Pagi tadi sekitar pukul 2, saya terbangun karena suara petir sahut-sahutan. Saya terpaksa jadi bangun dari kasur juga buat ngamanin lukisan saya yang masih basah di pinggir jendela, takut bocor-bocor gimana gitu, kan. Selesai, lah. Saya balik lagi ke kamar, nyalain rokok, dan scroll Instagram. Lho, kok?
Heboh amat ini yang namanya Gita Savitri. Dulu tuh saya sempat denger dia, cuman gak pernah sekalipun nonton kontennya dia. Yang saya tahu, Gitsav itu kuliah di LN dan jadi semacam Youtuber gitu, lah. Ya mirip-mirip Jerome Polin mungkin.
Kenapa bisa bikin heboh? Saya serius ngomong sendiri gitu tadi pagi,
“Ohh gara-gara in… Eh, bentar? Kok emang agak aneh ini gue baca-baca.” dan tentu saja saya mengeluarkan kalimat andalan saya ketika sesuatu telanjur bikin keki, yaitu
“APAAN SIH?!”
Gini, gini.
Gini, ya. Semua teman-teman, sahabat, keluarga, dan bahkan pasangan saya tahu saya memilih untuk gak punya anak. Yes, I’m choosing to be childfree. Alasan utama itu karena saya perokok berat, dan saya gak mau menghabiskan 9 bulan –bisa jadi lebih lama untuk tidak merokok. Sebagai orang yang addicted sama rokok, gak ngerokok tentu bikin saya gak bisa mikir. Terlebih, 60% kegiatan saya diisi aktivitas nongkrong, berkesenian, dan tulis-menulis. Alasan lain tentu saja saya gak mau diribetin orang lain. Bangun pagi untuk ganti popok, bangun tengah malam nyusuin anak, ngerawat pas sakit, saya tentu gak sanggup. Belum lagi ketakutan si anak bakal punya sifat seperti mak bapaknya. Ini yang paling mengkhawatirkan buat saya.
Ayah saya pernah bilang, bagian paling capek dari punya anak itu ada 2:
- Mendoakannya;
- Membiarkannya jadi apapun yang dia mau.
Tentu saja mendoakan anak itu pekerjaan seumur hidup, dan untuk berdoa sehari sekali aja saya belum sanggup, apalagi berdoa seumur hidup? Lalu, membiarkan anak jadi apapun yang dia mau. Bayangkan, setelah –sebutlah ratusan juta digelontorkan untuk membiayai kehidupan dan pendidikannya, lalu anakmu bertemu dengan orang lain, menemukan gairahnya, menemukan kesenangannya, dan akhirnya, si anak jalan ke tujuan yang dia –bukan kamu mau. Dalam hal ini, sebagai anak saya merasa disindir.
Dan berdasarkan 2 alasan yang saya dapat dari Ayah, saya rasa wajar aja kalau saya gak mau punya anak karena saya gak ngerasa mampu melakukan 2 hal itu. Nah, sekarang saya jadi bertanya,
Alasan Gita Savitri gak mau punya anak itu terinspirasi dari siapa? Dia merasa gak mampu melakukan apa? Melakukan perawatan tubuh untuk tetap sesuai di ‘porsi’nya setelah melahirkan?
Oke. Gue mau bahas beberapa poin. Gue gak pernah menganggap diri gue liberalis, feminis, komunis, atau apapun I don’t care. Gue cuma gak suka orang so iye. Udah itu doang. Dalam hal ini, Gita Savitri so iye banget anjyang~
Saya gak tau ini cacat logika, kesalahan berpikir, atau apapun itu lah tolong yang ngerti teori seperti Farid dan Dikdik sila dipikirkan, ya. Saya malas. Intinya, Bagaimana bisa seorang yang melabeli dirinya sendiri public figure (serius dia nulis begitu di bio IG-nya) bilang bahwa,
Gak punya anak tuh obat anti aging alami, lagi. Lu bisa tidur 8 jam sehari, gak stress denger teriakan anak-anak. Dan kalau muka lu timbul keriput, lu bisa pergi (karena ada duitnya) suntik botox.
Nih, ya. Menurut gue nih MENURUT GUE kalau lu gak setuju bodo amat urusan lu. yang salah dari kalimat tadi adalah:
- Anak adalah alasan penuaan dinimu
- Anak adalah alasan kamu tidak bisa tidur 8 jam sehari
- Teriakan anak adalah alasanmu stress
- Anak adalah alasan kamu tidak pergi suntik botox karena uang kamu habis untuk membiayainya.
Pertama saya baca, is this woman having mental issues? Karena ya yang terlintas di pikiran saya “Oh mungkin trauma kali ya sama anak-anak.” Atau “Ohh mungkin dulu waktu anak-anak dia blablabla.” Tapi tapi tapi…
Liat story-nya kok justru saya malah ngerasa dia punya insekuritas sama ketubuhan, ya? Yang of course I don’t want to taking care about her insecurities. Yang bikin saya kerung tentu saja alasan apalah “…fck up your body.”
Gue kira sekelas Gitsav yang modern banget ini, –kalau kata Gemi sih mental poskolonial banget (ya setuju sih gue) gue kira sekelas dia gak akan mikir bahwa pregnancy can fck up your body.
Git, gak ada yang bilang childfree tuh salah. Gak semua netijen Indo itu gak ngerti sarkas, gak semua netijen Indo gak ngerti jokes, gak semua netijen Indo tuh comprehensive skills-nya jelek seperti kata lu di story lu).
Gue rasa orang Indo begini juga karena ketidak mampuan pemerintah menjamin kesejahteraan rakyatnya. Mereka –atau bisa jadi kami, gak punya akses ke pendidikan yang lebih tinggi dan terbuka kaya yang selalu lo agung-agungkan, gak punya akses untuk bergaul dengan orang world wide karena kami gak punya akses itu. Harusnya lo paham bahwa masalah di Indo bukan cuma nyinyir aja. Akses lo kan lebih banyak daripada kami-kami, nih.
Gue sih baca di magdalene.co, Gitsav ini sedih karena sempet didiskriminasi pas dia di Jerman. But, please, jangan bikin orang lain juga sedih karena perlakuan lu gak beda dengan orang yang ngediskriminasi lu di Jerman atau di mana pun itu.
Apapun alasannya, merasa diri lebih tinggi, lebih berpendidikan, lebih modern (yang malah jadi mental posko) tapi dipakai untuk merendahkan orang lain ya ngapain?
Lakukan apapun yang mau lo lakukan. Punya anak gak punya anak, it’s your choice. Justru harusnya lo tahu kebanyakan followers lo tuh orang Indonesia. Kalau memang mau sarkas ya sarkas secara cerdas, dong. Kan lo sendiri yang bilang netijen Indonesia blablabla, berarti lo paham caranya untuk menunjukkan maksud lo melalui karakter mereka yang blablabla, dong.
Kalau memang mau membela minoritas, bela sekalian, bray. Bela mereka yang depresi karena sulit punya anak padahal udah mencoba, bela mereka yang sampai saat ini masih kesulitan percaya diri dengan bentuk tubuhnya sendiri pasca melahirkan. Jangan malah melanggengkan kekhawatiran mereka terhadap itu. Heran, deh.
halo Adis, terima kasih sudah merespons, gw juga udah baca tulisan lo tapi tetap gw tydack menyukai statementnya doi krn bikin kzl. thanks:)