Padahal kalau direnungkan lagi, sebenarnya sesuatu yang kita anggap “butuh” itu, gak kita butuhin banget.
Ya Tuhan, Lindungilah Kami dari Tipuan Flash Sale dan Konsumerisme itu

Dewasa ini, kebutuhan hidup terasa semakin bertambah, padahal kalau direnungkan lagi, sebenarnya sesuatu yang kita anggap “butuh” itu, gak kita butuhin banget. Bias-bias semacam ini muncul dari fenomena gaya hidup konsumerisme akibat berlimpahnya informasi melalui media sosial.
Masalah utama mengenai media sosial takut ketinggalan zaman karena aplikasi seperti: TikTok, Instagram, Facebook, dan sejenisnya. Masalahnya sih bukan terletak pada fitur atau kemudahannya dalam mengakses berbagai informasi masa kini, namun pada konten cenderung menampilkan gaya hidup konsumerisme dengan menawarkan berbagai produk-produk yang sebenarnya bukan bagian dari kebutuhan primer bahkan sekunder untuk kehidupan kita.
Dampak terparahnya, kita seringkali terdorong memberi barang yang sebenarnya tidak kita perlukan –justru terbawa arus tren seperti FOMO atau istilah jadulnya sih pamer.
Fenomena semacam ini bukan lagi soal kepuasan karena murni kebutuhan individu. Melainkan, keinginan yang sengaja dibentuk oleh tekanan sosial melalui sistem sosial berbasis teknologi (medsos). Lebih jauh lagi ini bisa menjadi cikal bakal patologi sosial. Let’s just say utang menumpuk, stres bertambah, hingga relasi personal menjadi renggang karena pinjam dulu seratus tea.
Nah, salah satu problem ini pernah dirasakan teman sekampus saya, seorang mahasiswa semester empat yang sebenanya sudah nyaman menggunakan iPhone generasi sebelumnya. Saat iPhone mengeluarkan model terbarunya pada masa itu, yakni iPhone 11, ia tergoda untuk upgrade –padahal tabungan yang dimiliki saat itu tidak mencukupi, tapi ada unggahan dari media sosial yang menawarkan iPhone 11 dengan harga miring, akhirnya ia menjual iPhone lamanya dengan dasar sebagai tambahan uang muka untuk membeli.
Singkatnya teman saya ini nransfer uang muka kepada penjual online yang menjanjikan harga miring tersebut sebesar 2,5 juta. Selang beberapa hari, si penjual online tadi meminta tambahan transfer dengan alasan “biaya cukai” karena memang smartphone tersebut langsung impor dari luar. Alhasil, setelah dia nransfer kembali senilai 2 juta, beberapa hari kemudian penjual online tersebut hilang tanpa kabar.
Akibatnya ia terlilit hutang jutaan rupiah, terpaksa bekerja di sela-sela waktu kuliah, dan terpaksa memakai ponsel android milik ibunya untuk kebutuhan kuliah, sementara orang tuanya sama sekali tak menyadari beban yang dipikulnya, sebab ia tidak berani bercerita mengenai kejadian itu.
Kasus yang dialami teman saya di atas sejatinya mencerminkan budaya konsumerisme modern bekerja, lebih dari sekedar keinginan personal untuk membeli suatu barang. Hal semacam itu adalah produk dari ekosistem sosial yang dibingkai dengan pemujaan “baru” dan “trend”.
Media sosial dengan algoritmanya yang menampilkan unggahan keistimewahaan, status sosial, unboxing, jeung sajabana. Menciptakan ilusi bahwa kepemilikan barang terbaru, kece dan terlihat penting bukan lagi pilihan. Melainkan kewajiban agar tetap eksis serta tak ketinggalan zaman. Setiap notifikasi bertuliskan flash sale atau “stok terbatas” menimbulkan rasa urgensi yang palsu, memaksa kita bertindak implusif sebelum sempat menimbang apakah kita benar-benar membutuhkannya.
Ekonom sekaligus Sosiolog Amerika, Thorstein Veblen, menyebut perilaku semacam ini dengan istilah conspicuous consumption. Konsumsi yang tujuannya bukan untuk memuaskan kebutuhan kepada fungsinya, melainkan untuk menegaskan status sosial. Ditandai dengan perasaan ketertinggalan zaman apabila tidak mengikuti kebaruan teknologi atau bahasa mudahnya ikut upgrade.
Konsekuensinya, banyak kebutuhan yang seharusnya lebih diutamakan untuk dicukupi, akhirnya tak dihiraukan justru membeli barang atau jasa yang tidak berguna. Tekanan ini juga diperkuat oleh ekosistem digital dengan tawaran yang memfasilitasi skema pembayaran tanpa cicilan cepat tanpa kartu kredit sebagainya, seolah-olah memberi kebebasan finansial instan –padahal nambah-nambahin beban utang dimasa depan.
Lebih jauh, budaya konsumerisme semacam ini menjadi pemicu patologi sosial yaitu, terjadinya distorsi antara kebutuhan dan keinginan, yang bikin kita bersedia mengambil resiko finansial, sosial, dan psikis demi tercapainya keinginan ideal. Munculnya utang kepada pinjol, menambah beban pikiran hingga stres, dan memicu retaknya relasi personal seperti hilangnya kepercayaan keluarga.
Konsumerisme, konsumsi yang menjadikan gaya hidup untuk menunjukkan status sosial ini sebenarnya sudah terjadi pada tahun 1889 di Amerika. Fenomena tersebut sudah dijelaskan Veblen dengan membagi dua kelas masyarakat, yaitu leisure class (kelas atas yang tidak perlu bekerja) dan working class (orang-orang yang melakukan pekerjaan produktif serta cenderung ingin seperti leasure class).
Istilah leisure class ini diberikan bukan karena mereka golongan orang-orang malas, namun orang-orang yang mapan dan memiliki banyak waktu luang. Mereka justru memperkerjakan kalangan working class mulai dari pekerjaan rumah seperti tukang bersih-bersih kebun, tukang bersih-bersih rumah, bahkan setiap dari anak mereka juga memiliki baby sitter-nya sendiri. Ya mirip-mirip Jungkir Balik Dunia Sissy atau Richie Rich kalau kalian ingat.
Hal demikian mereka lakukan memang semata-mata untuk menunjukkan status sosial bahwa aing bisa yeuh! Seperti anak orang pajak yang mukulin mantan sang pacar itu. Yang pakai Rubicon dan moge itu~
Budaya konsumerisme leisure class di atas berevolusi ke wujud yang lebih digital. Kini, alih-alih majalah cetak atau pesta kenegaraan, kemewahan dipamerkan melalui feeds Instagram dan TikTok: liburan ke luar negeri, foto mewah, atau unboxing barang branded. Influencer—yang sejatinya mirip agen leisure class—mempekerjakan working class modern: editor video (tidak termasuk editor Nyimpang), stylist, hingga fotografer pribadi, hanya untuk menghasilkan konten yang menjulangkan citra eksklusif mereka.
Followers yang melihat juga ikut tenggelam dalam daya tarik visual, lalu terdorong ikut membeli produk serupa demi mengejar status “kekinian”.
Kasus iPhone 11 teman saya tadi merupakan bukti nyata hal ini bekerja: tawaran harga miring di story Instagram, endorsement selebgram yang seolah-olah tanpa beban, lalu penipuan yang meraup korban.
Di satu sisi, sistem digital mempermudah akses ke barang mewah lewat cicilan instan. Di sisi lain, kesenjangan informasi dan literasi membuat konsumen rentan jadi korban patologi sosial berbasis media sosial ini. Konsumerisme bukan sekadar kebebasan memilih, tapi cermin nilai sosial yang kita junjung.
Leave a Comment