Hari Santri Nasional yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober selalu menyisakan euforia yang luar biasa, orang-orang memasang twibbon dan mengunggah foto-foto saat nostalgia di Pesantren, tapi apa yang sebenarnya tidak dibicarakan dalam ied/perayaan ini?
Sebut saja Maryam, santriwati yang pernah mondok di salah satu pesantren di kota X, pada saat itu, seperti santri kebanyakan, Maryam melakukan aktivitas mengaji dari mulai talaran sampai sorogan, bercengkrama dengan teman-teman pondok, sambil saling mengevaluasi tahap hapalan. Semuanya terasa menyenangkan.
Namun, kegembiraan itu sedikit demi sedikit mulai hilang saat salah satu ustadz yang mengampu kitab fiqih menggodanya di hadapan umum. Ia memanggil nama Maryam berkali-kali, bahkan dimasukkan ke dalam ceritanya yang bernuansa seksual (membahas bentuk tubuh) sampai Maryam merasa malu dan ogah kembali ke aula. Jika Maryam melewati kantin dan kebetulan ada ustadz tersebut, Maryam dipanggil dengan kalimat godaan dan tatapan intimidasi.
Di Pondok, khususnya di Pesantren Salaf, perempuan dan laki-laki memang tidak boleh bertemu atau saling bertatap muka, hal ini dilakukan demi menjaga santriwan dan santriwati dari hawa nafsu dan fitnah. Tapi hal ini seolah tidak berlaku bagi mereka yang menyalahgunakan “relasi kuasa” untuk melancarkan kepentingannya. Termasuk ustadz tadi.
Cerita ini berakhir saat Maryam mengaku merasa terancam dan ketakutan, lalu ia meminta izin untuk berhenti dan pindah ke Pondok Pesantren lain.
Berdasarkan kisah di atas, saya pikir di Hari Santri Nasional yang sakral ini pengalaman-pengalaman seperti Maryam tidak banyak dibahas atau bahkan luput dari sorotan. Padahal, kita tidak pernah tahu ada berapa Maryam yang tersebar di Pondok Pesantren, atau ada berapa Maryam yang bertahan dari pelaku kekerasan seksual demi menjaga #NamaBaikPesantren.
Dilansir oleh Ecpatiindonesia.org, pada tahun 2009 sampai 2012, sebanyak 85 Perempuan dan anak menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan Pondok Pesantren di Jawa Tengah. Kekerasan yang dimaksud adalah berupa sodomi, perkawinan paksa, perkawinan di bawah umur, pelecehan seksual hingga perkosaan dan lain-lain.
Seperti pada kasus kekerasan seksual pada umumnya, salah satu faktor yang menyebabkan korban sulit untuk melapor adalah karena ketidakberdayaan korban menghadapi pelaku yang memiliki kuasa atas murid-muridnya.
Selain berkedok agama, pelaku juga secara sadar melakukan kekerasan seksual kepada santriwati yang lemah secara kekuasaan atau “powerless”.
Di Jombang, kekerasan seksual yang dilakukan oleh Mochamad Subchi Azal Tsani (MSAT) dilakukan dengan cara menjebak korban dengan dalih kalau pelaku punya ilmu metafakta dan bisa menikahi siapapun. Apalagi, korban lebih dari satu dan berada di bawa umur. Brengseknya, kasus ini malah berakhir dengan penghentian penyidikan dengan alasan “tidak cukup bukti, atau peristiwa bukan tindak pidana.”
Wah, kok saya jadi emosi, ya. Sebentar lur, tarik napas dulu.
Sedih rasanya ketika menerima fakta bahwa Pesantren sebagai Pusat belajar ilmu agama ternyata tidak bisa menjadi ruang aman dan nyaman untuk mencari ilmu. Tentu saja, saya tidak bicara pesantren secara keseluruhan, tapi bisakah kasus yang kita temukan dari sekian kasus yang tidak terungkap ini mendapat perhatian sedikit saja?
Jika pada zaman kolonial jihad para santri adalah melawan para penjajah, maka hari ini akan terasa lebih berat sebab kita melawan kekerasan seksual yang mungkin bisa terjadi di sekitar kita. Santri sebagai penerus generasi menjadi harapan bisa membawa nilai-nilai kebaikan melalui ilmu agama yang dipelajari di Pondok Pesantren.
Oleh sebab itu, seluruh jajaran akademisi formal maupun nonformal mestinya bersama-sama saling bergandeng tangan untuk melawan segala bentuk kekerasan dan medukung pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual demi terciptanya ruang belajar yang aman dan nyaman bagi kita semua. Selamat Hari Santri Nasional! Santri Sehat, Indonesia Kuat!