Saya menghapus jejak para baron di tubuh saya: yang membabat habis sebagian besar hidup saya sampai tak tersisa apa-apa.
Tidak ada apa-apa lagi di tubuh saya, terlebih lahan buat menyemai benih. Matahari membakar beberapa batang pohon karet yang masih melekat di perut dan tangan saya setelah memuntahkan getahnya semalam.
Saya lalu menyulut beberapa helai ganja kering yang saya curi dari jemuran orang.
Saya menyadari saat ini saya dalam usia yang matang: perut saya selalu terisi, dan saya sudah punya dipan yang nyaman untuk menjatuhkan badan. Sekarang, saya merdeka untuk jatuh cinta sebab segala penderitaan telah dibebaskan dari tubuh saya. Cinta saya bukan lagi datang dari perut yang lapar dan punggung yang lelah.
Saya membiarkan lahan saya tandus, sebab memang sudah tak ada lagi yang bisa saya tawarkan. Saya tidak memiliki nilai tukar lagi. Sebelumnya saya selalu menjualnya dengan harga yang setimpal, semisal tempat tinggal atau rute menuju ladang.
Beberapa bilang justru suatu keberuntungan buat saya. Saya tidak perlu susah payah membayar mahal biaya pengguguran, atau mengeluarkan tenaga melatih si jabang sebelum jadi buruan.
Saya pernah melakukan perjanjian dengan seseorang yang mendatangi saya di gua. Ia lantas menjanjikan saya ratusan tahun dalam sekejap mata: waktu yang singkat, yang saya butuhkan untuk menumbuhkan dan membuat mekar segala yang ada di dalam diri saya. Semua begitu cepat dan berjalan sesuai yang dijanjikan, tapi segalanya termasuk diri saya mati sebelum waktu yang ditentukan.
Seekor betina yang memisahkan diri dari kawanannya kehabisan mangsa. Ia wafat menggerogoti dirinya sendiri hingga belulang. Ia akan mengingat hidup sebagai yang tak pernah lebih mudah daripada mati.
“Oh,”
Saya berupaya keras untuk menunjukkan kepedulian saya yang sebenar-benarnya tidak ada itu.
“Saya sudah tidak punya apa-apa lagi untuk ditukar dengan yang kamu miliki. Kalau kamu berpikir saya akan sanggup melahirkan dua atau tiga jabang, satu pun saya tidak yakin berhasil.”
“Tapi saya juga gak punya sepeser pun.”
Maka merangkaklah yang seekor dari liang induknya.
Tenggorokan saya cekat dan tengah malam malah semakin panas saja. Saya terbangun setelah kembali bermimpi menjadi inyek1. Ini adalah kali keempat saya bermimpi menjadi seekor harimau. Saya membuka jendela kamar dan menyulut rokok saya. Saya meraba-raba liang peranakan saya memastikan memang tidak ada orok harimau di sana.
Biasanya saya tidak pernah memikirkan mimpi dan hal-hal kecil lainnya. Lagipula, saya tidak terlalu percaya hal-hal supranatural. Tapi jika dalam kurun waktu 1 minggu ini saya memimpikan hal yang sama dan berulang, baiknya saya mengganti rokok saya saja. Siapa tahu saya memang sudah harus beralih ke yang punya kadar nikotin lebih ringan.
Saya memperhatikan ke luar jendela dan melirik jam dinding. Ini sudah jam 4 pagi. Saya masih harus menyelesaikan beberapa artikel evergreen untuk saya kirim pada redaksi di hari libur ini.
Saya memaksa diri melanjutkannya.
“Iyo, Amak.” jawab saya mengangkat telepon
“Jan lupo salat subuh,” Amak memanggil dari seberang telepon.
Terdengar suara Abak yang sedang mengaji pelan. “Iyo, Amak.”
“Bilo ni … “
Saya langsung menutup telepon sebelum Amak melanjutkan obrolan yang ujung- ujungnya hanya bertanya kapan saya pulang.
Ini tahun ke-7 saya tidak pulang ke Pasaman dan saya lelah ditanyai begitu. Saya bosan dengan Sumatera Barat. Jujur saja, hidup di Pulau Jawa lebih bebas dan menyenangkan. Apalagi di kota besar seperti yang saya tinggali saat ini.
Semua orang bebas melakukan banyak hal termasuk saya. Di Sumatera Barat, untuk sekadar bersenang-senang saja saya harus berkendara sampai ke Medan. Di sini, saya bebas bernapas seperti perempuan tanpa kutang. Segalanya terasa lebih mudah saja.
Plak!
Sebuah tamparan kecil mendarat di pipi saya. Saya terkejut dan mengatur napas yang cepat dan tidak beraturan.
“Bangun, Rimba!” Laila membangunkan saya.
Saya melengos menuju kamar mandi. Meninggalkan Laila yang terus saja menggerutu soal kamar kosan saya yang berantakan.
“Mandinya cepetan Rimba, nanti keburu hujan, nih!” katanya meneriaki saya yang masih di kamar mandi
Saya benci diteriaki. Kosan saya kecil dan Laila gak perlu berteriak seperti itu. Saya mendiamkannya dan semakin kencang mengguyur air ke badan saya. Keki sekali.
“La, aku kan udah sering bilang kamu gak usah teriak-teriak. Emang kamu pikir aku tinggal di hutan?!”
Saya keluar dari kamar mandi dan balik mengomel. Kemudian menjatuhkan kepala dan melilitkan handuk ke kepala. Laila hanya tersenyum kecil, senang melihat saya marah-marah.
“Ayo, Rimba. Jangan lama-lama, dong. Kita kan mau pergi.” katanya menggoda saya “Kamu pergi sendiri aja, lah. Aku ada janji sama teman,”
“Kok kamu gitu, sih? Kamu kan udah bilang mau nemenin aku.” Laila cemberut dan bertingkah manja
Saya malas meladeninya. “Terserah.”
Laila pergi dengan injakkan yang bunyinya seperti minta ditahan. Persetan, lah. Laila memang tidak pernah pasang telinga. Waktu dia ajak saya, saya bilang lihat nanti. Perempuan satu itu seperti tidak pernah belajar sendiri. Ke mana-mana selalu minta antar dan maunya bareng-bareng. Dia pikir hari libur cuma punya dia sendiri?
“Gimana sekarang?” laki-laki anak dua itu bertanya kepada saya waktu saya kedapatan memegang perut saya.
“Gak gimana-gimana.”
Saya ingin laki-laki itu berhenti bertanya soal perut saya. Saya baik-baik saja dan saya tidak ingin diingatkan soal aborsi yang kami –lebih tepatnya saya– lakukan.
“Coba aja kalau waktu itu … ” matanya lurus terus ke arah jalan seperti ringan saja mulutnya ngomong
“Waktu itu apa? Waktu itu saya pertahanin janinnya?! Kamu pikir saya mau punya anak dan jadi istri simpanan laki-laki yang bisanya nodong-nodongin beceng ke saya doang?!” kata saya menyentak wajahnya.
Srrrriiiit. Ia menghentikan mobilnya yang sedang melaju kencang. “Kamu pikir gampang buat saya ngebunuh anak saya?!”
Saya benci diteriaki.
“Anak?! Usianya baru 2 bulan dan belum ada nyawanya!” Saya melepaskan sabuk pengaman.
“Berhenti nyebut-nyebut anak! Saya gak mau punya anak dari suami orang!”
***
Tok tok tok.
“Teh punten, liat daging saya gak ya di kulkas? Soalnya saya baru semalem beli terus barusan saya mau masak udah gak ada di kulkas.”
Saya terbangun mendengar suara percakapan tetangga saya sambil mengucek-ngucek mata. Ada-ada saja. Pagi-pagi sudah curiga ke tetangga.
“Astaga Laila!” saya terkejut melihat Laila sudah duduk di ujung kasur melihat saya. “Besok-besok kunci aku bawa deh biar kamu gak sembarangan masuk kamar!”
“Sstt … “ telunjuk Laila ia letakkan di depan bibir.
Laila menunjuk wajah saya dan memalingkan jarinya pada cermin di lemari, seperti meminta saya melihat diri saya. Saya lalu bangkit dan bercermin. Area mulut saya penuh dengan bercak darah yang mongering di kulitnya. Gigi saya penuh dengan sisa-sisa daging mentah.
Hueeeek. Saya baru mencium bau yang baru saya dapatkan saat saya ke cermin. Saya memuntahkan semuanya dan membilas-bilas mulut saya dengan air. Saya ingin memuntahkan semuanya.
Tok. Tok. Tok.
Pintu kamar saya diketuk. Semakin mual saja saya mendengarnya. “Iya, Teh?” Laila membuka pintu.
Huek. Dari kamar mandi, saya terus-terusan mengeluarkan isi perut saya. Saya betul- betul tidak tahu apa yang terjadi pada saya.
Semalam saya cuma bermimpi saya kembali menjadi inyek dan seorang ahli tapa menyodorkan saya kerbau yang kepalanya saya jinjing.
Pada mimpi itu, saya kemudian memakan bagian tubuh si kerbau dan saya tiba-tiba saja ada di laut. Airnya sebatas dada saya. Lalu kepala kerbau yang saya jinjing tiba-tiba saja menjadi kepala manusia. Begitu anehnya. Saya kemudian melepaskan kepala itu ke tengah laut.
Melihatnya hanyut dibawa ombak dan tetangga saya rempong mencari dagingnya.
***
“Aku selalu berpikir tubuh perempuan adalah padang, lahan, atau apapun lah. Aku berpikir tubuh perempuan adalah bumi. Di beberapa bagian ada yang rimba, seperti nama saya. Di beberapa bagian ada yang tandus. Di beberapa bagian ada yang menyimpan banyak rahasia, dan di beberapa bagian yang lain ada yang penuh jejaknya.” ucap saya pada lelaki yang baru saya kenal tadi sore.
“Tapi kalau soal duit. Kayaknya di beberapa waktu, aku emang bisa suka sama siapapun yang berduit.” saya menghela napas, “Tapi dari semua yang aku punya … aku emang gak punya duit terus, deh.”
Dia tertawa. Membalikkan badan yang tadinya menghadap langit-langit seadanya jadi ke arah saya. Dia menatap mata saya. Saya tahu ia mengharapkan ciuman, dan biarlah saya naikkan kepala saya ke wajahnya. Lagipula ciuman saya sudah tak ada lagi artinya.
Saya bisa dengan mudah berpura-pura terkesan dan membuka pakaian untuk merogoh isi dompet laki-laki. Tapi bibir dan lidahnya seperti perkara lain. Kemiskinan begitu jelas tercium dari tubuhnya, dan saya malah merasa aman dari segala penderitaan.
Setelah menyelesaikan hajat dengan sukarela, saya menyimpan kepala saya di atas dadanya. Saya begitu fasih melafalkan mimpi dan kegelisahan saya. Ia meraih tangan saya dan melihat lingkaran merah di pergelangan tangan saya. Ia terkejut dan mencari tangan saya yang lain.
Ia mengangkat kepalanya dan melihat mata saya. Saya rasa ia memerlukan jawaban, tapi lantas ia daratkan lagi kepalanya ke bantal.
“Belakangan, aku sering mimpi jadi seekor harimau di satu hutan yang jarang-jarang pohonnya. Lingkaran merah ini aku dapetin waktu aku mimpi aku ketangkap pemburu. Gak cuma di tangan, kok. Di kaki juga.”
“Oh ya?”
“Iya, nih.” Saya menunjukkan kedua luka yang sama di pergelangan kaki saya.
“Di Sumatera memang ada kepercayaan semacam itu. Waktu aku kecil, Amakku suka cerita dulu orang Minang itu punya kesepakatan sama harimau. Semacam perjanjian buat gak saling ngerugiin gitu. Manusia gak boleh masuk hutan kecuali siang-siang, dan harimau juga gak akan masuk ke pemukiman kecuali nyediain semacam sesajen di belakang rumah mereka.”
“Apa yang bikin kamu belakangan mimpi kamu jadi harimau?”
“Aku gak tau, mungkin karena aku udah lama gak pulang. Bisa jadi juga karena belakangan aku lihat berita soal harimau yang ketangkep, tapi … “ saya menarik napas panjang.
“Tapi apa?” ia penasaran
“Gadunku yang terakhir seorang komisaris perusahaan minyak. Waktu itu, perusahaannya lagi kena kasus minyak tumpah, dan gak lama ada kasus remaja perempuan yang ngebunuh pengunjung warung remang-remang di sekitar situ dan ngebuang kepala korbannya ke laut itu.”
“Kasus Pantura itu?” ia membelalakkan matanya “Iya.”
“Lalu?” ia bertanya cepat
“Aku mimpi aku jadi gadis itu.”
Semuanya menjadi hening. Hanya suara leher kipas yang berputar bisa kami dengar. Saya merasakan degupnya yang kencang. Telepon saya berbunyi. Ia menggeserkan badannya, memberi saya ruang.
“Rimba, kamu sehat, Nak?” “Iya, Amak.”
“Rimba… “ suara Amak menjadi pelan dan khawatir “Amak mimpi didatangi inyek.”
Saya tertegun. Setahu saya, jika ada seorang yang mimpi didatangi harimau, maka anggota keluarga orang yang bermimpi itu akan meninggal. Abak saya sudah setahun sakit jantung. Ada masalah pada semacam pompa jantungnya. Saya tahu Amak khawatir soal Abak, dan belakangan pun saya terus-terusan bermimpi soal harimau.
Saya menutup telepon itu. Ada perasaan khawatir dan saya mau ditemani Laila saja malam ini.
“Teman saya mau datang, kamu pulang dulu, ya.” kata saya pada lelaki itu.
***
Seorang Wanita Ditemukan Tak Bernyawa di Sebuah Kamar Kosan. Diduga Tewas Dibunuh Waktu Tertidur.
Seorang wanita bernama Rimba Sikumbang (25) ditemukan tak bernyawa di sebuah kamar kosan. Diduga korban telah disekap dan dibunuh saat tertidur. Tim identifikasi kepolisian menemukan luka ikat pada kedua pergelangan tangan dan kakinya. Selain itu, didapat luka lilitan kawat pada leher wanita tersebut. Namun tim identifikasi kepolisian setempat tidak menemukan satupun barang bukti di tempat kejadian perkara.
Berdasarkan hasil penelusuran, telah ditemukan seorang lelaki terduga pembunuhan berinisial SH (28). SH disinyalir baru mengenal korban di sebuah café dan berkunjung ke alamat indekos korban 2 jam setelah pertemuan pertama RS dan SH pada Jumat, 26 Juli 2019.
***
Cklak!
“Saya tidak membunuhnya!” Syarif melempar sebuah koran di ruang interogasi.
Ia menunjukkan sebuah koran berisi berita tewasnya seekor harimau yang terlilit jeratan kawat pada sebuah hutan di Sumatera Barat.
“Sebelumnya dia bercerita bahwa belakangan dia mimpi jadi seekor harimau! Luka di tangan dan kakinya itu buktinya! Saya tidak pernah menculik, menyekap, atau mengikat siapapun!!!” Syarif berteriak menunjuk-nunjukkan berita pada koran lain tentang penangkapan harimau yang tangan dan kakinya diikat oleh pemburu liar.
“Lagipula saya meninggalkan kosannya jam 10 malam dan saya bukan orang terakhir yang bertemu dengannya! Dia bilang seorang teman bernama Laila akan datang menginap di sana!” Syarif kehabisan napas dan menghela lagi.
Seorang petugas melihat lembaran koran-koran itu. Seorang petugas itu tetap tenang, dan merogoh sesuatu dari kantung dan membuka berkas millliknya. Petugas kepolisian itu lalu menyodorkan beberapa butir pil dan berkas pada Syarif.
Syarif mengambil dan melihatnya.
“Rimba Sikumbang adalah seorang pasien psikiatri. Ia mengonsumsi obat ini untuk menghilangkan wahamnya. Ia tidak pernah bergaul dengan orang lain. Laila tidak ada, itu cuma khayalannya saja. Tidak ada orang yang mengunjunginya setelah Anda. Anda adalah orang terakhir yang ditemuinya. Anda adalah pembunuhnya.”
- Dalam Bahasa Minang, inyek/inyiak/inyiak balang berarti harimau. Sebutan inyiak memiliki arti kakek/nenek/leluhur/sosok yang dituakan. Masyarakat Minang secara umum memaknai harimau sebagai sosok yang menjaga dan melindungi. Sedangkan balang memiliki arti belang/loreng. ↩︎