banyak daripada yang selama ini bisa kita akses dengan mudah informasinya. Holocaust, Genosida Suku Indian di Benua Amerika, Peristiwa 1965, Nagasaki-Hiroshima, dan yang saya dengar selewat hanya sebagian kecil dari peristiwa tumpah-darah yang dimodalin ambisi. Sisanya tentu jauh lebih banyak dan lebih menyakitkan.
Rasanya sangat sulit buat memahami alasan ribuan anak harus terbunuh karena ‘tanah yang dijanjikan’ atau sebutan ‘orang yang suka berbuat kerusakan di muka bumi.’ narasi-narasi yang aaah anjir kenapa sih.
Perasaan Opung saya gak sampai bunuh ustas waktu pertama jadi mualaf dan namanya ganti dari Maria jadi Maryati. Meskipun dongkolnya bukan main. Tapi ya itu, terlalu sulit dan jauh kalau kita cuma mendebatkan siapa yang paling bertanggung jawab. Toh, semuanya dirugikan. Penulis yang penganugerahannya dibatalkan karena peristiwa ini aja udah cukup bikin nyesss.
Merasa diri lebih baik dari yang lain adalah hal yang menjijikan. Bukankah 1 kebencian akan menimbulkan kebencian yang lain? Sama seperti beberapa orang yang menganggap orang dengan etnis Tiongkok adalah cukong, jago gocek, pendatang, dan lain segala macam. Tapi tahu gak, sih? beberapa etnis Tiongkok yang punya kesakit hatian juga mungkin memiliki sebutan tertentu sama pribumi? dan seterusnya, dan seterusnya.
Permasalahan etnis, ras, dan ambisi manusia buat menguasai satu wilayah dan cuan emang gak ada habisnya. Betapa menyedihkan kalau sampai ada nyawa orang yang gak bersalah melayang karena ini, dan yang mungkin bisa kita sadari dari konflik Israel-Palestina ini adalah berhenti menebar kebencian. Kita memang gak bisa mengubah sejarah, tapi bukankah semua orang layak hidup dengan damai?
Mantep kakak 👍