No matter what they said to you, idea and words can change the world
—Dead Poets Society
Sepenting apa sih sebutan “penyair” untuk seseorang? Kalaupun tidak penting, se-tidak-penting apa memangnya? Begitu kira-kita Jun Nizami mengisi kata pengantar dalam Nota Elegia, antologi puisi tunggalnya. Jawabannya barangkali ada pada Acep Zamzam Noor yang, pernah menyebut bahwa panggilan penyair itu serupa dengan panggilan hormat seperti kyai dan ustadz. Sebutan itu adalah penghormatan dari masyarakat, alih-alih sesuatu yang bisa diraih dalam sebuah kompetisi mencari bakat atau wawancara kerja. Persoalan ada yang mengaku-aku ustadz atau gus di media sosial padahal mereka cuma penjaja kebencian, tentu tidak masuk hitungan.
Panggilan penyair pada akhirnya tidak lebih penting dari kerja kepenyairan itu sendiri. Berpuisi atau kepenyairan seringkali adalah kerja kebudayaan yang tidak dominan. Ia menyempil dalam keseharian kecil dan kebiasaan sederhana milik kita semua. Ia adalah sesuatu yang kita lihat dalam diri Einstein, sebutan “tokoh sains modern terbesar” bagi seorang pegawai kantor paten. Agaknya bakal jadi salah besar jika mengira dengan menulis seratus atau dua ratus puisi seseorang sudah layak menyebut diri sebagai penyair.
Itulah agaknya jawaban umum yang tepat kenapa penerbitan Bisik Sebelum Tidur dan buku-buku puisi setelah dan sebelumnya tetap dilakukan, meski pertanyaan seperti “siapa sih orang-orang tidak populer ini?” dan “Kenapa rujak bebak lebih enak dilihat dari tipografi-tipografi puisi Faizol Yuhri?” masih ada dan (semoga lekas tidak) berlipat ganda.
Persoalan sebutan penyair tadi toh sebenarnya Wislawa Szymborska sudah ingatkan, siapapun yang disebut penyair nantinya, semestinya… menutup pintu, menanggalkan mantel, busana norak, dan perhiasan puitis lainnya untuk berhadap-hadapan (dalam diam, sabar menunggu diri mereka sendiri) dengan kertas putih kosong. Inilah yang benar-benar penting dan berharga.
Jadi urusan selesai, dan masih ada yang belum kita bicarakan: platform.
Memikirkan Platform
By the way, apakah kamu membaca karya sastra yang ditulis orang-orang di kotamu? Atau jangan-jangan kau baru saja terpikir bahwa di tempat seperti Purwakarta dan Karawang ternyata ada yang menulis puisi. Atau apakah kamu sadar di rak bukumu penuh oleh buku-buku yang ditulis penulis Bandung dan Jakarta, sedang di Karawang dan Purwakarta masih ada Kakek Hakimi, Rudi Ramdani Aliruda, R. Mega Kusumawati, Faizoul Yuhri, Dea Ramadhan Putri, Dian Hartati, dan lainnya.
Banyak penyebab kenapa kita asing oleh talent-talent lokal kita sendiri. Antara platform itu belum ada atau belum menemukan bentuk idealnya. Sebab jika musti jujur, kegiataan kesastraan kita semua mentok pada hal-hal yang itu-itu saja, sehingga pelan-pelan menyebabkan orang-orang yang ada dalam lingkaran pergaulan ini tampak jenuh, libur berkarya .
Kerja-kerja yang ada sejauh ini, dalam jejaring kecil di Purwakarta dan Karawang (Nyimpang, Swara Saudari, Ekosistem Das, Semesta Literasi, KOPEL, Sanggar Sastra Purwakarta, Perpusjal Karawang, dll.) memang sedang terjadi. Ada portal daring, lokakarya penulisan, penerbitan buku-buku, dan acara pementasan terater puisi dan diskusi. Tapi nampaknya memang belum cukup.
Mungkin kita memerlukan platform (rangkaian kolaboratif dalam wacana, agenda, dan karya) yang lebih edan; di mana setiap kerja kesenian dan kebudayaan dari setiap talent lokal bisa terus tumbuh dan sebisa mungkin bertahan. Hal yang kami pikir sama dengan yang dilakukan Aan Mansyur dan teman-temannya dengan @katakerja di Makassar dan Puthut EA dengan KBEA-nya di Yogyakarta
Jadi, ke mana kerja-kerja kesustraan kita bakal berjalan, teman-teman? Menuju sebuah platform (atau platform-platform), usul saya. Tapi bagaimana rupa platform itu? Saya tawarkan Nyimpang.com ini.